Bibit Lokal untuk Hutan Kekal
INIBORNEO.COM, Pontianak – Kelompok ibu-ibu nampak tengah membersihkan bangunan yang bertuliskan Rumah Produksi. Ditengah kesibukan, mereka nampak menyambut kedatangan kami dengan ramah.
“Kalau mau lihat bibit nanti ada di bawah sana,” tunjuk Anasias Acak (48) tak jauh dari tempatnya berdiri.
Ia kemudian menyilakan penulis untuk duduk seraya meminta maaf akan tempat yang berantakan karena mereka masih berkemas untuk menyambut tamu luar negeri yang akan datang ke Desa Tae.
Sedikit remang karena pencahayaan yang minim, ditambah langit yang mendung, Anasias duduk bersampingan dengan Zainab (58), sahabatnya.
“Dulu kami, perempuan disini, tidak didengar oleh bapak-bapaknya,” ucap Zainab. “Tapi setelah adanya pendampingan dari beberapa lembaga dan Sekolah Perempuan Adat (SPA) yang membina kami tentang cara merawat hutan dan juga menanam bibit, barulah suara perempuan mau didengar dan diterima aspirasinya,” lanjutnya.
Anasias menimpali, “sebelum ditetapkan hutan adat, mana mau dengar.” Hutan adat Tae berada di Bukit Tiong Kandang. Kawasan ini cukup terjaga aksesnya dari masyarakat umum. Terutama pada kawasan-kawasan yang digunakan untuk ritual. Perempuan di desa tersebut secara turun temurun telah mengambil peran sebagai perawat pengetahuan lokal.
Mereka yang memanen, meramu dan mengolah hasil hutan bukan kayu di hutan tersebut untuk kebutuhan sehari-hari. Termasuk dalam prosesi upacara adat. Sudah barang tentu ketika adakan disahkan oleh negara menjadi hutan adat, perempuan Tae merasa berkepentingan turut serta merancang rencana pengelolaan hutan tersebut. Salah satunya dengan membuat pembibitan untuk tanaman-tanaman lokal.
Desa Tae sendiri terletak di Kecamatan Balai, Kabupaten Sanggau. Luas wilayahnya mencapai 2.538 hektare dengan jumlah penduduk 1.616 jiwa. Sejak tahun 2011 warga Desa Tae mulai melakukan pemetaan pastisipatif untuk mengajukan Surat Keterangan (SK) Wilayah Hutan Adat. Di tahun 2018 barulah SK-nya terbit dengan nomor 5770/MENLHK-PSKL/PKTHA-PSL-1/9/2018.
Berpegang pada SK Hutan Adat, Anasias menuturkan bahwa perempuan adat di Desa Tae memiliki motivasi untuk terus menjaga kelestarian alam, salah satunya dengan menyediakan bibit tanaman lokal untuk ditanam.
“Kami sediakan bibit untuk menjaga kelestarian alam, sehingga warga yang lain juga mau ikut menanam,” ucapnya.
Bibit yang disediakan oleh perempuan adat Desa Tae juga beragam, seperti kopi, durian, tengkawang, petai, pinang dan bambu. “Kebanyakan bibit sudah di-supply ke beberapa kelompok yang mau tanam, mereka yang ambil sendiri kesini,” kata Anasias. Ia kemudian menjelaskan bahwa pembibitan dilakukan dengan cara menanam dari biji hingga tumbuh pohon. Penanaman juga dilakukan di lokasi yang vegetasinya rendah, seperti bekas ladang, untuk merimbunkan kembali hutan.
Anasias menyatakan bahwa selain untuk menjaga kelestarian alam, perempuan adat Desa Tae juga termotivasi untuk menjaga sumber air yang menjadi penopang kehidupan mereka sehari-hari. “Saya melihat di tempat lain ketika kemarau mereka kesusahan air, sedangkan disini belum pernah mengalami yang seperti itu. Hal itu tentu harus kami jaga,” jelasnya lagi.
Sumber air yang dimaksud terletak di Bukit Tiong Kandang. Nyatanya, sumber air tersebut yang mengalir ke rumah-rumah warga bahkan hingga mengalir ke kecamatan. Selain itu, warga Desa Tae juga memanfaatkan sumber air sebagai bisnis air minum.
Ketersediaan air merupakan faktor penting dalam kehidupan perempuan adat. Dalam Siaran Pers Komnas Perempuan tahun 2023, Komisioner Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad menggarisbawahi pentingnya partisipasi perempuan termasuk perempuan adat dan perempuan di sekitar hutan untuk dilibatkan secara aktif dalam dialog rencana alih fungsi hutan.
“Padahal selama ini perempuan adalah kelompok yang paling lekat kehidupannya dengan hutan, tanaman, dan air. Sehingga wajar jika sering kali perempuan yang terdepan dalam melawan usaha alih fungsi dan eksploitasi hutan,” kata Bahrul.
Dalam jurnal yang berjudul Ekofeminisme dan Peran Perempuan Dalam Lingkungan (2014) disebutkan bahwa perempuan terutama perempuan pedesaan atau pinggiran lebih nyata terlihat pembelaannya terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini dapat dipahami karena biasanya kerusakan lingkungan dimulai adanya perambahan dan penebangan hutan, pencemaran sungai besar dengan pembuangan limbah yang tentu saja mencari tempat yang jauh di pedalaman, juga kebocoran reaktor nuklir yang sudah tersembunyi tempatnya jauh di pinggiran kota.
Aktivis Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia, Sri Haryanti, mengungkapkan bahwa perempuan memegang peran kunci terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. “Maraknya pembangunan di Kalimantan sendiri perlu dilihat berapa banyak perempuan yang dilibatkan. Peran perempuan dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan sumber daya alam masih kurang, padahal yang paling terdampak adalah perempuan sendiri,” tukasnya.
Pembuktian Ekonomi
Disamping menyediakan bibit tanaman lokal, perempuan adat Desa Tae juga memanfaatkan sumber daya alam sebagai penopang perekonomian mereka. Anasias menyatakan bahwa kelompok ibu-ibu Desa Tae sudah banyak membuat produk dari hasil alam seperti piting jahe (wedang jahe), dodol papaya, keripik ubi dan juga anyaman bambu.
“Masih banyak pandangan negatif dari orang-orang bahwa kami hanya kumpul-kumpul saja, tidak menghasilkan uang. Makanya dari itu kami berusaha untuk membuat beberapa produk yang bernilai jual untuk menunjukkan bahwa kumpulan kami juga bisa menambah penghasilan,” tuturnya.
Selain untuk pembuktian, Anasias juga menjelaskan bahwa mereka ingin membantu orang-orang tua yang sudah tidak lagi berladang atau menoreh agar masih bisa memiliki pendapatan dengan mengumpulkan hasil anyaman-anyaman bambu.
“Biasanya orang-orang tua yang bisa menganyam membuat bakul, nyiru, tikar, tempat pensil, terigai, pokoknya yang biasa digunakan sehari-hari. Nanti kami kumpulkan dan kami jual sesuai dengan pesanan,” ucapnya.
Menanam tanaman obat-obatan juga masih dilakukan di Desa Tae. Kencur, jahe, liak, adalah beberapa tanaman yang biasa ditanam. Meskipun pasarnya sudah mulai berkurang, akan tetapi perempuan adat Desa Tae masih menanam untuk konsumsi pribadi.
Meski demikian, keterlibatan anak-anak muda akan kegiatan-kegiatan tersebut masih kurang. Dengan wajah sedih, ia mengungkapkan bahwa mereka selalu mengajak anak-anak muda namun dari mereka sendiri yang tidak ingin terlibat.
“Sedih saya kalau melihatnya,” tuturnya dengan suara bergetar.
Sambil menahan airmata, Ia menceritakan bahwa kadang ia menangis jika mengingat hal tersebut.
“Sebenarnya kami yang ibu-ibu juga memaksakan diri untuk melakukan hal gini, tapi kan kita harus terus memikirkan desa. Kalau semuanya tidak peduli, desa kita kedepannya mau jadi apa?” lirihnya. “Padahal kalau berhasil, kita berduit kedepannya,” lanjutnya lagi.
Zainab menimpali bahwa mereka melihat dari kesuksesan perempuan adat di desa lain yang berhasil menanam kucai. “Pendapatan mereka lumayan dalam jangka waktu setahun saja,” ungkapnya. Ia juga berharap bahwa dengan adanya Rumah Produksi tidak hanya melakukan pembibitan saja, tapi juga memproduksi yang lain sehingga masyarakat bisa melihat pendapatan perempuan adat Desa Tae meningkat sehingga membuat warga yang lain ingin ikut berpartisipasi.
“Saya ingin kedepannya nanti pembibitan ini tidak hanya untuk ditanam saja, tapi kita juga bisa jadi penyupplai dan dijual ke tempat-tempat lain sehingga uangnya bisa masuk ke pendapatan bisa masuk ke Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) kami,” tutup Anasias.