INIBORNEO.COM, Pontianak – Gemuruh suara mesin lepeh telah menjadi penanda yang tak terbantahkan akan kedatangan pagi di desa kecil Pulau Cempedak. Di antara keheningan malam yang mulai memudar, suara berisik mesin perahu tradisional itu membangunkan penduduknya dari tidur lelap mereka.
Bahkan, kokok ayam yang biasanya mengawali pagi pun nyaris tenggelam dalam gemuruh tersebut, tak lagi memiliki kekuatan untuk bersaing. Begitu pula dengan suara alarm ponsel yang terdengar hambar di antara deru mesin yang memecah kesunyian.
Salah satu di antara mereka yang terjaga oleh kebisingan itu adalah Salmin, seorang nelayan berusia 40 tahun asal Negeri Gajah Putih, Thailand, yang telah menetap di desa kecil ini. Sejak tahun 2000, ia telah menjadikan Pulau Cempedak sebagai rumahnya, salah satu dari sekian banyak pulau di Kendawangan Kiri, Ketapang, Kalimantan Barat.
“Saya datang ke Cempedak tahun 2000. Istri saya asli orang sini. Tapi keturunan istri dulu dari pulau Gelam sejak beberapa puluh tahun lalu dan kemudian kami tinggal disini,” ucap Salmin pelan saat ditemui di rumahnya, November 2023 lalu.
Terlihat masih mengantuk, Salmin tak merepotkan diri mencari kudapan sepotong roti atau nasi. Alih-alih ia malah membakar sebatang rokok, menghisapnya, selang-seling dengan menyeruput segelas kopi hitam.
Salmin berprofesi sebagai nelayan, pekerjaan umum yang sudah diteladani oleh masyarakat Cempedak bahkan Kendawangan. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ketapang dan Badan Pusat Statistik Ketapang dalam buku Ketapang Dalam Angka, pada tahun 2019, jumlah nelayan Kendawangan sebanyak 1.203 jiwa. Tahun 2020 bejumlah 2.640 jiwa, tahun 2021 berjumlah 2.698 jiwa, tahun 2022 berjumlah 2.698 jiwa dan yang terbaru tahun 2023 berjumlah 2.856 jiwa.
Telah menjadi nelayan selama puluhan tahun, Salmin memiliki alat tangkap yang cukup lengkap untuk digunakan di setiap musim ikan.
“Saya punya jenis-jenis jaring itu ada rempak, jaring ukuran paling kecil tapi ndak semua nelayan punya. Ada juga jaring untuk menangkap kepiting, ranjungan, lobster, nah kalau ini hampir semua nelayan disini punya,” tutur Salmin mencoba menghitung jenis jaring yang ia punya dengan jarinya.
Salmin mengatakan ia menangkap ikan di perairan sekitar pulau Cempedak, termasuk Pulau Gelam, yang masuk ke kawasan konservasi perairan daerah yang kini diisukan telah ditempati oleh pertambangan pasir kuarsa.
Pulau Gelam diketahui merupakan kawasan konservasi perairan daerah berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: 91/KEPMEN-KP/2020 tentang Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kendawangan dan perairan sekitarnya.
Kini, pulau tersebut terancam dengan kehadiran pertambangan pasir kuarsa. Tentu saja, kehadiran pertambangan itu menggelisahkan nelayan yang selama ini menjadikan perairan Pulau Gelam sebagai salah satu lubuk ikan mereka.
Di perairan pulau tersebut, Salmin menyebutkan terdapat banyak jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, selain ranjungan dan lobster. Hal inilah yang membuat setidaknya 40 Kepala Keluarga (KK) yang ada di Pulau Cempedak memiliki jaring khusus penangkap ranjungan dan lobster.
“Kalau di Pulau Gelam jenis tangkapannya ada ikan, ranjungan, lobster. Ikannya banyak jenis. Banyak ikan Debam (baronang),” ucap Salmin.
Nelayan lainnya, Samsul (40), mengatakan Pulau Gelam menjadi pusat pencarian nelayan pada setiap bulan Juni, Juli dan Agustus, yang disebutnya menjadi musim banyaknya hasil laut.
