INIBORNEO.COM, Pontianak — Kalimantan Barat (Kalbar) kehilangan lebih dari separuh tutupan hutannya dalam 22 tahun terakhir. Alih fungsi lahan, penebangan, serta ekspansi perkebunan kelapa sawit disebut sebagai faktor utama.
Akademisi Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Dr Hari Prayoga, memaparkan bahwa pada tahun 2000, luas hutan Kalbar masih tercatat sekitar 13 juta hektare. Namun pada 2022, hanya tersisa sekitar 4,9 juta hektare.
“Artinya, dalam 22 tahun Kalbar kehilangan sekitar 8 juta hektare atau 61,5 persen tutupan hutannya,” kata Hari saat menjadi pemateri pada Media Gathering Kolase Jurnalis Camp 2025 di Pontianak, Minggu.
Menurut Hari, meski secara kasat mata Kalimantan masih terlihat hijau, sebagian besar kawasan kini didominasi perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan, lebih dari dua juta hektare lahan di Kalbar telah beralih menjadi kebun sawit, baik milik perusahaan maupun masyarakat.
“Banyak mahasiswa saya mengaku orang tuanya punya kebun sawit. Ada yang satu hektare, dua hektare, bahkan sampai 10 hektare. Karena karet tidak lagi menjanjikan, masyarakat beralih ke sawit,” ujarnya.
Selain sawit, deforestasi juga dipicu oleh penebangan kayu legal maupun ilegal, serta pertambangan bauksit, emas, nikel, dan pasir kuarsa. Menurut Hari, pasir kuarsa memiliki potensi besar untuk dikembangkan, terutama dalam industri panel surya, namun pengelolaannya seringkali tidak berpihak pada masyarakat lokal.
“Masyarakat hanya jadi buruh, bukan pemilik,” tegasnya.
Hari juga menyinggung proyek food estate yang berisiko menimbulkan “zona mati ekologis” seperti yang pernah terjadi di Kalimantan Tengah pada 1990-an.
Meski menghadapi tekanan besar, Kalimantan masih menyimpan kekayaan hayati luar biasa. Tercatat lebih dari 15.000 jenis tumbuhan, 3.000 jenis pohon, 221 spesies mamalia, dan lebih dari 600 jenis burung. Namun, satwa ikonik seperti orangutan semakin terancam akibat fragmentasi habitat, kebakaran, dan perburuan.
“Kita kehilangan sepertiga hutan hanya dalam beberapa dekade. Fragmentasi membuat orangutan terisolasi dan rawan kawin kerabat. Jika kondisi ini terus berlanjut, keanekaragaman hayati kita akan hilang,” ujarnya.
Ia menambahkan, spesies invasif seperti akasia, eceng gondok, ikan nila, dan ikan sapu-sapu juga turut menekan ekosistem asli Kalimantan.
“Ancaman utama Kalimantan adalah deforestasi dan perubahan iklim. Jika hutan rusak, kita kehilangan fondasi kehidupan,” pungkasnya.