INIBORNEO.COM, Ketapang – Masyarakat Desa Tanjung Beulang, Kecamatan Tumbang Titi, Ketapang, Kalimantan Barat, mengharapkan agar hutan desa bisa dimanfaatkan sumber daya alamnya. Diketahui, wilayah Tanjung Beulang mencakup kawasan hutan dan hutan lindung yang cukup luas, yang sebagian diusulkan untuk dikelola sebagai hutan desa.
Kedestu Wiranto, Ketua Unit Perangkat Daerah (UPD) Desa Tanjung Beulang, menjelaskan bahwa nilai-nilai adat yang terdapat di hutan desa sangat banyak, seperti obat-obatan tradisional ataupun untuk melakukan adat budaya. Kemenyan, alat yang biasa digunakan dalam kebudayaan adat untuk mengusir setan, sekarang masyarakat harus cari sampai ke sebelah hutan.
“Keinginan saya itu di area hutan desa ini ditempati, karena tidak bisa dipungkiri dari nenek moyang terdahulu mata pencahariannya itu berburu, cuman kalua dulu itu hutannya masih ada dan utuh. Kalau hutannya sudah habis, apalagi Binatang buruan juga habis, ya habis lah,” tuturnya.
Potensi alam yang terdapat di hutan desa Tanjung Beulang tergolong cukup banyak seperti air terjun, kopi bahkan terkhusus di dalam hutannya sendiri yakni tanaman obat dan madu. Ada juga damar dan rotan. Sedangkan rata-rata masyarakat desa Tanjung Beulang bermata pencaharian sebagai penyadap karet, buruh sawit, peternak dan pencari kapur dondang.
“Potensi alamnya sih banyak, cuman masih belum digali dan tersembunyi. Misalnya, ibu-ibu punya keterampilan menganyam dari bambu atau rotan,” ucap Margareta Mula, Wakil Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tanjung Beulang.
Lanjut, Margareta juga menyampaikan bahwa perempuan di desa Tanjung Beulang tidak hanya sekedar ingin menonton, namun juga ingin bekerja. “Sekarang sudah bukan zaman dulu lagi, emansipasi wanita itu harus tetap terjaga. Saya ataupun perempuan yang lain memiliki kemampuan dan bakat terutama di dalam ekonomi tidak hanya ingin sekedar menonton melainkan ingin juga menikmati manfaatnya,” ungkapnya.
Selain itu, Anatiustis, Kepala Desa Tanjung Beulang juga mengungkapkan bahwa masyarakat desa sudah pernah membuat produk madu hutan mereka.
“Madu kami cukup terkenal di Ketapang karena kualitasnya namun karena kendala ketersediaan madu yang musiman, akhirnya kami belum bisa menjual produk hingga keluar. Selain itu ada juga kendala mesin yang ongkosnya cukup mahal,” utas Anatiustis.
Adapun produksi di luar hutan desa, yakni bercocok tanam. Akan tetapi hal tersebut cukup lama karena bisa memakan 5-6 tahun untuk bisa produksi.
Tuti sebagai Pendamping Desa menyatakan bahwa desa Tanjung Beulang perlu membentuk tempat usaha milik desa dimana badan usaha tersebut harus dikelola oleh masyarakat desa sendiri dan mengembangkan semua potensi yang ada.
“Kedatangan Yayasan Sangga Bumi Lestari sangat membantu untuk bisa menggali potensi yang bisa dikembangkan. Harapan saya sebagai pendamping desa yakni masyarakat bisa mengelola sepenuhnya hasil hutan seperti madu, karet dan kopi,” ungkapnya.
Yayasan Sangga Bumi Lestari menemukan bahwa seringkali terjadi bahwa hutan dan pembangunan desa tidak terintegrasi dan tidak menjadi satu bagian program bersama. Sehingga penting untuk mendukung perhutanan sosial melalui peraturan-peraturan desa, anggaran pendapatan desa bahkan perhutanan sosial harus menjadi bagian dari badan usaha milik desa dan menyejahterakan, tidak hanya anggota yang mengusulkan perhutanan sosial namun seluruh masyarakat desa.
“Perhutanan sosial disiapkan oleh pemerintah untuk diakses oleh desa-desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, tapi dalam prakteknya perhutanan sosial penting untuk terintegrasi dalam pembangunan desa. Oleh sebab itu, kami datang ke desa untuk berdiskusi bersama masyarakat desa untuk memikirkan, merancang masa depan yang lebih baik melalui perhutanan sosial dan pembangunan desa,” tutur Ronny Christianto, anggota Yayasan Sangga Bumi Lestari.