Koalisi Penyandang Disabilitas Tuntut Reformasi KUHAP

  • Share
Ilustrasi (Dibuat dengan Gemini)

INIBORNEO.COM, Jakarta – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) telah disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang pada Kamis, (18/11/2025). Keputusan ini menimbulkan kekecewaan karena dalam draft terbaru yang dipublikasikan di situs DPR RI mememuat ketentuan-ketentuan yang diskriminatif, sitgamtif, dan tidak akomodatif terhadap penyandang disabilitas. Hal ini diungkapkan oleh Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas pada hari yang sama.

“Kondisi ini menunjukkan kegagalan serius dalam memastikan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak penyandang disabilitas, serta mengabaikan kewajiban negara untuk menjamin aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam proses peradilan pidana,” seperti yang dituliskan dalam rilis.

Koalisi menyebutkan telah memberikan kritik dan masukan terhadap RKUHAP dari perspektif disabilitas Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) tanggal 29 September 2025. Dalam pertemuan itu, Koalisi sudah menyampaikan argumentasi dan usulan perubahan rumusan. Bahkan pimpinan RDPU saat itu mengamini dan menyetujui bahwa masukan Koalisi Disabilitas dapat diakomodasi.

KUHAP dinilai masih diskriminatif terhadap penyandang disabilitas karena tetap menggunakan definisi saksi dalam Pasal 1 angka 47. Dalam aturan tersebut, saksi didefinisikan sebagai orang yang memberikan keterangan tentang suatu peristiwa pidana yang “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.”

Frasa ini dianggap bermasalah karena secara tidak langsung menyingkirkan penyandang disabilitas, khususnya mereka yang memiliki hambatan pendengaran atau penglihatan. Dengan syarat tersebut, penyandang disabilitas dapat dianggap tidak memenuhi kualifikasi sebagai saksi, padahal mereka tetap bisa memberikan informasi penting melalui cara lain yang sesuai dengan kondisi mereka.

Dalam penjelasan Pasal 236 ayat (3) KUHAP yang memberikan perlakuan khusus bagi penyandang disabilitas juga dinilai tidak memiliki kekuatan aturan yang mengikat. Sebab, ketentuan penting itu hanya ditempatkan di bagian penjelasan, bukan di batang tubuh pasal. Akibatnya, aturan tersebut mudah diabaikan dalam praktik. Pilihan ini menunjukkan bahwa pembentuk KUHAP belum melihat perlindungan hak penyandang disabilitas sebagai hal yang penting, sehingga dinilai bersifat diskriminatif.

Selain itu, ketentuan KUHAP belum mengakomodasi berbagai cara penyandang disabilitas memperoleh informasi, seperti melalui perabaan atau penciuman. Definisi saksi dalam KUHAP juga tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010, yang menegaskan bahwa saksi tidak harus selalu melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa, selama ia memiliki keterangan yang relevan.

KUHAP juga dianggap masih memuat pandangan yang stigmatis terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual. Hal ini terlihat dari Pasal 221 yang tetap menghapuskan keterangan mereka di bawah sumpah, seolah-olah mereka tidak mampu memberikan kesaksian yang dapat dipertanggungjawabkan. Padahal, posisi mereka sangat rentan terhadap tekanan dan relasi kuasa yang tidak seimbang.

Pasal 146 juga menunjukkan bahwa KUHAP masih menempatkan penyandang disabilitas mental dan intelektual sebagai objek yang harus “dirawat” atau “direhabilitasi”, bukan sebagai subjek hukum yang memiliki kapasitas setara. Pendekatan medis yang digunakan dinilai mengulang masalah lama dalam KUHAP 1981 dan memperkuat hambatan sistemik yang menghalangi akses keadilan bagi penyandang disabilitas.

Ketentuan tentang akomodasi yang layak dalam Pasal 145 pun dinilai tidak memadai. Aturan penting ini justru diserahkan ke Peraturan Pemerintah, padahal akomodasi yang layak seharusnya menjadi komponen utama dalam memastikan hak penyandang disabilitas dihormati di seluruh tahapan proses peradilan. Akomodasi yang layak bukan hanya soal penyediaan fasilitas, tetapi juga bentuk dukungan yang memungkinkan penyandang disabilitas mengatasi hambatan selama menjalani proses hukum. Karena itu, pengaturannya seharusnya ada langsung dalam undang-undang, bukan diatur secara administratif melalui PP.

Penempatan aturan penting tersebut pada level PP dinilai mengabaikan tanggung jawab negara dalam melindungi hak warganya, khususnya penyandang disabilitas. KUHAP juga dianggap tidak menyediakan istilah dan definisi yang diperlukan, seperti tidak dicantumkannya istilah Juru Bahasa Isyarat, pendamping penyandang disabilitas, akomodasi yang layak, dan penilaian personal. Ketiadaan istilah ini berpotensi menimbulkan salah tafsir dan membuat hak-hak penyandang disabilitas tidak terpenuhi dalam proses hukum.

Meski demikian, Koalisi tidak mendapati perubahan dalam KUHAP yang baru saja disahkan seperti masukan yang sudah disampaikan. Hal itu menegaskan bahwa RDPU yang dilaksanakan hanya penggugur kewajiban, tanpa ada partisipasi yang bermakna.

“Jika argumentasi dan usulan Koalisi tidak diterima, seharusnya DPR RI memberikan respon atau jawaban atas masukan yang diberikan, karena partisipasi yang bermakna bagi kelompok disabilitas dalam pembentukan KUHAP penting untuk dilaksanakan karena ketentuannya akan mengikat dan berdampak juga pada para penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” tulis Koalisi dalam rilis.

Beberapa organisasi yang tergabung dalam Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas untuk Reformasi KUHAP, yakni:

  1. Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS)
  2. Kelompok Kerja Implementasi UU Penyandang Disabilitas (POKJA DISABILITAS)
  3. Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI)
  4. Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna rungu Indonesia (GERKATIN)
  5. Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI)
  6. Perempuan Bumi
  7. Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI)
  8. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
  9. Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI)
  10. Yayasan Pemberdayaan Tuli-Buta Indonesia (PELITA Indonesia)
  11. Perkumpulan OHANA
  12. Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB)
  13. Indonesian Deaf-Hard Of Hearing Law and Advocacy (IDHOLA)
  14. Albino Indonesia Family ( AIF )
  15. Remisi
  16. Komunitas Albino Sulawesi Utara
  17. Gerakan Literasi Inklusi
  18. Perkumpulan Pemuda-Pemudi Autistik Yogasmara
  19. Center for Knowledge Indonesia (CKI)
  20. ASEAN Youth Forum
  21. Perkumpulan Autisme Usia Dewasa
  22. Komunitas Feminis Themis
    (Ril)

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *