*Sengkarut Sawit Swasta dalam Kawasan Hutan di Kalbar
INIBORNEO.COM, Pontianak – Mekanisme pemutihan areal kebun sawit yang masuk kawasan hutan berpotensi pada hilangnya kawasan hutan dan menjadi penyumbang deforestasi. Lembaga SIAR merilis analisis untuk luasan sawit yang masuk kawasan hutan sekitar 109 ribu hektare, atau sama dengan sembilan kali luas Kota Bogor.
Mengambil analogi luasan kawasan hutan yang berpotensi jadi lahan sawit dengan luas Kota Bogor yakni 11,140 ribu hektare adalah untuk menggambarkan besarnya potensi kawasan hutan yang dapat hilang jika mekanisme ‘pemutihan’ berhasil.
Potensi hilangnya kawasan hutan ini pun sama besarnya jika mengambil analogi dengan luasan Kota Pontianak, yakni 11,830 ribu hektare. “Detilnya, di Kalimantan Barat hutan seluas 109.233,69 hektar akan legal ditanami kelapa sawit tanpa ada pertanggungjawaban secara berkelanjutan,” tambah Erlangga Rizky Ananta, Direktur Eksekutif SIAR.
Erlangga menambahkan, ada indikasi pembiaran pada kasus sawit swasta yang masuk dalam kawasan hutan lantaran sudah cukup lama isu ini bergulir. Luasan tutupan sawit yang berada di kawasan hutan berdasarkan fungsi kawasan hutan di Kalimantan Barat, dapat dilihat dari tabel ini.
SIAR juga menyatakan bahwa mekanisme UU Cipta Kerja yang memberikan sanksi administrasi dengan membayar denda tidak bisa diterapkan secara keseluruhan, atau menjadi alat untuk ‘pemutihan’ areal yang masuk dalam kawasan hutan dengan alasan keterlanjuran.
Lantaran, pasal 110A dalam undang-undang tersebut tidak berlaku bagi pihak yang sudah mempunyai izin berusaha di dalam kawasan hutan. Sedangkan, sawit bukan komoditi yang diizinkan untuk berusaha di dalam kawasan hutan.
Selain itu, pada pasal 38 ayat 2 di undang-undang tersebut mengamanatkan bahwa jika penggunaan kawasan hutan tidak boleh mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan. “Jadi pasal 110B UU Cipta Kerja tidak bisa dijadikan alasan untuk memberi Perizinan Berusaha kepada pengusaha sawit, dengan mengubah fungsi pokok kawasan hutan menjadi perkebunan,” tambahnya.
Jika terjadi, -baik yang berizin apalagi yang tidak mengantongi izin- maka akan dikategorikan pengrusakan seperti termaktub dalam pasal 1 butir 3. Merujuk pada pasal 50 ayat (2) huruf (a),
setiap orang yang mengerjakan, menggunakan dan/atau menduduki Kawasan Hutan secara tidak sah (Pasal 50 ayat (2), huruf a), dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp7,5 miliar.
“Pasal 110A dan pasal 110B pun tidak bisa menghilangkan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara seperti dimaksud UU tentang Tindak Pidana Korupsi,” lanjutnya.
Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memastikan tidak ada ‘pemutihan’ terhadap sawit yang masuk dalam kawasan hutan. Pemerintah Indonesia telah memberikan tenggat waktu hingga 2 November 2023 lalu bagi para pelaku usaha untuk mengurus perizinan sesuai ketentuan dalam Undang-undang Cipta Kerja Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 atau Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Aturan tersebut mengatur teknis penyelesaian masalah kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan dalam dua pasal, yakni 110A dan 110B. Pada pasal 110A, untuk kebun yang sudah terbangun, mempunyai izin usaha perkebunan, dan sesuai tata ruang pada saat izin diterbitkan, namun statusnya saat ini berada pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.
Sedangkan, Pasal 110B mengatur mengenai penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.
Sebelum tenggat waktu, Satuan Tugas Tata Kelola Sawit mewajibkan para pengusaha yang konsesinya terdata masuk kawasan hutan untuk melakukan pendaftaran secara mandiri melalui
Sistem Informasi Perizinan Perkebunan atau disingkat Siperibun milik Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Jika telat, maka akan dikenakan sanksi sesuai UUCK, dari mulai denda administrative hingga pidana kehutanan.
Sesuai Tenggat
Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Barat secara kolektif telah menyerahkan data-data perusahaan di Kalimantan Barat yang disebutkan masuk dalam kawasan hutan menurut KLHK. Kepala Bidang Penyuluhan, Pengolahan, Pemasaran dan Pembinaan Usaha Perkebunan, Hendarto, mengatakan, ada perbedaan yang mendasar sehingga perusahaan yang terindikasi masuk kawasan hutan makin besar jumlahnya versi KLHK.
“Peta yang digunakan adalah peta izin lokasi, seharusnya mengacu pada peta Izin Usaha Perkebunan. Satgas juga tidak pernah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk masalah ini. Padahal wali datanya adalah daerah,” ujar Hendarto.
Hendarto juga menyebutkan adanya kerancuan jika melihat secara detail luasan areal konsesi yang masuk dalam kawasan hutan. P”ada beberapa perusahaan terdapat areal yang masuk kawasan hutan seluas nol koma sekian hektare. Kalau ini dilihat dari satelit, jangan-jangan yang dikategorikan masuk kawasan lantaran tajuknya yang menjulur lantaran konsesinya berbatasan langsung dengan kawasan hutan.
Design by ini BorneoKini, sebanyak 198 perusahaan sawit yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan di Kalbar menurut KLHK masih menunggu kepastian terkait sanksi yang dijatuhkan. Hendarto mengakui bahwa isu konsesi yang masuk dalam kawasan hutan bukan hal baru. Pelaku usaha, kata dia, sudah sejak lama berupaya agar kawasan yang enclave dikeluarkan dari izin mereka. Namun ternyata urusannya tidak sesederhana itu.
Sejarah perubahan status kawasan hutan ikut menentukan areal-areal yang tadinya berstatus non hutan menjadi hutan, atau sebaliknya. “Ada perusahaan yang berdasarkan SK 733 tahun 2014 entang Kawasan Hutan Dan Konservasi Perairan Provinsi Kalimantan Barat, sudah tidak lagi masuk kawasan hutan, tapi di SK 399 tahun 2020 yang mengatur perubahannya ternyata masuk kawasan. Begitu juga sebaliknya,” ungkapnya.
Made with Visme Infographic Maker
Sebelumnya, Greenpeace, Pantau Gambut dan TuK Indonesia telah merilis fakta dibalik pemutihan sawit illegal dalam kawasan hutan. Disebutkan,komitmen pemerintah yang minim untuk melindungi lingkungan hidup, memberantas kejahatan lingkungan hidup, memberantas korupsi, dan menempatkan keberpihakannya kepada rakyat. Kebijakan tersebut bahkan melindungi kejahatan lingkungan berulang yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Menurut Greenpeace dan TheTreeMap (2019) terdapat total luas sekitar 3.118.804 hektar tanaman kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan di Indonesia. Setengahnya merupakan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mana terdapat lebih dari 600 perusahaan yang masing-masing mengusahakan lebih dari 10 hektar di dalam kawasan hutan.
Lebih jauh, sawit tersebut ditanam di atas lahan hutan dengan fungsi sebagai hutan konservasi dan lindung dengan luasan berturut-turut mencapai 90.200 hektar dan 146.871 hektar. Data tersebut turut mengidentifikasi 25 besar grup anggota RSPO berdasarkan total luas kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan. Sepuluh grup teratas yang menanam sawit di dalam kawasan hutan adalah Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High.
ASEANTY PAHLEVI | CANTYA ZAMZABELLA