INIBORNEO.COM, Jakarta — Konferensi Perubahan Iklim COP 30 di Brazil dinilai gagal menghasilkan keputusan yang mampu menjawab kedaruratan krisis iklim.
Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai paket keputusan Belem Political Package justru mengabaikan tuntutan global untuk menghentikan industri fosil sebagai penyumbang terbesar pemanasan global.
“Belem Political Package sebagai paket hasil COP-30 telah menyepakati hingga 2035 soal pelipatgandaan tiga lipat pendanaan iklim. Namun, tidak ada ketegasan dan mekanisme yang jelas, mengikat, terukur, serta transparan mengenai siapa dan pihak-pihak mana saja yang akan mengalokasikan dana tersebut dan bagaimana merealisasikannya,” tegas Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul.
Selain itu, ARUKI menyebut absennya mekanisme pendanaan yang adil dan transparan menunjukkan COP 30 gagal mendorong tanggung jawab negara-negara utara dan pencemar utama atas “utang sejarah” krisis iklim.
Tak hanya soal pendanaan, ARUKI menilai penyusunan 59 indikator Global Goal on Adaptation (GGA) juga melemah karena dukungan teknologi dan transformasi kapasitas justru berpotensi membebani negara berkembang.
Kepala Divisi Kehutanan dan Keanekaragaman Hayati ICEL, Difa Shafira, menilai keputusan COP 30 tentang Just Transition Work Programme (JTWP) tidak diiringi komitmen menghentikan bahan bakar fosil.
“Keputusan tersebut tidak disertai komitmen konkret untuk melakukan phase-out bahan bakar fosil. Hilangnya rujukan eksplisit mengenai phase-out dalam narasi energi justru menjadi bumerang terhadap upaya transisi energi global,” ujarnya.
ARUKI juga menyoroti terbatasnya akses kelompok rentan—seperti nelayan dan penyandang disabilitas—dalam proses perundingan UNFCCC, meski dampak krisis iklim justru paling dirasakan kelompok tanpa platform untuk bersuara.
Deklarasi Rakyat untuk Keadilan Iklim 2025, yang dibawa ARUKI, menegaskan pentingnya pengakuan hak-hak buruh, nelayan, petani, perempuan, masyarakat adat, dan masyarakat miskin kota dalam kebijakan iklim nasional.
Pasif
ARUKI juga mengecam sikap Pemerintah Indonesia yang dinilai pasif di COP 30 dan lebih banyak membuka ruang bagi kepentingan korporasi.
Uli Arta Siagian dari WALHI menyatakan, “selama CoP-30, Pemerintah Indonesia lebih sibuk memperdagangkan karbon ketimbang menunjukkan komitmennya untuk menurunkan emisi secara riil dan melindungi kelompok rentan dari dampak perubahan iklim.”
Situasi di lapangan pun dinilai mengkhawatirkan. YLBHI mencatat 212 kasus kriminalisasi dalam proyek strategis nasional (PSN) energi sejak 2022–2025.
Menurut Ketua Bidang Advokasi dan Kampanye YLBHI, Zainal Arifin, proyek-proyek energi dan pariwisata di berbagai wilayah menimbulkan pencemaran, penggusuran paksa, kerusakan ekosistem, serta maladaptasi yang memperparah risiko bencana.
ARUKI menegaskan bahwa setelah COP 30 berakhir, pemerintah terikat mandat konstitusi untuk memastikan keselamatan rakyat dari krisis iklim.
Torry kembali mengingatkan bahwa RUU Keadilan Iklim sudah masuk Prolegnas 2024–2029 dan menjadi landasan utama untuk merespon krisis secara holistik, “tidak hanya penurunan emisi tetapi juga perlindungan HAM, mekanisme ganti rugi, serta tata kelola yang partisipatif.”
ARUKI mendesak Pemerintah Indonesia segera membahas dan mengesahkan RUU Keadilan Iklim agar seluruh kelompok rentan—masyarakat adat, perempuan, penyandang disabilitas, orang muda, buruh, nelayan, dan masyarakat miskin kota—menjadi subjek utama dalam kebijakan iklim nasional.(ril)











