INIBORNEO.COM, Pontianak – Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (GERAM TANAH) menyampaikan 18 kejahatan yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo selama satu dekade terhadap Konstitusi Agraria pada aksi Hari Tani Nasional, 24 September 2024. Petani, Nelayan, Buruh, Masyarakat Adat, Perempuan, Mahasiswa dan Kaum Miskin Perkotaan berbondong-bondong menyampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa kejahatan ini telah membuat bangsa Indonesia semakin tenggelam dalam darurat agraria dan darurat demokrasi.
Pertama, pembohongan publik oleh pemerintah yang telah menjalankan Reforma Agraria seluas 9 hektare, padahal pemerintah hanya menjalankan sertifikasi tanah tanpa menjalankan redistribusi tanah kepada rakyat dan menuntaskan konflik-konflik agraria.
Kedua, Presiden Joko Widodo telah melanggar UUPA dan melawan Putusan MK No. 21-22/PUUV/2007 yang melarang pemberian HGU selama 90 tahun dan HGB selama 80 tahun. Bukannya menjalankan mandat UUPA dan Putusan MK tersebut, pemerintah justru melipatgandakan pemberian hak atas tanah kepada pengusaha menjadi 190 tahun untuk HGU dan 160 tahun untuk HGB di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Ketiga, pemerintahan Joko Widodo menjadikan proyek pembangunan yang kental dengan kepentingan bisnis swasta termasuk swasta asing sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti proyek energi, infrastruktur, pangan (proyek food estate), pabrik, kawasan niaga dan real estate milik korporasi. Dengan memberi label PSN, Presiden melahirkan keputusan yang mengakibatkan terjadinya perampasan tanah, penggusuran dan kriminalisasi rakyat.
Keempat, pemerintahan Joko Widodo membiarkan kejahatan penelantaran tanah yang dilakukan oleh perusahaan meskipun hal tersebut jelas-jelas melanggar UUPA.
Kelima, pemerintahan Joko Widodo tidak melakukan upaya untuk mengoreksi monopoli tanah oleh swasta sesuai amanat UUD dan UUPA. Sehingga saat ini lebih dari 25 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar pengusaha tambang dan 11,3 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha kayu, di dalamnya praktik mafia sawit, mafia tambang dan mafia kayu semakin subur (Sawit Watch, ESDM dan LHK, 2024). Bahkan dengan dalih mempermudah investasi, pemerintahan Jokowi memberi pemutihan atas kejahatan lingkungan dan kehutanan, pengampunan kejahatan pajak, yang semakin merugikan rakyat.
Keenam, pemerintahan Joko Widodo bersama parpol di DPR telah mengesahkan UU Cipta Kerja yang anti petani. Akibatnya, investasi yang melakukan perampasan tanah pertanian, penggusuran kampung dan wilayah adat semakin merajalela.
Ketujuh, pemerintahan Jokowi justru memangkas berbagai subsidi yang menjadi hak bagi petani dan nelayan. Pemerintah justru mempersulit produksi petani dan nelayan melalui kebijakan Kartu Tani, Kartu Nelayan, Zonasi Distribusi Pupuk, Zona Tangkap, larangan dan pembatasan benih swadaya dan naiknya beban pajak, akibatnya hasil produksi rakyat tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Kedelapan, pemerintahan Jokowi membiarkan praktik korupsi agraria-SDA dan mafia tanah. Padahal, dalam struktur ekonomi nasional yang bersandarkan pada pengerukan kekayaan sumber-sumber agraria, episentrum utama korupsi ada dalam tubuh pemerintah yang memberi izin, hak dan mengelola langsung sumber-sumber agrarian.
Kesembilan, pemerintahan Jokowi berbuat jahat dengan melakukan cara-cara represif dan intimidatif di wilayah konflik agraria, melalui pengerahan aparat keamanan dan memecah belah rakyat.
Kesepuluh, Presiden Joko Widodo anti petani kecil sehingga gagal menyejahterakan petani dan gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Pemerintah secara sistematis mendorong pembangunan pertanian pangan yang lebih bertumpu pada korporasi pangan sebagai penyedia pangan melalui food estate. Petani semakin gurem dan miskin, posisi mereka yakni petani dan nelayan sebagai produsen pangan terus dilemahkan.
Kesebelas, pemerintahan Joko Widodo membiarkan praktik korupsi dan monopoli pangan oleh mafia pangan, akibat kebutuhan pangan nasional masih menggantungkan dirinya pada hasil impor.
Keduabelas, pemerintahan Joko Widodo menghidupkan kembali aturan-aturan tanah dan praktik jahat pertanahan era kolonial yang telah dihapus oleh UUPA.
Ketigabelas, pemerintahan Joko Widodo mengingkari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Paska UU Cipta Kerja disahkan sedikitnya 109 aturan terkait agraria-SDA sudah dikeluarkan pemerintah menggenapi kejahatan terhadap konstitusi dan UUPA. Telah terbukti akibat implementasi UUCK (KPA, 2023), terjadi konflik agraria dan perampasan tanah rakyat dimana-dimana. Ratusan aturan tersebut juga semakin memperkuat sektoralisme, pro pengusaha dan tumpang tindih hukum agraria.
Keempatbelas, rezim Joko Widodo tidak pernah memulihkan lingkungan dari dampak buruk bisnis pemodal. Buktinya luas hutan yang dijadikan sawit dan tambang semakin luas tiap tahunnya.
