INIBORNEO.COM, Pontianak – Ashoka Indonesia mendorongkan kawasan Kampung Yuka Kota Pontianak sebagai hotspot populasi changemaker. Berkolaborasi dengan Eco Bhinneka Kalimantan Barat, Gemawan, PENA Borneo, Akademi Ide Kalimantan, PPWS, dan PEKKA dan Yayasan Kolase menyelenggarakan Pelatihan Penggerak Kampung Yuka untuk memperkuat kapasitas penggerak komunitas, tokoh agama, komunitas orang muda, dan lain sebagainya sebagai motor penggerak perubahan di Kawasan.
Direktur Ashoka Regional Asia Tenggara, Nani Zulminarni, menyebut Pontianak dipilih karena dianggap sebagai salah satu kota di Indonesia yang memiliki potensi kuat dalam melahirkan gerakan perubahan sosial.
“Kota Pontianak itu salah satu kota di Indonesia yang emerging. Jadi ada perubahan yang sangat besar dalam 10–15 tahun terakhir di Kota Pontianak, terutama dari orang-orang muda. Jadi kita mencari kota-kota yang kita anggap bisa menjadi hotspot dari Indonesia, sebagai contoh Kota Pontianak,” ungkap Nani dalam Talkshow bertajuk Gerakan Pembaharu Pontianak: Merajut Aksi Kolektif di Kampung Yuka, Selasa (26/8/2025).
Talkshow ini sendiri digelar sebagai bagian dari Pelatihan Penggerak Kawasan Yuka Gerakan Pembaharu yang digelar oleh Ashoka 26-28 Agustus 2025.
Menurutnya, kawasan Yuka dipilih karena sudah lama menjadi lokasi aktivitas pemberdayaan yang dijalankan lembaga-lembaga yang ia dirikan, yakni PEKKA. Baginya, Yuka merupakan kawasan yang cukup kompleks, menantang tapi juga potensial.
“Kalau berhasil menggerakkan seluruh orang di sini, Yuka bisa menjadi sentra ekonomi, sosial, dan budaya dengan keragaman kultur,” jelasnya.
Nani menjelaskan ada tiga perubahan utama yang diharapkan dari masyarakat Yuka.
“Yang pertama, perubahan sikap masyarakat untuk lebih mengedepankan empati. Terus yang kedua, kemampuan masyarakat untuk berkolaborasi. Yang ketiga, kita ingin melihat di Yuka lahir inovasi-inovasi sosial, entrepreneurial yang sifatnya memenuhi livelihood dan juga peradaban. Jika tiga hal ini terjadi maka dampak ekonominya akan kelihatan,” tegasnya.
Dalam jangka dua tahun, Ashoka menargetkan terbentuknya core team penggerak Yuka yang solid dan terkoneksi dengan berbagai sistem, mulai dari pemerintah, perguruan tinggi, hingga sektor swasta.
“Dua tahun itu waktu yang sangat singkat untuk sebuah perubahan sosial, tapi milestone-nya kita ingin ada tim ini yang solid dan terkoneksi. Karena kalau dalam dua tahun kita gak berhasil ini, itu udah pasti gak berhasil,” kata Nani.
Selama tiga hari pelatihan, masyarakat Yuka didorong untuk membangun langkah awal melalui pembelajaran dasar kerja tim, pemetaan masalah, hingga penyusunan visi bersama.
“Visioningnya itu harus dari mereka, seperti apa sih dream-nya mereka terhadap Yuka. Misalnya, Yuka dikenal sebagai tempat drifting, itu sebetulnya potensi besar kalau dikelola. Di Jepang, Amerika, dan negara besar lainnya drifting itu budaya wisata. Kalau Yuka bisa mengelola ini dan dikaitkan dengan alamnya, saya rasa dahsyat banget,” pungkas Nani.
Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, saat membuka acara ini menekankan pentingnya menyesuaikan diri dengan kondisi geografis dan lingkungan Yuka yang rentan genangan.
“Kita harus bisa hidup mengikuti alam, bukan alam mengikuti kita. Kalau kita ingin mengembangkan Yuka, potensinya adalah mengajak masyarakat untuk bersama-sama meningkatkan keterampilan dan menambah pendapatan keluarga,” ucapnya.
Edi juga menyinggung masalah legalitas tanah yang masih menjadi kendala di kawasan Yuka. Meski begitu, ia menegaskan pemerintah tetap berupaya mencari solusi agar masyarakat memiliki kepastian hukum atas tanah yang ditempati.
Selain itu, pemerintah kota juga tengah menggarap program pengelolaan air limbah, pengembangan kampung kreatif berbasis kearifan lokal, serta destinasi wisata baru di sekitar kawasan waterfront Yuka.
“Kuncinya adalah kolaborasi. Masyarakat harus diberdayakan sesuai potensi lokalnya, apakah itu melaut, bertani, atau kerajinan. Pemerintah akan memfasilitasi sehingga kampung bisa menjadi destinasi inspiratif,” ujarnya.