INIBORNEO.COM, Jakarta – Setelah pandemi Covid-19 berakhir, diperkirakan ekonomi akan bangkit dan pulih, termasuk di Indonesia. Untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu mendorong pembangunan kembali dengan lebih baik (build back better/ BBB) melalui pembangunan rendah karbon.
Dalam Temu Editor yang dilaksanakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan World Resources Institute (WRI), Sabtu (19/09), dijelaskan bahwa BBB merupakan pendekatan yang diadopsi dari pemulihan pascakrisis dan bencana. Pendekatan ini telah digunakan juga di berbagai negara, seperti di Asia dan Amerika.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam mengatakan, bahwa pasca krisis seringkali mesin ekonomi bergerak tanpa mengacu pada BBB. Pasca krisis 2008 misalnya, kata Medril, karena adanya peningkatan aktivitas ekonomi secara tidak terkontrol akibatnya di 2009, emisi karbondioksida global meningkat 6%.
Menurut Medrilzam, utilisasi mesin-mesin produksi dan ekonomi saat ini hanya beroperasi sebesar 56%. Pasca pandemi, sambungnya, utiliasi bisa langsung melonjak 89%. Medril kembali mencontohkan, industri-industri yang tadinya sudah ada berhenti mencemari air, pasca pandemi, industri tersebut malah kembali mencemari lingkungan. “Bahkan bisa lebih gila lagi dari sebelum pandemi,” katanya.
Medril mengatakan, banyak aktivitas ekonomi dan investasi pasca pandemi, berpeluang menimbulkan kegiatan dengan emisi karbon tinggi (high carbon activities). Maka itu, peningkatkan emisi karbon pascapandemi harus diantisipasi dengan pendekatan BBB tadi. “Green economy yang ada di RPJM harus ditegakkan dan itu menjadi salah satu prioritas,” ujarnya.
Salah satu aktivitas ekonomi rendah karbon yang perlu dilakukan adalah transisi energi fosil ke energi baru terbarukan. Menurut Medril, pembangunan infrastruktur EBT dan efisiensi energi menghasilkan full-time employment (FTE) per juta dolar investasi yang lebih tinggi dari energi fosil. “Berarti akan memberikan lebih banyak lapangan kerja dan multiplier effect,” katanya.
Menurutnya, transisi energi selain mampu menurunkan emisi karbon, juga dapat memberikan dampak ekonomi yang cukup tinggi. Perkembangan green economy di Amerika Serikat, misalnya, mampu menyerap tenaga kerja dan menghasilkan pertumbuhan pendapatan dari tahun ke tahun. “Dilihat dari perbandingan FTE dan revenue dari bisnis green economy,” katanya.
Hidayat Amir, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa pihaknya sudah mengkaji reformasi subsidi bahan bakar fosil sejak 2004. Hanya saja, kebijakan peralihan bahan bakar dari fosil ke EBT baru bisa dimulai di 2014.
Menurut Hidayat, konsumsi bahan bakar fosil menyebabkan Indonesia ketergantungan terhadap impor. Akibatnya, karena bahan bakar fosil, Indonesia ketiban persoalan ganda, peningkatan emisi karbon dan memberatkan negatif neraca dagang. “Transisi energi, jika itu keharusan kita bisa dan kita punya sumber dayanya,” ujarnya.
Amir menambahkan bahwa menurunkan emisi karbon, pemerintah sedang mengkaji pemberlakuan tax cabon serta kebijakan insentif dan disinsentif. “Carbon tax belum ada. Dan kita dorong. Ini kita bergerak dan kita melakukan progresif,” ujar alumni STAN tersebut.
Ekonom Senior WRI Indonesia, Sonny Mumbunan menambahkan, ancaman terbesar ekonomi akibat pandemi, bukan resesi melainkan perubahan iklim. Menurutnya, ekonomi Indonesia diperkirakan turun jika suhu meningkat. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia dan negara-negara lain (GDP/kapita) turun, pada suhu 1,5 derajat celcius dan 2 derajat celcius, dibandingkan tanpa peningkatan suhu,” katanya.
Menurutnya, jika pemerintah mempertimbangkan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (LCDI) dalam pemulihan ekonomi pascapandemi, pertumbuhan ekonomi di 2022 – 2023 berpotensi di atas 5-6%. “Karena sekarang tidak bisa dipisahkan ekonomi dan lingkungan. Investasi lebih efisien, jumlah lapangan pekerjaan lebih besar,” katanya. (r-papiadjie)