INIBORNEO.COM, Samarinda – Legenda Urban mengenai Hantu Banyu, sudah tidak asing di telinga masyarakat Kalimantan Timur (Kaltim). Sebuah mitos yang kerap kali dibesar-besarkan ditengah masyarakat, juga diceritakan dari mulut ke mulut. Sehingga, menjadi lebih sensasional.
Legenda urban sendiri, dipercaya secara luas sebagai sebuah kebenaran. Kebanyakan berkaitan dengan misteri, horor, ketakutan, humor, atau bahkan kisah moral.
Cerita Hantu Banyu diangkat sebagai judul film pendek pertama kali tayang di layar lebar, dan disutradarai oleh Muhammad Al Fayed.
Film pendek itu mengisahkan kehidupan masyarakat di pesisir Sungai Mahakam yang dihantui oleh hal-hal aneh, saat seorang warga tengah menjala ikan.
Dibalut dengan kisah romansa anak muda zaman sekarang. Hantu Banyu merupakan hasil kolaborasi pertama Mahakama Film dengan Dinas Pariwisata (Dispar) Kaltim.
Diceritakan dalam film pendek itu, seorang pria bernama Samar adalah tunangan Rinda yang berasal dari Bandung, Jawa Barat. Ia tenggelam di Sungai Mahakam, akibat telah melanggar adat istiadat di Kalimantan. Kematiannya pun, dikaitkan dengan mitos yang beredar mengenai Hantu Banyu.
Baca Juga : Investor Kalimantan Meningkat 103% Selama 2022
Muhammad Al Fayed merupakan sutradara film itu menyampaikan, cerita lokal sudah semestinya harus mulai di tonjolkan. Dimana, produksi karya dalam dunia perfilman menunjukan khas lokal di Kalimantan Timur.
“Menurut saya ini menjadi titik yang baik untuk karya-karya selanjutnya, untuk menunjukan khas lokal,” kata Muhammad Al Fayed, usai pemutaran film pendek di Bioskop CGV Plaza Mulia Samarinda, Kalimantan Timur, pada Kamis (27/6/2024) malam.
Sebenarnya, lanjut Fayed, sudah ada beberapa film lokal yang diproduksi. Hanya saja, untuk folklor (cerita rakyat) yang mengangkat mitos itu baru dimulai.
“Bagi saya mengangkat mitos itu penting, khususnya cerita legenda urban. Sebenarnya banyak mitos-mitos yang lain. Tapi, ini adalah tantangan dari Dispar untuk angkat mitos hantu banyu menjadi karya film,” jelas Pria kelahiran asli Kota Samarinda.
Saat mendengar tantangan itu, yang pertama muncul diingatan Fayed adalah sinetron Hantu Banyu di TVRI. Kedua, bagaimana mitos-mitos yang ada di masyarakat Kaltim dapat di kumpulkan menjadi satu di film.
Adapun kendala selama proses produksi, ujar Fayed, terbatas Sumber Daya Manusia (SDM) atau crew film yang tidak banyak dilibatkan.
“Ingin sekali melibatkan banyak orang. Hanya terbatas anggaran, dan kemampuan kita juga dalam melibatkan banyak orang,” ungkap Fayed, selaku Alumni di jurusan Film dan Televisi, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Kendala selanjutnya, yaitu lokasi yang lumayan jauh berada di luar kota. Tepatnya, di Kota Bandung dan Desa Pela, Kabupaten Kutai Kartanegara.
“Ini yang menjadi tantangan saat suting di Bandung. Teman-teman dan tim produser juga ikut keterlibatan dengan masyarakat untuk beradaptasi,” bebernya.
Adapun, Kota Bandung sebagai tempat suting yang diyakini memiliki kisah kota romantis. Di saat bersamaan, Dispar Provinsi Kaltim juga memberikan workshop bersama pelaku film disana.
“Pelaku film atau pelaku kreatif di Bandung juga meworkshop kami dulu. Setelahnya, kami sekalian melakukan produksi disana,”
“Dalam proses pembuatan awal, naskah ide sampai kita distribusikan di Cgv ini. Kita terus terlibat, itu yang buat kita sangat bekerja keras dalam setahun ini,” timpalnya.
Fayed berharap, masyarakat atau kelompok komunitas lainnya dapat terispirasi dari karya film pendek tersebut. Meski begitu, ia ingin agar sutradara di karya selanjutnya bisa berganti orang.
“Artinya, tidak harus saya menjadi sutradara. Kita sudah dititik ini, dan memulai pada starting di film sinema Kalimantan. Silahkan teman-teman memproduksi film lainnya biar lebih luas lagi,” tutupnya. (Salsabila)