INIBORNEO.COM, Pontianak – Klaim energi bersih dari biomassa kembali dipertanyakan. Investigasi Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap, lebih dari 80 persen wood pellet yang diekspor ke Jepang dan Korea Selatan justru berasal dari deforestasi hutan alam, bukan hasil rehabilitasi sebagaimana yang selama ini diklaim sebagai bagian dari transisi energi hijau.
Temuan itu disuarakan dalam aksi damai yang digelar di depan Kedutaan Besar Jepang dan Korea Selatan, Jakarta, Senin (20/10/2025). Para aktivis lingkungan yang tergabung dalam jaringan organisasi masyarakat sipil menilai, impor wood pellet oleh kedua negara tersebut telah mempercepat kerusakan hutan Indonesia dan memperparah pelepasan emisi karbon dalam skala besar.
“Hutan Indonesia bukan bahan bakar kalian, wahai warga Jepang dan Korea. Setop impor wood pellet dari Indonesia dan hentikan pengrusakan hutan,” tegas Tsabit Khairul Auni, Koordinator Aksi dari FWI, dalam orasinya di depan Kedutaan Jepang, Jalan MH Thamrin, Jakarta.
Dalam lima tahun terakhir, Jepang dan Korea Selatan gencar mengimpor wood pellet dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari strategi transisi energi mereka. Namun di lapangan, kebijakan itu menjadi tekanan besar terhadap keberlanjutan hutan alam Indonesia yang merupakan salah satu paru-paru dunia.
“Pemanfaatan wood pellet biomassa oleh Jepang dan Korea Selatan yang berasal dari Indonesia sudah keluar dari prinsip transisi energi berkeadilan,” tambah Tsabit.
Salah satu contoh praktik ilegal pernah terungkap pada Agustus 2024 lalu. Kapal MV Lakas berbendera Filipina yang mengangkut 10.545 metrik ton wood pellet ditangkap Badan Keamanan Laut RI karena tidak memiliki dokumen penting seperti Certificate of Analysis, Certificate of Origin, serta Certificate of Shipper Declaration yang merupakan dokumen wajib untuk pengangkutan bahan berbahaya berdasarkan IMSBC.
Penangkapan itu terjadi berkat laporan FWI yang kemudian ditindaklanjuti oleh Zona Bakamla Tengah bersama TNI AL Gorontalo dan dukungan masyarakat setempat.
FWI menilai, praktik ekspor wood pellet ke Jepang dan Korea Selatan adalah bentuk nyata dari transisi energi yang tidak adil. Di negara pengimpor, emisi dihitung mendekati nol karena dianggap berasal dari sumber terbarukan, sementara di Indonesia, pembabatan hutan untuk produksi biomassa justru menjadi sumber emisi baru.
“Indonesia bersama Jepang dan Korea Selatan harus mengeluarkan biomassa dari strategi transisi energi. Praktiknya tidak adil dan menyesatkan publik internasional,” ujar Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI.
Sejak 1980-an, proyek biomassa sudah menjadi bagian dari kerja sama Indonesia dan Jepang. Pada 2020, Kementerian ESDM dan PLN meluncurkan rencana co-firing biomassa di 52 PLTU batubara. Industri besar seperti Mitsubishi Heavy Industries, Sumitomo Heavy Industries (SHI), dan Ishikawajima-Harima Heavy Industries (IHI) pun ikut mendorong proyek serupa.
Kesepakatan ekspor ratusan ribu ton biomassa dari Indonesia ke Jepang bernilai triliunan rupiah. Bahkan, investor Jepang Tokuyama Industry telah meninjau kesiapan infrastruktur biomassa di Mukomuko, Bengkulu.
Namun di balik kerja sama ekonomi itu, dampak ekologisnya menganga. Hutan alam tropis yang menyimpan karbon ratusan tahun kini terancam lenyap demi memenuhi permintaan biomassa global.
Aksi di Jakarta ini menjadi bagian dari gerakan solidaritas global memperingati International Day of Action Biomass yang jatuh setiap 21 Oktober. Di berbagai negara yang dimulai dari Eropa, Asia Timur, hingga Amerika Latin dimana kelompok masyarakat sipil juga menyerukan penghentian praktik deforestasi berkedok energi hijau.
Satrio Manggala dari jaringan Biomass Action Network menyebut, kampanye ini adalah peringatan global atas kebohongan energi hijau. “Pemanfaatan wood pellet di Jepang dan Korea Selatan bukan solusi energi bersih, tapi bentuk kolonialisme iklim yang mengorbankan hutan Indonesia,” ujarnya.
Ia menegaskan, negara maju tidak bisa lagi menutupi kerusakan ekologis di negara lain demi mencapai target nol emisi di atas kertas. “Jika biomassa masih dimanfaatkan sebagai sumber energi, maka dunia sedang menjerumuskan diri ke jurang krisis iklim yang semakin nyata,” tutupnya.