Kelimabelas, pemerintahan Jokowi melanggar UUPA dengan tetap mempraktekkan asas domein verklaring sehingga seolah negara menjadi pemilik tanah yang berlaku sewenang-wenang sehingga petani dan masyarakat adat di mata pemerintah dianggap tinggal menumpang di atas tanahnya sendiri. Bahkan pemerintah memelihara konflik agraria masyarakat dengan BUMN perkebunan dan klaim kawasan hutan negara, dan selalu bertindak represif kepada masyarakat yang mempertahankan tanahnya dari klaim hutan negara dan BUMN.
Keenambelas, pemerintah telah menjauhkan nelayan dari cita-cita keadilan bahari. Layaknya tanah dan kekayaan alam di darat, laut, pesisir dan pulau kecil pun semakin diprivatisasi oleh pengusaha dan pemerintah. Akibatnya para nelayan tradisional kerap menjadi korban perampasan tanah demi bisnis tambang, hutan, sawit dan energi. Pembiaran lainnya oleh Presiden Joko Widodo lainnya adalah ketimpangan ekonomi antara Nelayan dan buruh kapal dengan pemodal dibiarkan tanpa ada intervensi pemerintah.
Ketujuhbelas, pemerintahan Joko Widodo telah mengabaikan hak perempuan atas tanah dan kesehatan mereka dengan tidak memasukkan keadilan gender dalam kebijakan Reforma Agraria sebagaimana mandat UUPA.
Kedelapanbelas, rezim ini telah melanggar konstitusi tentang penghidupan yang layak dan pekerjaan yang layak. Hal ini dibuktikan dari serangkaian pelanggarannya melalui restrukturisasi kebijakan hukum ketenagakerjaan yang dibungkus dalam UU Cipta Kerja.
Oleh karena itu, GERAM TANAH menuntut Presiden Joko Widodo agar mempertanggungjawabkan penyelewengan pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia beserta seluruh kejahatan agraria yang terjadi dengan sepuluh tuntutan, yakni:
- Menjalankan Reforma Agraria Sejati sesuai dengan UUD 1945 dan UUPA 1960 dengan melakukan redistribusi tanah kepada petani gurem, buruh tani dan perempuan petani, serta menyelesaikan seluruh konflik agraria struktural sebagai proses pemulihan hak-hak korban perampasan tanah dan penggusuran, selanjutnya Negara menjamin ketersediaan modal, pendidikan, teknologi tepat guna, benih, pupuk, infrastruktur pertanian dan pasar yang berkeadilan.
- Melakukan reformasi kelembagaan untuk mendukung RA dengan menyatukan fungsi planologi kehutanan, tata ruang, geospasial dan pengadministrasian hak atas tanah baik di darat maupun pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam satu kementerian yang mengurus agraria-pertanahan. Sebagai pelaksana RA Presiden harus membentuk Dewan Pertimbangan Reforma Agraria Nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden, dengan pelibatan Organisasi Rakyat. Lembaga ini penting untuk memastikan bahwa RA benar-benar dijalankan sesuai tujuannya.
- Mencabut regulasi anti petani dan rakyat, yakni UU Cipta Kerja dan produk hukum turunannya yang terkait dengan Bank Tanah, Food Estate, PSN, IKN, KEK, KSPN, HPL, forest amnesty, KHDPK, dll., serta menghentikan segala jenis kejahatan agraria yang telah berlangsung, sehingga ke depan konstitusi dapat diselamatkan, demokrasi ditegakkan, dan reforma agraria sejati dapat diwujudkan;
- Menyusun dan mengesahkan RUU Reforma Agraria serta RUU Masyarakat Adat sebagai penguat cita-cita UUPA, sekaligus landasan hukum bagi pelaksanaan redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, pengakuan wilayah adat, perombakan monopoli tanah, dan pembangunan pertanian, pangan serta pedesaan dalam kerangka Reforma Agraria.
- Mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang, korupsi agraria dan mafia tanah serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses perumusan regulasi yang koruptif dan manipulatif yang berorientasi pada kepentingan bisnis dan PSN, yang telah merampas demokrasi, kebebasan, hak hidup dan hak atas tanah rakyat.
- Menghentikan dan menghukum berat praktik para mafia impor pangan yang telah menghancurkan sendi-sendi produksi petani, nelayan, peternak dan petambak garam, serta melemahkan pemenuhan hak atas pangan bahkan kedaulatan pangan.
- Membubarkan Badan Bank Tanah yang telah merampas tanah-tanah petani dan masyarakat adat dan telah membajak serta menyelewengkan tanah objek reforma agraria bagi rakyat, menjadi objek pengadaan tanah bagi para pengusaha.
- Membebaskan Petani, Masyarakat Adat, Nelayan, Perempuan, Kaum Miskin Perkotaan dan Aktivis Agraria yang dipenjara serta dikriminalisasi karena memperjuangkan hak atas tanah, sekaligus menghentikan cara-cara kekerasan dan otoriter dalam penanganan konflik agraria.
- Melindungi wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan wilayah tangkap nelayan dari ancaman investasi yang merampas dan merusak lingkungan, demi keberlangsungan hidup kaum nelayan sebagai penghasil pangan khususnya ikan bagi segenap rakyat.
- Menghentikan food estate dan mengedepankan pembangunan pedesaan berbasiskan, pertanian pangan alami dan ekologis, peternakan dan perikanan yang berpusat pada kepentingan rakyat dalam kerangka RA Sejati, dimana pusat-pusat produksi dan industri milik petani dan nelayan dapat berkembang, saling terhubung dengan proses industrialisasi nasional yang mensejahterakan kaum buruh, sehingga hubungan desa-kota saling memperkuat.