INIBORNEO.COM, Pontianak – Pada 1 Mei 1889, Internasionale Kedua menetapkan Hari Buruh Sedunia sebagai penghormatan atas perjuangan kaum pekerja dalam menuntut pembatasan jam kerja menjadi delapan jam. Kemenangan itu menjadi simbol penting dalam sejarah pergerakan buruh dunia—menandai awal pengakuan terhadap hak-hak dasar pekerja dan perbaikan kondisi kerja yang lebih manusiawi.
Namun, lebih dari satu abad kemudian, tepatnya pada 1 Mei 2025, peringatan ini justru menjadi refleksi getir atas situasi buruh Indonesia yang kian memprihatinkan. Di tengah arus kapitalisme global yang kian mencengkeram, negara dan pengusaha tampak abai terhadap hak-hak buruh yang terus tergerus.
Sejak awal abad ke-20, gerakan buruh Indonesia telah menorehkan sejarah panjang perlawanan. Pada masa kolonial Belanda, buruh menghadapi eksploitasi brutal, terutama di sektor perkebunan dan industri. Salah satu tonggak penting adalah pemberontakan buruh di Surabaya pada 1920, yang dipicu oleh kondisi kerja yang sangat tidak manusiawi.
Pasca kemerdekaan, sejumlah capaian seperti pembatasan jam kerja dan undang-undang ketenagakerjaan menjadi penanda kemajuan. Namun, di era ekonomi pasar bebas yang kini mendominasi, posisi buruh kembali terpinggirkan. Sistem ketenagakerjaan semakin berpihak pada kepentingan investor, bukan pada kesejahteraan pekerja.
Dalam kerangka neoliberalisme global, buruh Indonesia menghadapi realitas pahit: jam kerja yang panjang, upah yang stagnan, dan kondisi kerja yang jauh dari layak. Bahkan buruh terampil pun tak luput dari ketidakpastian, dengan kontrak kerja yang temporer, upah tak sebanding, dan minim perlindungan hukum.
Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sepanjang 2024, terdapat lebih dari 77.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam dua bulan pertama 2025 saja, angka PHK melonjak hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya, mencapai 21.935 orang. Ini mencerminkan makin nyatanya ketidakpastian kerja, terutama di sektor padat karya.
Sementara itu, rata-rata upah buruh nasional pada 2024 hanya Rp3,27 juta per bulan—jauh dari angka kebutuhan hidup layak, terutama di tengah lonjakan inflasi dan biaya hidup. Bahkan di sektor berisiko tinggi seperti pertambangan dan penggalian, rata-rata upah sebesar Rp5,23 juta pun belum mencerminkan nilai kerja yang adil.
Buruh migran pun mengalami nasib serupa. Sepanjang 2024, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat 251 kasus perdagangan orang dan lebih dari 450 laporan eksploitasi. Mereka yang bekerja di sektor domestik dan industri luar negeri sering kali tak mendapat perlindungan hukum, upah layak, atau hak dasar lain. Akibatnya, total kerugian ekonomi dari praktik ini pada 2024 ditaksir mencapai Rp1,77 triliun.
IKN: Pusat Kemajuan yang Menyisakan Buruh
Proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur sering diklaim sebagai simbol kemajuan Indonesia. Namun, di balik proyek ambisius ini, tersembunyi kenyataan kelam bagi para pekerjanya.
Investigasi Tempo (Februari 2025) mengungkap banyak buruh konstruksi di kawasan IKN bekerja tanpa kontrak yang jelas, menerima upah di bawah UMK, serta menghadapi jam kerja panjang dan fasilitas kerja minim. Laporan LBH Samarinda (Maret 2025) menguatkan temuan ini, menyebut bahwa sebagian besar buruh tidak memperoleh perlindungan ketenagakerjaan meski proyek ini didanai APBN dan investasi swasta besar.
Pembangunan IKN lebih menguntungkan kontraktor dan investor besar, sementara buruh hanya menjadi roda penggerak tanpa jaminan. Di sinilah letak ironi: kemajuan dibangun di atas eksploitasi.
Oligarki dan Militerisme: Dua Pilar Penindasan
Kondisi buruh diperparah oleh dominasi oligarki dan militerisme dalam tata kelola negara. Kebijakan sering kali lebih memihak pemilik modal besar ketimbang rakyat pekerja. Oligarki menancapkan pengaruh melalui jaringan politik dan regulasi yang mengutamakan iklim investasi.
Militerisme pun tak jarang digunakan sebagai alat represi. Ketika buruh bersuara, negara lebih memilih pendekatan keamanan ketimbang dialog. Aksi dan mogok kerja kerap dibungkam dengan kekuatan.
Sistem ketenagakerjaan kita hari ini tak lagi dirancang untuk menjamin hidup layak bagi pekerja, melainkan untuk menjaga kelancaran investasi. Ketika negara tunduk pada logika pasar dan elit politik, buruh hanya menjadi korban dari sistem yang timpang dan eksploitatif.
Membangun Jalan Politik Alternatif
Hari Buruh Sedunia 2025 harus menjadi momentum membangun kesadaran kolektif. Bahwa perjuangan buruh tak cukup hanya lewat tuntutan upah atau jaminan kerja. Ia harus menembus akar ketidakadilan struktural yang melanggengkan kemiskinan dan ketimpangan.
Kini saatnya membangun kekuatan politik alternatif yang lahir dari rahim buruh, rakyat miskin, kaum muda—yang berani menantang dominasi oligarki dan militerisme.
Perjuangan buruh adalah perjuangan masa depan: untuk kehidupan yang lebih adil, setara, dan manusiawi. Sudah saatnya buruh dan rakyat Indonesia tidak sekadar menjadi penonton pembangunan, melainkan aktor utama dalam menentukan arah negeri ini. (Salsabila Putri)