INIBORNEO.COM, Pontianak – Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menetapkan lebih dari 160 kabupaten dan kota di Indonesia dalam status darurat sampah. Langkah ini menjadi bagian dari upaya percepatan penanganan krisis sampah nasional yang kini memasuki fase transisi menuju pengelolaan berbasis energi.
“Penetapan status darurat sampah ini untuk mempercepat pembangunan fasilitas waste to energy. Semua lini harus bergerak cepat dan terukur,” ujar Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq dalam acara Refleksi Satu Tahun Kinerja KLH/BPLH 2025 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Senin (20/10/2025).
Selama satu tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, KLH/BPLH mencatat kemajuan signifikan dalam penanganan krisis sampah. Sebanyak 246 dari 343 Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) open dumping telah ditutup atau direvitalisasi, menurunkan volume timbunan sampah nasional sebesar 21,85 persen atau sekitar 12,37 juta ton per tahun.
Kebijakan bertajuk “Akhiri Open Dumping Sampah: Bangun Peradaban Harmonis dengan Alam dan Budaya” menjadi tonggak utama reformasi pengelolaan sampah. Pemerintah menargetkan pengelolaan sampah berkelanjutan tercapai 51 persen pada 2025 dan 100 persen pada 2029, sesuai target RPJMN.
Untuk memperkuat koordinasi di daerah, KLH/BPLH membentuk Waste Crisis Center (WCC) sebagai sistem pemantauan kapasitas TPA secara real-time. Pusat ini juga berfungsi sebagai unit tanggap cepat bagi wilayah yang menghadapi darurat penumpukan sampah.
Transformasi pengelolaan kini diarahkan menuju pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Energi Listrik (PSEL) di tujuh wilayah utama. Proyek ini menjadi bagian dari transisi energi hijau sekaligus kontribusi langsung Indonesia terhadap target Second Nationally Determined Contribution (NDC) yang akan disampaikan dalam COP30 di Brasil.
“Second NDC sedang difinalisasi agar sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional. Kami justru menaikkan ambisi agar instrumen pembiayaan hijau, termasuk waste to energy dan PSEL, bisa segera berjalan,” kata Hanif.
Selain mengatasi persoalan sampah, KLH/BPLH juga menegaskan posisi Indonesia sebagai pemain penting dalam pasar karbon global. Nilai transaksi di Bursa Karbon Indonesia telah menembus Rp30 miliar, menjadi sumber pembiayaan baru bagi transisi energi bersih.
Hanif juga menyinggung penanganan insiden kontaminasi radioaktif di Cikande, Banten, yang menunjukkan bahwa perlindungan lingkungan adalah bagian dari pertahanan negara. “Kedaulatan lingkungan mencakup keamanan ekologis. Kasus Cikande adalah pengingat penting bahwa ancaman lingkungan juga ancaman nasional,” tegasnya.
Dari sisi tata kelola, KLH/BPLH meluncurkan sistem digital eVIRA (Environmental Visual Integrated Report and Analytics) yang memangkas waktu pemrosesan AMDAL dari 271 hari menjadi 58 hari kerja, dan UKL-UPL dari 260 menjadi 36 hari kerja. Efisiensi lebih dari 75 persen ini disebut sebagai lompatan besar tanpa mengorbankan akurasi dan kehati-hatian.
“Kalau dulu AMDAL dikenal lama dan mahal, sekarang paling lama 58 hari harus selesai. Ini percepatan yang tetap menjunjung prinsip kehati-hatian,” tambah Hanif.
Acara refleksi yang dihadiri lebih dari 1.200 peserta dari berbagai daerah ini menjadi momentum memperkuat arah menuju Indonesia Hijau Berdaulat 2045: sebuah visi tentang bangsa yang mandiri sumber daya, tangguh menghadapi krisis lingkungan, dan berdaya dalam diplomasi iklim global.
“Ketika alam pulih, manusia pun ikut sembuh. Ketika bumi tersenyum, masa depan pun tumbuh,” tutup Hanif dalam pidato penutupnya.