Buntut Bencana di Sumatera, Aktivis Desak Audit Industri Ekstraktif di Indonesia

  • Share
Sumber: Humas BNPB

INIBORNEO.COM, Jakarta – Bencana yang terjadi di Pulau Sumatera, menjadi alarm keras atas rusaknya fungsi ekologis hutan. Hingga akhir November, Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sedikitnya 442 orang meninggal dunia dan 402 orang dinyatakan hilang.

Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menyatakan bahwa skala kehancuran akibat bencana menunjukkan daya dukung lingkungan Sumatera telah berada pada titik kritis.

“Daya dukung lingkungan Sumatera sudah kritis karena hutannya ditimpa dan dirobek-robek oleh ribuan izin industri ekstraktif,” tegas Leonard.

Selain kerusakan hutan, bencana ini juga diperparah anomali iklim akibat penghangatan ekstrem di perairan Selat Malaka yang memicu Siklon Tropis Senyar. Menurut Leonard, kondisi ini membuktikan bahwa krisis iklim nyata terjadi dan membutuhkan tindakan segera.

Provinsi Sumatera Utara menjadi wilayah yang paling parah terdampak, mencakup Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga. Kawasan ini merupakan rumah bagi ekosistem Batang Toru yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati tinggi.

Namun, kawasan tersebut kini dikepung oleh berbagai megaproyek ekstraktif, termasuk tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources, PLTA Batang Toru, PLTMH Pahae Julu, proyek panas bumi PT SOL, industri kertas PT Toba Pulp Lestari, serta perkebunan sawit.

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menyebut bencana ini sesungguhnya bisa diminimalisir jika pemerintah dan perusahaan melakukan kajian menyeluruh terhadap seluruh izin dan pembukaan hutan.

“Banyaknya korban jiwa harus jadi pengingat pemerintah untuk benar-benar memulihkan bentang alam yang rusak dan meninjau ulang izin perusahaan perusak lingkungan,” ujar Andi.

Data Satya Bumi menunjukkan konsesi PT Agincourt Resources mencapai 130.252 hektare, dengan sekitar 40.890 hektare di antaranya tumpang tindih dengan kawasan ekosistem Batang Toru yang merupakan habitat terakhir Orangutan Tapanuli.

Saat ini, populasi orangutan Tapanuli diperkirakan kurang dari 800 individu, menjadikannya kera besar paling langka di dunia. Pada 2017, International Union for Conservation of Nature menetapkan spesies ini dalam kategori kritis terancam punah (Critically Endangered).

Yang paling dikhawatirkan, fasilitas penampung limbah tambang (tailing management facility/TMF) direncanakan berada di hulu DAS Nabirong, yang berpotensi mencemari DAS Batang Toru. Lokasi tambang juga berada di wilayah rawan gempa.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang diolah oleh Jaringan Advokasi Tambang mencatat terdapat 1.907 izin usaha pertambangan aktif di Sumatera dengan total luas mencapai 2,45 juta hektare.

Analisis citra satelit melalui Nusantara Atlas menunjukkan deforestasi akibat aktivitas Agincourt saja mencapai 739 hektare dalam satu tahun terakhir.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik mencatat sedikitnya 10 juta hektare perkebunan kelapa sawit tersebar di Sumatera. Pembukaan lahan skala besar ini telah mengubah fungsi hutan dari kawasan resapan air menjadi area galian, jalur logistik, dan pemukiman.

Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) juga diperparah oleh mekanisme Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Hingga November 2025, tercatat 271 PPKH dengan total luas 53.769 hektare di Sumatera.

Satya Bumi mendesak pemerintah segera menggelar audit menyeluruh terhadap seluruh aktivitas industri ekstraktif di lanskap Batang Toru, serta menindak tegas perusahaan yang terbukti merusak hutan.

“Rehabilitasi kawasan hulu secara komprehensif, termasuk reforestasi, stabilisasi lereng, dan pemulihan daerah tangkapan air kritis, tidak bisa lagi ditawar,” tegas Andi.

Sementara itu, Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah menghentikan deforestasi secara total dan mengakhiri ketergantungan pada energi fosil secara cepat dan adil sebagai langkah mutlak mencegah bencana serupa terulang.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *