INIBORNEO.COM, Pontianak – Hutan di Kalimantan Barat terus berkurang akibat ekspansi perkebunan dan pertambangan. Ekspansi ini akan berdampak pada tercemarnya bahkan hilangnya sumber mata air. Contohnya kasus di Desa Penyelimau Kecamatan Sanggau Kapuas, Sanggau. Masyarakat komunitas Pompankg di Penyelimau menolak pertambangan Bauksit yang mengancam rusaknya hutan primer ‘rimba terakhir’ Bukit Tunggal yang menjadi sumber penghidupan mereka akan listrik, air dan sumber ekonomi lainnya.
Hal ini menjadi alasan diadakannya aksi diam oleh Aliansi Aksi Kamisan Pontianak. Fikri Firdaus yang menjadi salah satu peserta aksi mengatakan, aksi pada hari ini 15/4 merupakan aksi mereka yang ke-6. Menurut Fikri, jika Bukit Tunggal dijadikan sebagai wilayah pertambangan akan mengancam hak asasi masyarakat akan lingkungan yang sehat, yang turut diatur dalam UU No. 39 tahun 1999.
Pelanggaran HAM perlu disuarakan anak-anak muda. “Pelanggaran HAM di masa lalu, pelakunya tidak pernah diadili. Di Kalbar, banyak pelanggaran HAM yang beirisan dengan lingkungan. Pelaku pelanggaran HAM di masa lalu tidak pernah dihukum. Dan jika hari ini kita tidak sadar pada hal tersebut, maka impunitas atau kekebalan terhadap hukum akan terus berlanjut,” sambung Fikri.
Selain persoalan bukin Tunggal di Sanggau, Aksi Kamisan Pontianak juga menyoroti kasus-kasus lain di luar Kalbar. Di antaranya: 1) Kriminalisasi aktivis lingkungan Syamsir dan Samsul di Sumut; 2) Pemukulan dan penyekapan yang dialami Nurhadi, wartawan Tempo; 3) Kriminalisasi terhadap jurnalis Asrul di mana UU ITE digunakan sebagai alat membungkam wartawan dan suara kritis; 3) Urgensi mencabut UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta Peraturan turunan dari UU tersebut yang tidak berpihak pada rakyat; 4) Menagih janji presiden untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang ada di Indonesia lewat pengadilan HAM, bukan melalui mekanisme non-Yudisial; 5) Menuntut Presiden Jokowi segera menghentikan praktik kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan di Papua dan 6) Mengecam dan mengutuk keras tindakan brutal junta militer Myanmar dalam merespon aksi demonstrasi warga negara yang menolak kudeta.
Sebagai peserta aksi, Fikri menyadari bahwa aksi ini memutuhkan konsistenti tinggi. “Ketika teman-teman hadir terus untuk melakukan aksi, harapannya pembangunan iklim persoalan HAM di Kota Pontianak bias terus dihidupkan karena kalau tidak, impunitas akan terus berlangsung, ” kata Fikri.