Jeritan Masyarakat Adat : Air Mata Kami Sudah Kering Melawan Perusahaan

  • Share
Kepala Adat Dusun Selimbung, Tarsisius Fendy Sesupi, saat berbicara dikegiatan Media Briefing, Selasa (9/12). (Doc Cantya)

INIBORNEO.COM, Pontianak – Konflik antar masyarakat dan PT Mayawana Persada (MP) masih terus berlanjut. Masyarakat menilai pemerintah abai dalam menanggapi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan PT MP selama ini.

“Kami digusur tanpa sosialisasi ke kampung kami. Ada yang lumbung padinya Dibakar, termasuk milik orang tua saya,” ungkap Maria (46), perempuan adat di Desa Kualan Hilir, di Pontianak, Senin (9/12/2025).

Ia juga menyebut bahwa ada salah satu masyarakat yang terpaksa menjual tanahnya ke perusahaan demi membawa orangtuanya ke rumah sakit, namun hingga saat ini belum ada pencairan dari PT MP. Mirisnya lagi, ia menyebutkan bahwa masyarakat adat di sana belum merasa merdeka.

“Kalau diingat-ingat, sebenarnya air mata kami sudah kering dan tidak mampu diteteskan lagi,” ucapnya.

Maria mengatakan perjuangannya mempertahankan lahan warisan suaminya telah berlangsung dua tahun. Dari sekitar 40 hektare, kini hanya tersisa 4 hektare yang belum digusur. “Empat hektare tidak cukup untuk masa depan anak cucu kami,” katanya.

Sebagai perempuan adat yang merasakan dampak langsung, Maria menilai PT MP tidak memiliki rasa kemanusiaan terhadap warga. “Saya mewakili masyarakat perempuan adat, tolong bantu selesaikan konflik di wilayah kami. Sudah kering rasanya air mata kami karena tidak didengar oleh pemerintah,” pungkasnya.

Kepala Adat Dusun Lelayang, Tarsisius Fendy Sesupi (38), yang turut hadir juga menyampaikan beberapa pelanggaran yang sudah dilakukan PT MP selama ini. Ia mengatakan bahwa PT MP memiliki izin buka lahan selama sepuluh tahun sejak tahun 2012 – 2021, akan tetapi nyatanya penggusuran di dusun-dusun terjadi diatas tahun 2021.

“Artinya mereka sudah melanggar izin, namun sayangnya pemerintah tidak menanggapi hal tersebut,” ungkapnya.

Pada 2022, delapan pondok dan satu lumbung padi warga dibakar dan kuburan keramat ikut digusur. “Lumbung padi milik masyarakat terdapat kurang lebih 6-7 ton beras yang dikumpulkan selama tiga tahun habis dibakar oleh oknum-oknum perusahaan,” lanjut Fendy.

Program CSR yang ditawarkan PT MP pun dinilai tidak menjawab kebutuhan warga. Di Desa Kualan Hilir, selain menyediakan satu ambulans, perusahaan memberikan dua ribu bibit ikan nila yang dilepaskan ke Sungai Kualan yang airnya disebut telah tercemar merkuri.

Di tengah konflik agraria ini, Fendy juga menghadapi proses kriminalisasi. Ia mengaku telah dipanggil polisi sebanyak 22 kali terkait tuduhan berdasarkan Pasal 368 ayat (1) KUHP dan Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, pasal yang umum digunakan dalam perkara pemerasan atau pemaksaan.

“Saya berjuang demi masyarakat. Saya tidak mau anak-anak kita nanti menjadi penumpang gelap di tanah sendiri,” tegas Fendy.

Bagi masyarakat adat, pelibatan pasal-pasal tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran Fendy sebagai tokoh yang vokal menentang perampasan tanah dan kerusakan lingkungan. Mereka menilai tuduhan itu tidak berdiri atas peristiwa pidana, melainkan sebagai upaya membungkam suara warga.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *