INIBORNEO.COM, URS Biznotes – Hari ini kita belajar tentang komposisi sumber daya manusia negeri ini. Penting bagi para pengusaha untuk memahami komposisi ini, agar mempu merencanakan pola persaingan di alam bisnis.
Bisnis itu tentang kerja tim. Dan tim ini isinya manusia. Menjadi sangat penting mengetahui strategi agar membuat bisnis kita ditopang oleh manusia yang kompeten.
Sebuah grafik tentang tenaga kerja Indonesia ditampilkan. Saya ambil dari Tirto.id, sumbernya tentu dari BPS.
Kita fokus pada tahun 2018 saja. Kategorisasinya sebagai berikut :
– Tidak pernah sekolah : 2,71%
– Tidak tamat SD : 12,77%
– Tamat SD : 25,21%
– Tamat SMP : 18,08%
– Tamat SMA : 18,01%
– Tamat SMK : 11,03%
– Tamat Diploma : 2,78%
– S1 sd S3 : 9,03%
Dari data tersebut, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan :
- Komposisi tenaga kerja dengan pendidikan tinggi hanya 11,8%.
Kalo kita lihat, lulusan Diploma dan Sarjana hanya di kisaran 11,8%. Artinya dari 100 angkatan kerja, hanya 12 orang yang lulus pendidikan tinggi.
Walau pendidikan tinggi ini belum tentu menjamin kompetensi, namun dari data ini kita bisa membaca bagaimana seharusnya kita berharap pada generasi angkatan kerja ini.
- Kecenderungan design pendidikan berfokus pada konsep teori bukan keterampilan.
Data BPS ini menarik, menyajikan data lulusan SMA dan SMK secara terpisah. Begitu juga Diploma dengan Sarjana. Mengapa demikian?
Karena keduanya memang punya titik tekan output yang berbeda.
SMA dan Universitas cenderung memberikan bekal pada gagasan dan konsep. Kecuali pada kampus yang jurusan S1 nya cukup banyak Lab, di kebanyakan universitas titik tekannya pada gagasan.
Berbeda dengan SMK dan Diploma, yang didalamnya banyak fokus pada keterampilan. Di dunia pendidikan disebut dengan vokasi. Politeknik, atau pendidikan diploma yang memang menekankan pada keahlian di bidang tertentu.
Negara industri seperti Jerman memiliki tenaga kerja dengan porsi besar pada vokasi. Di negeri ini berbeda, sahabat bisa lihat data SMA vs SMK, dan data Diploma vs Universitas.
Ini yang menyebabkan tenaga kerja kita di unit UMKM, walau pendidikannya tinggi, tapi kebanyakan konsep tanpa kaya akan hasil eksekusi. Karena cetakan pendidikannya memang berat di teori.
Coba bandingkan saja perjalanan akademik seorang lulusan Politeknik dan Kampus Engineer di negeri ini. Kita akan menemukan lulusan politeknik yang kaya akan keterampilan, mudah diajari hal teknis, ketimbang S1 ilmu rekayasa.
- Hampir 50% tenaga kerja berada di lulusan SMP kebawah.
Data yang cukup memprihatinkan ada pada lulusan SMP kebawah. Populasinya tinggi di angka lebih dari 50%. Di titik inilah seharusnya kita bisa “menyetel” harapan jika bisnis kita padat karya. Manusia seperti apakah yang akan memadati industri kita.
Melihat datanya begini, sebenarnya pilihan kita sebagai pegiat UMKM cuma 1 :
“Membangun pola pendidikan tersendiri untuk tenaga kerja kita”.
Ndak lah itu namanya SDM tinggal pakai. Kita punya masalah di kurikulum yang gak match dengan dunia industri, selain itu kita punya masalah pada komposisi SDM di pendidikan rendah.
Secara natural yang pinter-pinter dan punya kompetensi pasti ke perusahaan bonafit.
Yang nilainya jelek dan gak dapat kerja, jika mentalnya kuat pastilah jadi entrepreneur.
Industri UMKM ya harus ridho dengan SDM residu dari serapan tenaga kerja. Di corporate besar gak keterima, di perusahaan besar nasional juga nggak, ya pilihannya kerja di UMKM, bahkan informal.
Maka alangkah baiknya kita gak usah begitu berharap dengan hasil pendidikan negeri ini. Toh juga 50% nyumbat di SMP.
Alangkah baiknya kita mempersiapkan akademi tersendiri untuk bisnis yang akan kita kelola. Bahkan bisa dimulai dari usia kelas 10, atau 1 SMA/SMK.
Jika memang kebutuhan SDM kita besar. sudah saatnya kita membangun lembaga pendidikan kita sendiri. Gratis. Menyelamatkan generasi. Untuk menyuplai kebutuhan tenaga kerja di grup bisnis kita sendiri. (r-papiadjie)