INIBORNEO.COM, Pontianak – Tanggal 21 Mei menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, genap 27 tahun sejak Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya setelah 32 tahun berkuasa. Gelombang reformasi yang mengguncang Jakarta kala itu juga menyisakan jejak mendalam di berbagai daerah, termasuk Kalimantan Barat.
Salah satu saksi sejarah dari daerah ini adalah Mursalin, aktivis mahasiswa yang kini memimpin salah satu stasiun televisi di Kalbar. Saat ditemui, Mursalin mengingat jelas suasana reformasi, khususnya di Pontianak.
Ia mengakui bahwa suasana pergerakan mahasiswa di Kalimantan Barat kala itu cenderung “terlambat panas” bila dibandingkan dengan gelombang aksi di Pulau Jawa, khususnya di kampus-kampus besar seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sejumlah universitas ternama lainnya.
Di Jawa, geliat aksi mahasiswa mulai terlihat sejak tahun 1997, ketika demonstrasi mulai marak digelar sebagai respons atas kondisi politik dan ekonomi nasional yang kian memburuk. “Mulai ada aksi-aksi nasional 1997, di sana sudah mulai demo, di Kalbar belum,” ungkapnya mengenang situasi saat itu.
Aksi-aksi tersebut kerap muncul di layar televisi yang menandakan betapa masifnya gerakan itu diberitakan secara nasional dan menjadi perhatian publik. Tayangan-tayangan tersebut secara tidak langsung turut membakar semangat mahasiswa di daerah, termasuk di Kalbar.
Meski belum sampai pada tahap turun ke jalan, semangat perubahan sebenarnya sudah mulai berdenyut di kalangan mahasiswa Untan dan kampus-kampus lainnya di Pontianak. Menurut Mursalin, diskusi-diskusi kritis di tingkat internal mahasiswa sudah mulai marak dilakukan. Para mahasiswa berdialog mengenai kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang sedang tidak stabil.
“Walau begitu, waktu itu diskusi-diskusi kami di internal tentang kondisi saat itu sudah berjalan,” ujarnya.
Mursalin adalah bagian dari mahasiswa Universitas Tanjungpura yang mulai bergerak menjelang 1998. Bahkan, para mahasiswa baru pun mereka ajak ikut meramaikan aksi.
Saat itu, aksi di luar kampus masih dianggap tabu karena aturan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang membatasi aktivitas politik mahasiswa.
Namun, tekanan dan semangat perubahan membuat batas-batas itu runtuh. “Waktu itu kalau tidak demo, rasanya gengsi. Awalnya hanya aksi di lingkungan kampus,” kata Mursalin yang juga aktif di pers mahasiswa saat itu.
Lalu isu-isu menggelinding menjadi gerakan nasional. Setidaknya setahun terakhir aksi mulai terasa hingga akhirnya era kepemimpinan Soeharto tumbang.
Atmosfer di Pontianak menjelang Mei 1998 begitu terasa. Jalan Imam Bonjol menjadi saksi bisu berbagai demonstrasi. “Seolah demo tidak ada hentinya kala itu,” ujarnya.
Hingga pada 20 Mei 1998, mahasiswa Kalbar menginap di gedung DPRD Kalbar. Esok harinya, ketika Soeharto resmi mengundurkan diri, Mursalin dan rekan-rekannya justru dibawa jalan-jalan keliling kota oleh aparat kepolisian.
“Kayaknya semua orang, bahkan mahasiswa yang tidak peduli politik, akhirnya ikut demo,” kata Mursalin sambil tersenyum.
Mursalin mengungkapkan bahwa dirinya merasa beruntung pernah menjadi bagian langsung dari perjalanan sejarah bangsa. Ia menyadari bahwa saat reformasi bergulir, dirinya tengah berada pada masa-masa paling aktif dan idealis sebagai seorang mahasiswa, sebuah fase yang membuat keterlibatannya dalam gerakan tersebut menjadi semakin bermakna.
“Saya merasa beruntung menjadi saksi sejarah. Saat itu saya berada di masa puncak sebagai aktivis mahasiswa,” ucapnya.
Namun, di tengah euforia perubahan, Mursalin mengakui bahwa ekspektasi pasca-reformasi tidak sepenuhnya terwujud. Supremasi sipil, otonomi daerah, kebebasan pers, dan beberapa tuntutan lainnya memang hadir.
Tetapi di sisi lain, tantangan baru muncul: korupsi yang merajalela, ketimpangan sosial yang mencolok, dan watak kekuasaan lama yang tetap hidup dalam wajah baru. “Banyak Soeharto-Soeharto kecil muncul. Perilaku otoriter, beli suara, korupsi. Sipil yang berkuasa juga melakukan praktik yang sama,” tegasnya.
Jika dibandingkan dengan Malaysia, ia menilai Indonesia masih tertinggal dari segi kesejahteraan, infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, Mursalin menolak anggapan bahwa reformasi gagal. Ia menyebut bahwa gerakan reformasi tetap merupakan capaian monumental dalam sejarah bangsa. Ia menilai saat ini belum sampai pada cita-cita demokrasi yang utuh.
“Tapi itu bukan alasan untuk menganggap masa Orde Baru lebih baik. Kita harus tetap ingat bahwa reformasi memberi kita ruang seperti sekarang,” tutupnya.
Ia pun menekankan pentingnya generasi muda untuk tidak melupakan sejarah reformasi, serta terus menjaga dan merawat nilai-nilai perjuangan yang telah diperjuangkan oleh para mahasiswa dan rakyat kala itu.
Mursalin mengingatkan bahwa segala kebebasan yang saat ini dinikmati, mulai dari menyuarakan pendapat, mengkritik pemerintah, hingga menikmati kemerdekaan pers adalah hasil dari pengorbanan yang tidak kecil. Tanpa perjuangan kala itu, semua kebebasan ini mungkin hanya akan menjadi cita-cita yang tak pernah terwujud.