“Ada semua ikan di Gelam tuh. Ikan dibam itu dia musimnya bulan 6, kita cuma susuri bakau (mangrove) aja itu udah dapat. Lobster, kakap putih, kakap merah, dibam itu baru ada kalau lagi musim-musim air keruh, itu musimnya di bulan 6,7,8,” kata Samsul sambil menyeruput minuman yang tengah ia pegang.
Dengan antusias, Samsul bercerita ia pernah mendapatkan hingga jutaan rupiah ketika melaut di sekitar Pulau Gelam bermodalkan ongkos ratusan ribu.
“Kemarin ada 4 bulan yang kami cari agak ngenak tuh, lobster ada, ranjungan ada, ikan juga ada. Kadang-kadang dapatlah Rp 3 juta. Ongkosnya gak banyak paling Rp 800 ribu,” tambahnya.
Seorang nelayan lain, Sindro (46) yang berasal dari Jakarta dan kini mengikuti sang istri menetap di Pulau Cempedak menyebutkan bahwa ia sangat sering pergi mencari ikan di Pulau Gelam khusus untuk menangkap lobster karena dinilai memiliki harga yang cukup fantastis.
“Ke Pulau Gelam tangkapannya cuma cari lobster, kebetulan harganya tinggi jadi kita ngejar. Saya biasa belasan kilo dapatnya. Satu kilo itu harganya Rp 250 ribu,” ujar Sindro antusias.
Kembali ke Salmin. Ia, bercerita bahwa Gelam menjadi pusat mata pencaharian hampir keseluruhan nelayan. Namun meskipun demikian, perjuangan mencari hasil tangkapan di Pulau itu tak mudah. Mereka kerap harus menginap bahkan membawa serta istri dan anak karena mengingat lokasi Pulau Gelam yang berjarak 2 jam perjalanan dari Pulau Cempedak.
Jarak tempuh yang cukup jauh, membuat sejumlah nelayan di Pulau Cempedak memilih menginap demi mengakali ongkos jarak tempuh. Bahkan, Salmin mengaku dirinya sempat memiliki rumah di pulau konservasi tersebut selama dua tahun.
“Dulu pernah sempat tinggal lama di Pulau Gelam sama istri, sekitar dua tahun lebih dan punya rumah disana. Cuma sekarang kalau ke Gelam untuk nangkap ikan itu nginap 3-4 malam,” terang Salmin.
Memutuskan untuk pindah, Salmin menjelaskan ia dan istrinya akhirnya menetap ke Cempedak demi mendapatkan fasilitas yang lebih mudah diraih dari perkotaan.
“Dulu pindah dari pulau Gelam ke Cempedak karena dulu cuma ada perahu layar, gak ada mesin, pakai angin dan gayung. Akhirnya orang tua kasihan juga anaknya kalau sakit kan susah. Akhirnya carilah pulau ini gak ada penghuninya. Akhirnya mampir nelayan 1-2 orang, kemudian nambah penduduk dari pulau Gelam pindah kesini sampai sekarang,” jelasnya.
Mencari sesuap nasi bagi nelayan Cempedak di Pulau Gelam, tampaknya merupakan hal yang biasa dengan serta membawa anak dan istri. Begitu pun bagi Samsul dan Sindro.
“Saya kadang cuma dua malam ke Gelam sendiri, tapi biasanya bawa istri dan anak, berangkut kesana bisa empat sampai lima malam. Selama di Gelam tidurnya kadang di perahu, atau bikin pondok di darat pulau,” ujar Samsul.
“Biasa melaut sama istri, sama anak yang kecil karena kita pergi sana bermalam. Kakaknya ditinggal karena udah besar. Istri gak pernah tinggal, kemana-mana saya ngelaut dia pasti ikut,” saut Sindro tertawa.
Berbicara soal hasil tangkapan, nelayan-nelayan di Cempedak itu memiliki sejumlah cara untuk menjual hasil tangkapannya, yaitu kadang-kadang langsung ke Kecamatan Kendawangan.
Namun, sering pula menjual kepada beberapa agen yang ada di Cempedak. Salah satu di antaranya kepada Hartono (40), ketua RT 02 kala itu. Pria yang akrab disapa sebagai Tono tersebut diketahui cukup terkenal sebagai local hero Cempedak karena menjadi agen sekaligus pembina bagi para nelayan tradisional Cempedak.
Berprofesi berdasarkan kemauannya kurang lebih selama 4 tahun, menjadi seorang agen sekaligus pembina merupakan tantangan tersendiri bagi Tono yang harus siap turut menyediakan segala keperluan setidaknya 20 nelayan binaannya.
“Saya juga harus membina masyarakat setempat dengan membantu mereka memodali supaya mereka bisa berkegiatan, disamping mereka berkegiatan nelayan kita bina mereka yang fasilitasnya belum lengkap kita lengkapi,” terang Tono tenang saat dijumpai dikediamannya.
Menjalani pekerjaan sebagai seorang agen penampung ikan, Tono mengakui ia turut dibantu oleh beberapa agen pembinaan nelayan di Kendawangan, salah satunya bernama Pardi.
Uniknya, agen pembinaan nelayan di Kendawangan disebutkan oleh Tono turut menyediakan berbagai kebutuhan nelayan mulai dari hal primer seperti menerima hasil tangkap yang dalam berbagai kondisi.
“Mereka tuh buat membangun pembinaan sendiri untuk mendukung nelayan, mendukung apa pun yang kami dapat. Agen pembina tuh walaupun barang numpuk, mereka tetap ambil walaupun itu memenuhi agen nah itu kebijakan mereka, risikonya memang kaya gitu,” ujar Tono.
Tono menjelaskan, tak jarang hasil tangkapan menumpuk di agen pembina namun tetap di terima walaupun dengan harga yang kerap berubah. Berbeda dengan agen biasa, yang sering kali menolak membeli hasil tangkapan nelayan jika sedang dalam keadaan menumpuk.
Hal inilah yang menjadi kebijakan dan pembeda antara agen penampung pembina nelayan dengan agen penampung lainnya. Tak hanya itu, agen pembina nelayan bahkan turut menyediakan kebutuhan alat tangkap dan BBM nelayan jika diminta untuk mencari.
“Kebutuhan nelayan kayak alat tangkap, subsidi BBM dan SPDN, dialah(agen pembinaan Kendawangan) yang kelola,” tegasnya.
Mengingat ranjungan menjadi hasil tangkapan yang paling banyak yang didapat dan dititipkan nelayan Cempedak ke Tono untuk dijual ke agen, tak jarang Tono sering menyetor hingga 200 kilo ranjungan ke Pardi dalam dua hari yang ia cicil menjadi dua kali pengantaran ke Kendawangan menggunakan lepeh miliknya.
“Bisa 50-100 kg ranjung sekali bawa. Dalam sehari itu kita dua kali bawa kesana,” jelas Tono.
Kehadiran Perusahaan Tambang di Gelam
Pulau Gelam yang masuk ke kawasan konservasi sempat diisukan atas kehadiran perusahaan tambang pasir kuarsa oleh sejumlah Perseroan Terbatas (PT).
Hal tersebut, ternyata bukan isu belaka. Saat ditanyai soal kehadiran pertambangan tersebut, para nelayan mengakui benar melihat adanya aktivitas dari sejumlah pekerja pertambangan.
“Dari informasi yang saya dengar sih itu (ada) pertambangan di tanah,” ucap Salmin meyakini ucapannya.
Samsul sendiri yang juga kerap mencari tangkapan ke Pulau Gelam, mengakui bahkan sempat melihat mesin pertambangan milik PT tersebut.
“Pernah lihat (aktivitas pertambangan) Cuma kita tuh prakteknya itu kurang tahu, yang diliat itu orang-orangnya (pekerjanya), alat-alat mesinnya, cuma istilahnya tahu menahu soal itu kita ya gak tahu. Katanya ada pasir ini, pasir itu, kita gak tahu juga.” tambah Samsul.
Selain itu, terdapat bukti lain oleh pengakuan Sindro yang turut melihat adanya tempat tinggal milik para pekerja tambang yang dekat dengan pondok para nelayan yang menetap sementara untuk melaut di sekitar Pulau Gelam.
“Ada pondok-pondok disana, ada camp juga kan karena ada PT tuh,” sebut Sindro.
Saat disinggung soal tanggapan mereka terkait kehadiran tambang tersebut, para nelayan mengakui saat ini mereka belum merasakan dampak apapun karena kehadiran pertambangan tersebut diisukan hanya hadir untuk mengambil sampel dari tanah di pulau Gelam.
“Pengaruh pertambangan itu sih bagi saya sebagai nelayan belum ada ya, cuma ada mikirin,” ucap Salmin pelan.
Namun, Sindro mengakui secara pribadi ia tak setuju dengan kehadiran tambang yang berlokasi di sekitaran pulau tempat mereka melakukan mata pencarian.
“Kita ini kan selaku masyarakat gak izinkan, cuma sepertinya ada yang tersembunyi, ada yang merasa berkuasa disitu jadi dia ngizinkan,” ucap Sindro.
Berbeda dengan kedua nelayan, Samsul sendiri terkesan pasrah dengan kehadiran tambang pasir kuarsa tersebut karena menilai tak memiliki kekuasaan lebih.
“Kurang tahu sih kedepannya lagi, dikatakan ada atau gak ada saya gak tahu juga karena kedepannya kita kan gak tahu juga. Tapi mau diapakanlah, kita istilahnya orang gak mampu, pandai-pandai orang yang berkuasalah. Pasrah,” ucap Samsul dengan melempar senyum canggung.
Tak Ingin Pulau Gelam Seperti Pulau Bawal
Tak jauh dari Pulau Cempedak, terdapat satu pulau bernama Pulau Bawal yang berjarak 30 menit hingga 1 jam perjalanan menggunakan lepeh.
Para nelayan mengakui, dahulu pulau tersebut sempat menjadi salah satu tempat pencarian utama para nelayan karena jaraknya yang cukup dekat dan banyaknya jumlah hasil tangkapan.
“Dulu pas ada rumput laut atau padang lamun (di Pulau Bawal), paling enak cari ikan, ranjungan, paling nyaman pokoknya,” ungkap Sindro semangat mengingat masa ‘kejayaan’ pulau Bawal.
Sayangnya, sejak berdirinya perusahaan sawit di Pulau bawal pada tahun 2007, hasil tangkapan masyarakat nelayan mengalami perubahan drastis yang akhirnya menyebabkan mereka tak lagi mencari hasil tangkapan disekitaran pulau tersebut.
“Semejak ada sawit di bawal (jadi tipis lamun) sekarang di bawal udah gak ada lamun lagi, udah rusak. Kalau lamun nih buat nelayan mudah, ikan, ranjungan, paling mudah. Kalau cari 20 kg mudah kalau lamunnya bagus. Kita aja kadang-kadang gak mampu. Saya pernah dapat ikan semua terus gak berani lagi, saya pindah pasang jaring cari yang agak kurang ikannya tuh karena gak sanggup,” jelas Salmin antusias.
Sindro mengakui hasil tangkapan di pulau Bawal bahkan kini telah kosong, sehingga tak ada lagi yang bisa ia jual ketika mencari sesuap nasi di perairan sekitar pulau tersebut.
“Pas buka sawit, nelayan turun kelaut, mati dah. Kalau di pulau Gelam sih (hasil tangkapan) masih stabil, pulau Bawal yang gak ada, kosong dah. Susah ikan buat laut, apalagi jual,” tambah Sindro melanjutkan ucapan sebelumnya.
Berkaca dari penampakan Pulau Bawal saat ini, tak jarang dari para nelayan Cempedak tersebut memiliki secerca harapan kecil. Mereka tak ingin Pulau Gelam yang menjadi salah satu tempat mata pencaharian mereka saat ini ikut rusak seperti Pulau Bawal karena kehadiran perusahaan. Kemungkinan terjadinya kerusakan pulau Gelam, dianggap bagai ancaman terhadap jarak tempuh yang akan semakin jauh bagi nelayan.
“Takut nasibnya Pulau Gelam sama kayak pulau Bawal. Gak tahu mau melaut kemana lagi sama nasibnya. Biasa cuma melaut daerah-daerah sini aja, paling jauh pulau Gelam, udah lepas pulau Gelam itu hitungannya laut jauh, daerah Air Hitam tapi belum pernah kesitu, paling ke pulau Penambun, pulaunya kecil, susah berlindung kalau ada angin, gelombangnya besar,” ujar Sindro kemudian diam.
Selain itu, Salmin berpendapat bahwa saat ini tangkapan memang sedang sulit, dan hasilnya dianggap berbeda jauh dibandingkan dengan beberapa tahun belakangan.
“Kalau untuk penghasilan sih udah mulai ada berasa berkurang ya, jauh sekali kalau dibandingkan dulu. Dulu sih 1 hari bisa Rp 300-400 ribu itu udah bersih, sekarang untuk Rp 30-50 ribu aja susah, sulit sekali,” terang Salmin.
Mengakali berkurangnya pendapatan saat menangkap hasil laut dengan jaring, Salmin berucap tak jarang nelayan akan memilih melakukan aktifitas menyelam untuk mencari keripang atau mutiara.
“Kalau nelayan sini sih gak ada alternatifnya, makanya saya kadang pindah nyelam cari mutiara pakai kompresor. Bahaya sih pasti, Cuma kita cari makan,” ujar Salmin tersenyum sungkan.
Sayangnya, aktifitas menyelam yang dilakukan oleh para nelayan ini cukup berbahaya karena dengan bermodalkan kompresor dan hanya muncul di permukaan sebanyak dua kali selama menyelam seharian di dasar laut.
“udah banyak yg terjadi meninggal karena menyelam itu. Sering saya kena keram tuh, dulu hampir 1 bulan gak bisa jalan. Itu pilihan kalau lagi gak ada ikan,” tambahnya.
Dampak Kehadiran Tambang Pasir Kuarsa bagi Nelayan
Meskipun sejumlah nelayan tradisional masih abu-abu terkait dampak kehadiran tambang pasir kuarsa di Pulau Gelam, tanggapan tersebut berbeda dengan Setra Kusumardana, Ketua Yayasan WeBe Konservasi Ketapang.
Kerap melakukan pemantauan di sekitaran Pulau Gelam, Setra membenarkan saat ini memang belum terdapat dampak apapun terkait kehadiran para penambang yang diisukan tengah mengambil sampel tersebut. Namun, bukan tak mungkin kehadiran tambang dapat mempengaruhi kesehateraan nelayan sekitar.
“Kalau mereka sudah mulai menambang, pertama akan terjadi penggalian besar, terus terjadi penurunan degredasi garis pantai. Kemudian kerusakan lanjutannya adalah sedimentasi lanjutan ke laut dari kegiatan penambangan. Belum lagi transportasi laut angkutannya,” terang Setra saat berada di pondok Pos Dinas Kelautan dan Perikanan yang berlokasi di Pulau Cempedak.
Tak hanya itu, kehadiran pertambangan sendiri dinilai turut mampu merusak ekosistem penting alam yang turut serta berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan.
“Struktur ekosistem di laut ini kan ada 4 ekosistem penting kan. Ada mangrove, lamun, terumbu karang dan estuari. Mangrovenya rusak karena daratannya rusak maka akan mempengaruhi yang lainnya. Ketika mempengaruhi yang lainnya, terutama lamun dan terumbu karang tempat berkembang kebiasaan ikan, tangkapan nelayan, mempengaruhi lautnya juga pasti,” tambahnya.
Meskipun demikian, Setra menerangkan ia belum mampu mengukur seberapa besar kerusakan yang akan terjadi nanti. Meskipun demikian, hal tersebut turut didukung oleh pernyataan Arie Antasari Kushadiwijayanto, Ketua Jurusan Kajian Hosenografi Pesisir FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak.
Arie menerangkan masih belum bisa mengukur kerusakan yang terjadi karena menganggap Pulau Gelam merupakan daerah konservasi yang cukup ‘perawan’ dan belum pernah diteliti oleh ahli. Namun meskipun demikian, Arie membenarkan bahwa akan ada dampak negatif jika kawasan konservasi berubah fungsi menjadi kawasan lain.
“Persoalan ini harus dikawal baik-baik karena ngeri untuk dijadikan kawasan tambang. Kita sulit untuk berpikir bahwa ada pertambangan, maka ekosistem akan baik-baik saja,” ujar Arie saat ditemui di ruangannya.
Kehadiran pertambangan pasir kuarsa, dinilai memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap nelayan, khususnya jika berbicara soal penghasilan pendapatan nelayan kedepan.
“Daya dukung lingkungan akan turun, penghasilan masyarakan turun karena ada sebagian masyarakat yang menggantungkan penghasilan mereka di situ juga. Daya tangkap akan juga berkurang apa lagi nelayan dari daerah sana itu kalau tidak salah bukan nelayan besar yang berangkat pagi itu sorenya pulang,” terang Arie.
Kendati demikian, Arie berharap pemerintah dapat memberikan dukungan terhadap peneliti terkait kawasan konservasi, terkhususnya di Pulau Gelam.
“Tentunya kita sangat berharap jika kawasan konservasi ditetapkan, minta kepada pihak terkait segera dibuat stasiun penelitian di sana, sehingga memudahkan dan mengundang peneliti dari seluruh negeri ke situ. Jadi isunya akan lebih kuat,” pungkasnya.
Penolakan Sempat Dikawal DPR
Menyinggung soal kehadiran pertambangan pasir kuarsa di Pulau Gelam, Seorang anggota DPR RI Dapil Kalimantan Barat, Daniel Johan ternyata sempat mengawal terkait hal tersebut apalagi menyadari bahwa Pulau tersebut memang benar masuk ke kawasan konservasi.
“Kita sudah kawal masalah ini sejak awal tahun lalu. Harapannya adalah harapan rakyat, harapan nelayan agar kawasan Pulau Gelam tetap utuh, tidak dilakukan ekploitasi hanya karena alasan investasi. Tapi, kita mempertahankannya karena alasan lingkungan, kepentingan masyarakat khususnya nelayan sekitar,” ujar Daniel.
Daniel sendiri mengakui turut bertanya-tanya mengenai siapa pelaku yang mengeluarkan izin pertambangan di kawasan konservasi tersebut. Ia tak segan menuturkan bahwa pelaku harus di proses secara hukum jika kedapatan mengetahui bahwa tambang tersebut akan berdiri secara ilegal.
“Izin tersebut jika memang sudah dikeluarkan makan harus dicabut. Siapa yang mengeluarkan izin? Harus dicari tahu. Jika memang ilegal, maka segera disegel dan diproses secara hukum,” tegasnya.
Namun meskipun jika ada izin secara legal, Daniel menyebutkan harus ada evaluasi terkait hal tersebut dengan harapan izin dapat segera di cabut dan kawasan Pulau Gelam tetap terjaga dan dilindungi.
Selain itu, kehadiran tambang tersebut ternyata telah sempat diadukan masyarakat sekitar kepada pihak berwajib. Hal ini lantas membuat Daniel berharap pihak berwenang mampu mendengarkan aspirasi rakyat.
“DPR meminta kepada Pemda Provinsi Kalbar terutama Bapak Plt. Gubernur dan Kapolda Kalbar untuk memperhatikan dan mengawal aduan masyarakat tersebut. Kami meminta agar jajaran Polda Kalbar untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang diadukan masyarakat,” tambah Daniel.
Daniel sendiri menyadari bahwa kawasan konservasi merupakan ekosistem yang sangat penting bagi nelayan sehingga menegaskan hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus.
“Bagi kami kawasan konservasi harus dijaga dan dilindungi. Ekosistem di dalamnya tak ternilai harganya. Harus dikawal bersama agar perjuangan nelayan ini berhasil. Tidak hanya di Pulau Gelam, tetapi kawasan konservasi lainya harus diperhatikan jangan sampai kita kecolongan,” tegas Daniel. ***
Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak, Mongabay Indonesia dan Project Mulatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan Webe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.