Konflik Lahan di Ketapang, PT Mayawana Diduga Abaikan Larangan KLHK

  • Share
Konferensi pers terkait konflik agraria antara masyarakat dan PT Mayawana Persada, di Pontianak, Selasa (23/09/2025).

PONTIANAK, iniborneo.com – Konflik lahan antara warga dengan PT Mayawana Persada kembali mencuat di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Sejumlah warga mengaku kehilangan lahan garapan hingga sumber penghasilan setelah perusahaan melakukan penggusuran untuk pembukaan lahan secara masif. Kendati telah dilarang, perusahaan tetap membuka lahan.

Marcus Bonbon, warga Dusun Selimbung, Desa Sekucing Kolan, Kecamatan Simpang Hulu, mengaku menjadi salah satu korban penggusuran. Ia menceritakan kebun karet dan ladang padi miliknya seluas sekitar 30 hektare di Blok N, Munggu Marau, digusur oleh perusahaan.

“Dari dulu kami menanam padi, lalu karet. Itu sumber penghasilan kami. Pernah sehari bisa dapat sampai Rp200 ribu dari karet. Tapi sekarang hilang semua, digarap perusahaan,” ujarnya di Pontianak, Selasa (23/9/2025).

Marcus menyebut lahan tersebut adalah garapan turun-temurun yang tidak pernah dijual maupun dilepaskan kepada pihak manapun. Perusahaan sempat menawarkan kompensasi Rp1,5 juta per hektare dengan alasan lahan masuk wilayah administrasi Desa Kampar Sebomban.

“Kami tidak menyerahkan lahan. Mereka datang beberapa kali ke rumah, minta lahan itu diserahkan, tapi tidak ada ancaman langsung. Cuma kami dipaksa untuk menerima tawaran itu,” tambahnya.

Ia menuturkan, setelah pembukaan lahan dilakukan, kampungnya mulai sering dilanda banjir hingga menyebabkan gagal panen.

Direktur Eksekutif LinkAR Borneo, Ahmad Syukri, mengatakan konflik lahan di Ketapang dan Kayong Utara semakin meluas setelah PT Mayawana Persada tetap membuka lahan meski ada larangan dari Kementerian LHK sejak 2023.

Menurutnya, banyak kebun karet dan bekas ladang padi dibuka paksa dengan iming-iming kompensasi Rp1,5 juta per hektare.

“Bahkan ada intimidasi halus, karena mereka bilang mau diterima atau tidak, lahan tetap digusur,” ujarnya.

Syukri menambahkan, perlawanan warga terus terjadi namun diikuti dengan upaya kriminalisasi. Salah satunya menimpa Tarsisius Vendisiusupi yang dipanggil polisi dengan tuduhan pemerasan, padahal yang dilakukan adalah menagih janji sanksi adat kepada perusahaan.

Menurutnya, dampak lingkungan akibat deforestasi sudah dirasakan cepat. Sejak akhir 2024, banjir semakin sering terjadi dan mengakibatkan gagal panen di Kolan Hilir serta Sekucing Kolan. Data LinkAR Borneo mencatat dari total konsesi 136.710 hektare, sekitar 80 persen lahan sudah dibuka oleh PT Mayawana Persada.

“Bahkan mereka dapat penghargaan karena penanaman tercepat setelah land clearing. Tapi itu mengorbankan ekosistem, termasuk habitat orangutan yang hilang. Tahun 2023, deforestasi terbesar di Indonesia justru disumbang perusahaan ini,” tegasnya.

Hingga kini warga masih menuntut penyelesaian yang adil. Mereka meminta perusahaan menghormati hukum adat dan menepati kesepakatan yang telah dibuat bersama.

“Sering kali perusahaan berjanji akan hadir saat negosiasi atau saat sanksi adat dijatuhkan, tapi pada hari yang ditentukan tidak datang. Itu berulang-ulang, sehingga masyarakat merasa dikhianati,” imbuhnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *