Talkshow Hari Ibu Soroti Perlindungan Perempuan dari Rumah hingga Ruang Digital

  • Share
Talkshow Perempuan yang digelar oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kalimantan Barat, Rabu (3/12). (doc Caroline)

INIBORNEO.COM, Pontianak — Isu perlindungan hak perempuan, keamanan ruang digital, hingga pendampingan anak berkebutuhan khusus mengemuka dalam Talkshow Perempuan yang menghadirkan tiga pemateri perempuan lintas profesi, Rabu (3/12). Meski memaparkan materi dengan bidang yang berbeda, ketiganya menegaskan hal yang sama bahwa perempuan membutuhkan ruang aman, setara, dan bermartabat untuk hidup, bekerja, dan berpartisipasi dalam masyarakat.

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kalteng–Kalbar, Kristiana Meinalita Samosir, dalam uraiannya menegaskan bahwa perlindungan martabat perempuan merupakan pilar hak asasi manusia.

Ia menjelaskan bahwa berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan, mulai dari KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), kekerasan seksual, diskriminasi di tempat kerja, hingga pembatasan akses pendidikan dan politik, masih terjadi dan menuntut perhatian serius.

“Padahal hak asasi perempuan itu mencakup hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi, hak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi, hak berpolitik, hak pendidikan yang layak, serta hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan,” katanya.

Ia menegaskan bahwa instrumen hukum seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Deklarasi Beijing, dan Sustainable Development Goals (SDGs) mengamanatkan negara untuk hadir melindungi perempuan.

“Nilai kemanusiaan jauh lebih tinggi dari norma sosial yang mengekang perempuan. Tidak boleh ada pelabelan atau pembatasan atas nama tradisi,” tegasnya.

Isu Hak Asasi Manusia (HAM) kemudian mengalir ke ranah keluarga melalui paparan Zulaifa, Pengelola Rumah Autis Sayang Pontianak. Ia berbagi praktik baik dalam mendampingi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan spektrum autisme.

Tantangan sosial, emosional dan finansial yang dirasakannya saat mengasuh anak dengan autisme, menurutnya, merupakan yang terberat. Keterbatasan anak dalam bersosialisasi dan perilaku unik dari anak yang kerap terjadi di ruang publik seringkali mendapat reaksi negatif oleh orang sekitar yang tidak memahami kondisi autisme.

“Terkadang anak dianggap aneh bahkan ada yang bilang seperti orang gila,” tuturnya lirih.

Padahal, lanjutnya, sebagai orangtua dengan anak autis juga terkadang sudah minder dan tidak percaya diri. “Kurangnya dukungan sosial dari orang sekitar maupun keluarga seringkali menyebabkan orangtua stres,” cetusnya lagi.

Ia menilai banyak orang tua, terutama ibu, membutuhkan ruang belajar dan dukungan emosional agar tetap kuat dalam perjalanan panjang mengasuh anak autis.

Rumah Autis Sayang Pontianak, yang berdiri sejak 2019, menurutnya menjadi tempat bagi orang tua untuk saling menguatkan melalui pengalaman masing-masing.

Sementara dari kacamata jurnalis perempuan, Ketua Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK), Aseanty W. Pahlevi, menyoroti perlindungan hak digital bagi perempuan di tengah meningkatnya kasus kekerasan seksual dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KGBO) yang semakin memprihatinkan.

Berdasarkan pemaparan Aseanty, Komnas Perempuan mencatat 3.303 aduan kekerasan sepanjang 2023. Sedangkan data SAFEnet melaporkan 1.902 aduan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada 2024 serta data SIMFONI-PPA yang mencatat 28.805 kasus kekerasan hingga April 2024, sebagian besar dialami perempuan.

“Bahkan, 2.681 kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan kampus,” cetusnya.

Aseanty menjelaskan bahwa KBGO kini mencakup image-based sexual abuse (kekerasan seksual berbasis gambar), doxing (membocorkan data pribasi ke publik), dan sextortion (pemerasan seksual), sehingga pemberitaan media harus lebih berhati-hati dan mengedepankan prinsip ‘do no harm’.

“Tugas jurnalis bukan hanya memberitakan kasus, tetapi memastikan pemberitaan kita tidak merugikan korban, melindungi privasi mereka, dan mendorong perubahan kebijakan,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya SOP peliputan kekerasan seksual di redaksi, pelatihan keamanan digital, serta mekanisme pengaduan yang melindungi pekerja media.

“Perempuan saling menguatkan adalah pondasi perubahan. Women Supporting Women bukan sekadar slogan, tapi gerakan untuk memastikan ruang aman bagi semua,” tutup Aseanty.

Dalam kesimpulannya, Eka Wulandari selaku moderator talkshow tersebut menyebut rangkaian pemaparan dari ketiga pemateri kita hari ini memperlihatkan benang merah yang sama yaitu isu perempuan, baik dalam konteks hukum, keluarga, maupun ruang digital, membutuhkan pendekatan yang berpihak pada martabat dan keselamatan perempuan.

Talkshow ini digelar oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kalimantan Barat sebagai bagian dari peringatan Hari Ibu dan upaya memperkuat edukasi publik mengenai perlindungan dan pemberdayaan perempuan.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *