INIBORNEO.COM, Pontianak – Proyek pembebasan lahan Terminal Barang Internasional (TBI) Entikong diindikasi oleh Firma Hukum Nusantara terdapat praktik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Edward L. Tambunan selaku kuasa hukum dari pemilik lahan menuturkan dugaan ini terungkap di persidangan sengketa lahan TBI Entikong yang menghadirkan sejumlah saksi.
“Kenapa kita duga ini ada Tipikor, karena kita duga kuat ada praktek mark up luas lahan yang di bebaskan menggunakan uang negara, kita tahu anggaran pembebasan lahan untuk TBI Entikong sebesar Rp 8,3 Miliar, silakan pihak berwenang untuk selidiki kasus ini,” ujar Edward L Tambunan pada Selasa 13 Agustus 2024.
Hal ini juga diperkuat dengan kesaksian dari Notaris yang membuat akta peralihan hak lahan yang digunakan untuk pembangunan TBI Entikong, karena kehadiran Notaris tersebut menjadi bukti bahwa adanya permasalahan dalam proses administrasi surat-menyurat terkait lahan tersebut.
“Selain itu didalam persidangan telah terbukti, bahwa sudah nyata adanya perbedaan posisi dan ukuran batas lahan yang di bebaskan, ternyata tidak pernah dilakukan verifikasi maupun revisi oleh Notaris tersebut,” jelasnya.
Dikatakannya lagi bahwa, didalam akta yang dibuat Notaris tersebut, terdapat pasal nomor 10 yang menjelaskan bahwa bilamana akta itu benar Notaris tidak perlu dilibatkan dalam perkara ini.
“Jelas Notaris mengingkari pasal Nomor 10 yang di buatnya tersebut, tertulis bahwa jika akta yang dibuatnya itu benar maka dirinya (Notaris) seharusnya tidak perlu dilibatkan dalam perkara ini, akan tertapi dia hadir, tentu membuktikan bahwa penetapan Akta tersebut memiliki masalah dan jelas akta yang dibuatnya tidak lah benar,” ungkapnya.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Sanggau, Muhammad Nur Hafizh, membenarkan bahwa Pengadilan Negeri Sanggau telah menggelar persidangan sengketa lahan TBI Entikong. Pada persidangan yang berlangsung pada Kamis, 8 Agustus 2024, agendanya adalah menghadirkan bukti dan saksi tambahan dari pihak tergugat dan penggugat.
Dalam persidangan tersebut, terungkap bahwa pembebasan lahan tersebut dibiayai oleh APBN dengan anggaran sebesar Rp 8,3 miliar. Namun, fakta dalam persidangan menunjukkan bahwa nilai per Surat Pernyataan Tanah (SPT) hanya sebesar Rp 30 juta. Pembebasan lahan itu melibatkan 4 SPT, namun yang dibebaskan hanya 3 SPT.
“Pada Kamis, 8 Agustus 2024, diadakan agenda pembuktian terakhir oleh para pihak, di mana penggugat dan tergugat menghadirkan saksi,” ujar Muhammad Nur Hafizh.
Hakim Ketua Majelis dalam persidangan sengketa lahan TBI Entikong menambahkan bahwa setelah persidangan tersebut, persidangan akan dilanjutkan dengan kesimpulan dan putusan.
Salah satu saksi yang hadir dalam sengketa lahan TBI Entikong adalah Sekretaris Desa Entikong, Edi Setia Saputra. Ia membenarkan bahwa lokasi TBI Entikong sebelumnya merupakan lahan kebun lada yang dikelola oleh kelompok tani, yang menggarap lahan seluas satu hektar.
“Dari awal pembebasan lahan, perangkat desa tidak pernah dihadirkan, baik dalam perencanaan maupun pembangunan TBI Entikong. Kami tidak pernah dilibatkan sama sekali, bahkan saat pembebasan lahan kami tidak mengetahui,” ujarnya.
Edi juga mempertanyakan mengapa perangkat desa tidak dilibatkan sejak awal dalam pembangunan TBI Entikong ini. “Kenapa setelah masalah ini terjadi baru kami dilibatkan, bahkan ketika sudah hampir terjadi keributan dengan membawa senjata tajam. Seharusnya dari awal kami dilibatkan agar tidak terjadi masalah seperti ini, padahal desa yang mengetahui asal usul lahan tersebut,” kata Edi.
Ia menambahkan, “Lahan itu awalnya digarap oleh beberapa kelompok tani lada, yang masing-masing mengelola petak seluas 1 hektar.”
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Sanggau menggelar sidang lapangan terkait sengketa lahan Terminal Barang Internasional (TBI) Entikong, di mana pemilik lahan menggugat untuk menuntut ganti rugi.
Dalam sidang lapangan yang berlangsung pada Juni 2024, Darsono (70), pengelola lahan pertama, mengungkapkan bahwa ia bersama rekan-rekannya menggarap lahan tersebut menjadi kebun lada sejak tahun 1981. Lahan seluas satu hektar tersebut diberikan oleh pemerintah, namun karena keterbatasan dana, mereka belum mampu membuat sertifikat, sehingga surat-suratnya hanya berupa Surat Keterangan Tanah (SKT).
“Tanah itu kami kelola mulai tahun 1981, dan ditanami lada bersama-sama. Namun, karena harga lada saat itu sangat murah, kami hanya mampu menjualnya ke Tebedu, Malaysia, dengan harga sekitar 1 Ringgit Malaysia lebih,” ungkapnya bersama Antonius Ja’in (61), sesama petani lada.
Darsono juga menuturkan bahwa ia bersama warga lain yang tergabung dalam Kelompok Tani Tunas Mekar, yang terdiri dari sekitar 20 petani lada, menggarap lahan tersebut secara gotong royong.
“Satu hektar lahan ini dulu ada sekitar 1500 tanaman lada yang kami garap bersama sekitar 20 orang,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa saat pembangunan Terminal Barang Internasional Entikong berlangsung, ia dan warga lainnya tidak pernah diberitahu atau dilibatkan oleh Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan RI.
Seperti diketahui, pembangunan Terminal Barang Internasional Entikong menyisakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, yaitu pemilik lahan menggugat lahan seluas sekitar 1700 m² yang berada di kawasan Pintu Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong.