INIBORNEO.COM, Jakarta – Hari ini, Selasa, 9 Maret 2021, sejumlah anggota Koalisi Masyarakat Sipil memenuhi undangan dari Kementerian Polhukam Republik Indonesia untuk memberi masukan kepada Tim Kajian Revisi UU ITE yang dikepalai oleh Dr. Sigit Purnomo dari Kedeputian III Polhukam. Koalisi meminta Tim Kajian Polhukam RI untuk merevisi total UU ITE.
Pertemuan hari ini terbagi atas dua sesi, yaitu sesi pagi yang dihadiri perwakilan dari Koalisi yaitu SAFEnet dan IJRS. Sedang sesi siang dihadiri LeIP, ICJR, ELSAM, dan Amnesty International Indonesia.
Pada sesi pagi, Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif SAFEnet menyampaikan dengan tegas bahwa pembuktian ketidakadilan UU ITE bisa ditemukan dengan mudah oleh Tim Kajian Revisi UU ITE dan bahkan ketidakadilan dan ketidakpastian masih terjadi sampai hari ini.
“Kemarin, kami baru saja mendampingi dua orang korban ketidakadilan akibat UU ITE dari Tiku V Jorong Sumatera Barat, yaitu Andi Putera dan Ardiman yang harus berhadapan dengan Ketua KAN yang telah merampas hak-hak warga. UU ITE justru menjerat mereka berdua yang menggunakan media sosial untuk mendapatkan keadilan dengan pasal ujaran kebencian. Pendekatan restorative justice yang dikumandangkan Kapolri Listyo Sigit tidak berjalan di Polda Sumbar,” papar Damar.
Damar juga menjelaskan bahwa pemerintah sebaiknya tidak berhenti pada membuat pedoman interpretasi UU ITE saja, tetapi betul-betul merevisi total 9 pasal bermasalah agar UU ITE menjadi Undang-undang yang lebih baik dalam mengatur kehidupan warga dengan kepastian hukum dan berkeadilan.
Sedangkan Andreas Nathaniel Marbun dari IJRS menjelaskan dalam pertemuan tadi tentang sejumlah rumusan pasal yang tidak jelas dan tidak tegas di UU ITE yang melanggar prinsip dasar dalam hukum pidana yaitu lex certa, lex scripta, dan lex stricta.
Senada dengan sesi pagi, Jane Tedjaseputra dari LeIP memberi perhatian khusus pada keberadaan pasal 28 ayat 2 UU ITE. Sedang Erasmus Napitupulu sebagai Direktur Eksekutif ICJR menekankan apa saja pokok permasalahan pasal demi pasal di dalam UU ITE yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan multi-tafsir.
“Sulit untuk mengatakan persoalan utama UU ITE tidak pada perumusan delik-deliknya, khususnya untuk tindak pidana-tindak pidana konvensional yg ditarik masuk ke dalam UU ITE (cyber-enabled crime), seperti Pasal 27 (1), 27 (3), dan 28 (2) UU ITE beserta pemberatan ancaman pidana mencapi 12 tahun yg diatur dalam pasal 36 jo 51(2) UU ITE. Tumpang tindih pengaturan, ketidaksesuaian unsur pidana, dan ancaman pidana tinggi menjadi masalah utama. Untuk itu, ICJR menyampaikan jalan utama adalah melakukan Revisi terhadap UU ITE”
Pendapat ICJR diperkuat lagi oleh Wahyudi Djafar selaku Direktur Eksekutif ELSAM dengan menegaskan bahwa persoalan-persoalan UU ITE tidak terbatas pada persoalan pidana saja, tetapi juga sejumlah pasal yang tidak sesuai dengan prinsip pengaturan internet dan perkembangan peran perusahaan teknologi.
Selanjutnya Usman Hamid selaku Direktur Amnesty International Indonesia memberi masukan agar kasus-kasus yang menunjukkan ketidakadilan dan saat ini tengah berjalan untuk dihentikan terlebih dahulu dengan mengeluarkan SP3 di tingkat kepolisian dan SKP2 di tingkat kejaksaan.
“Selama menunggu kajian dan kepastian revisi UU ITE, segenap jajaran Kemenkopolhukam dapat menimbang tiga usulan. Pertama, dengan alasan kemanusiaan, mengusulkan ke Presiden untuk pemberian amnesti atau pembebasan tanpa syarat mereka yang dipenjara karena UU ITE dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, merekomendasikan ke Kapolri untuk penerbitan SP3 oleh kepolisian untuk kasus-kasus tertentu ITE dan berdasarkan telaah bersama lembaga negara yang independen dan masyarakat sipil. Ketiga, merekomendasikan ke Jaksa Agung untuk penerbitan SKP2 oleh kejaksaan dengan alasan kepentingan umum,” pungkas Usman Hamid.
Secara bersamaan pada sore hari diumumkan 33 RUU Prioritas Prolegnas 2021 dan dalam Rapat Baleg diputuskan oleh pemerintah dan DPR bahwa Revisi UU ITE tidak termasuk yang akan dibahas tahun ini.
Menanggapi hal tersebut, Koalisi menyesalkan tidak dimasukkkannya Revisi UU ITE dalam prioritas tahun 2021, sekalipun sudah menduga memang pemerintah dan DPR tidak cukup serius ingin melakukan revisi UU ITE.
Koalisi meminta masyarakat untuk tidak surut untuk mendorong revisi total UU ITE karena ini prioritas penting untuk memperbaiki sistem hukum pidana dan siber di Indonesia, serta menegakkan keadilan.
Koalisi Masyarakat Sipil
LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIP, dan WALHI