Teraju Indonesia Temukan Indikasi TPPO di Sejumlah Perusahaan Sawit di Kalbar

  • Share
Perkebunan kelapa sawit di area konsesi PT Suryamas Cipta Perkasa yang terindikasi masuk ke dalam kawasan hutan di Desa Paduran Sebangau, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dilihat dari atas pada Kamis, 21 Desember 2023. TEMPO/Riani Sanusi Putri

INIBORNEO.COM, Pontianak – Lembaga advokasi buruh, Teraju Indonesia, menemukan indikasi kuat praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kerja paksa di sejumlah perusahaan sawit yang beroperasi di Kalimantan Barat. Temuan itu menambah panjang daftar persoalan ketenagakerjaan di provinsi dengan lebih dari 300 perusahaan sawit ini.

Direktur Teraju Indonesia, Agus Sutomo atau Bung Tomo, mengungkapkan bahwa banyak perusahaan sawit mempekerjakan buruh yang direkrut dari berbagai daerah seperti NTT, Lombok, Sulawesi, Jawa, hingga Sumatera.

“Sebagian perusahaan sawit terindikasi TPPO dengan banyaknya buruh dari luar daerah,” ujarnya.

Salah satu alasan banyaknya buruh yang direkrut dari luar daerah adalah anggapan bahwa pekerja lokal cenderung kurang disiplin dan sering terlibat dalam kegiatan adat yang membutuhkan banyak hari libur, sehingga dinilai menurunkan produktivitas. Selain itu, Bung Tomo menyebutkan bahwa kelompok masyarakat menengah ke bawah biasanya menjadi target utama dalam proses perekrutan.

Dibujuk Lowongan di Medsos, Dijanjikan Gaji Tinggi

Teraju menemukan pola rekrutmen yang sama di beberapa kasus yakni perusahaan menawarkan gaji tinggi dan fasilitas menarik melalui media sosial. Namun, saat tiba di lokasi kerja, buruh dihadapkan pada kondisi yang jauh berbeda dari janji.

Salah satu kasus yang disorot adalah pasangan suami-istri yang dijanjikan bekerja di Pangkalan Bun, namun justru dibawa ke Semitau, Kapuas Hulu. Meski sang istri tengah hamil enam bulan, ia tetap dipaksa bekerja tanpa menerima gaji, dengan alasan upah dipotong untuk biaya perjalanan.

Temuan lainnya datang dari Sekadau pada 2023, ketika sekelompok buruh sawit mencoba kabur karena mengalami kondisi kerja yang disebut menyerupai perbudakan modern. Mereka sebelumnya dijanjikan gaji besar dan pekerjaan mudah, tetapi realitas di lapangan justru penuh tekanan dan eksploitasi.

Buruh Dipersulit Saat Ingin Berhenti

Menurut Bung Tomo, banyak buruh yang ingin berhenti justru dipersulit perusahaan. Ia mencontohkan kasus seorang nenek berumur sekitar 60 tahun yang sudah tidak kuat bekerja, namun perusahaan menolak permintaannya untuk mundur.

“Kami menyimpulkan perusahaan enggan memenuhi hak-hak buruh yang seharusnya diterima saat memasuki masa pensiun,” jelasnya.

Selain itu, Teraju menyoroti kecelakaan kerja berat yang sering berujung kematian, namun tidak ditangani secara transparan oleh perusahaan. Beberapa perusahaan juga disebut menolak keberadaan serikat buruh.

Meski banyak perusahaan telah mengantongi sertifikat RSPO dan ISPO, Teraju menilai implementasi standar perlindungan buruh di lapangan masih jauh dari ideal. Standar sertifikasi mengharuskan perusahaan memenuhi berbagai kewajiban mulai dari kontrak kerja yang jelas, upah sesuai peraturan, jaminan BPJS, kebijakan HAM, hingga larangan kerja paksa dan pekerja anak.

Dari sisi keselamatan kerja, perusahaan juga wajib menyediakan APD lengkap, pelatihan K3, fasilitas kesehatan, hingga mekanisme pengaduan. Namun, menurut Teraju, proses audit sering kali hanya memeriksa dokumen tanpa melihat kondisi lapangan secara langsung.

“Sertifikasi ini hanya sebatas keperluan administratif,” tegas Bung Tomo.

Dorong Perda Perlindungan Buruh Sawit

Teraju Indonesia mengaku telah melaporkan seluruh temuan tersebut ke Desk Ketenagakerjaan Polda Kalbar, namun belum ada perkembangan signifikan.

Untuk mencegah kasus serupa terus berulang, Teraju dan Serikat Buruh Kebun Sawit Kalbar mendorong percepatan penerbitan Perda Perlindungan Buruh Sawit. Regulasi itu dinilai penting untuk mengatasi minimnya perlindungan sosial, buruknya kondisi K3, rendahnya upah minimum sektoral, maraknya kontrak dan outsourcing, serta tingginya target kerja yang disertai ancaman pemotongan upah hingga PHK semena-mena.

Ketua Federasi Serikat Buruh Kebun Sawit Kalbar, Yublina Yuliana Oematan, menegaskan perlunya kepastian hukum bagi pekerja.

“Kami meminta agar perda itu dipercepat dan hak-hak kami benar-benar diberikan. Kami juga perlu memahami aturan serta kewajiban yang harus kami jalankan agar semuanya seimbang,” ujarnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *