INIBORNEO.COM, Pontianak – Dibebaskannya WNA China terdakwa pencuri 744.200 gram emas dan 937.700 gram perak yang merugikan negara hingga Rp1,2 Triliun dinilai sebagai langkah penegakan hukum dan tata kelola pertambangan yang ugal-ugalan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ahmad Syukri selaku Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo). Ia menilai putusan bebas di Pengadilan Tinggi Pontianak mencerminkan kesemrawutan tata kelola pertambangan di Kalimantan Barat.
“Dan tidak sanggupnya negara mengurusi perizinan yang telah mereka terbitkan sendiri, hingga negara mengalami kerugian fantastis,” kata Ahmad Syukri.
Diketahui sebelumnya, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengungkap kasus pertambangan tanpa izin yang dilakukan warga negara asing Tiongkok berinisial YH. Aktivitas ilegal tersebut tepatnya terjadi di Dusun Pemuatan Batu, Desa Nanga Kelampai Kecamatan Tumbang Titi Kabupaten Ketapang.
Dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, dari hasil penyelidikan, penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, terungkap bahwa volume batuan bijih emas tergali sebanyak 2.687,4 meter kubik. Batuan ini berasal dari koridor antara Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dua perusahaan emas PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM) dan PT Bukit Belawan Tujuh (PT BBT).
Dalam keterangan tertulis, Ahmad Syukri memaparkan histori konflik pertambangan di wilayah ini. Perkara ini tepatnya terjadi di wilayah yang diberikan izin oleh negara untuk korporasi pertambangan, Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT SRM dan eks IUP PT BBT.
Kasus ini bermula dari laporan Direktur PT Bukit Belawan tujuh (PT BBTT) Dedy Rahmat kepada Korwas PPNS Mabes Polri dan PPNS Dirjen Minerba Kementerian ESDM tentang aktivitas penambangan tanpa izin di dalam konsesi PT SRM. Menindaklanjuti laporan Direktur PT BBT, PPNS Ditjen Minerba melakukan serangkaian kegiatan Pengawasan, Pengamatan, Penelitian dan Pemeriksaan (WASMATLITRIK) dibawah koordinasi dan pengawasan Biro Korwas PPNS Bareskrim POLRI.
Dalam WASMATLITRIK di lokasi terowongan milik PT SRM, ditemukan sejumlah alat bukti yang menjadi ciri khas pengolahan dan pemurnian emas antara lain pemecah batu (grinder), induction furnace, pemanas listrik, koli untuk melebur emas, cetakan bullion grafit, exhaust / kipas hisap, bahan kimia penangkap emas, garam, kapur dan peralatan yang digunakan untuk menambang antara lain blasting machine, lower dozer, dumptruck listrik dan lori.
Diketahui modus yang digunakan dalam tindak pidana ini adalah memanfaatkan lubang tambang dalam (tunnel) yang masih dalam masa pemeliharaan di WIUP dengan alasan kegiatan pemeliharaan dan perawatan, namun pelaksanaan kegiatan di tunnel yaitu melaksanakan blasting/pembongkaran menggunakan bahan peledak, kemudian mengolah dan memurnikan bijih emas di lokasi tersebut (di dalam tunnel).
Hasil pekerjaan pemurnian di tunnel tersebut dibawa ke luar lubang dalam bentuk dore/bullion emas. Dalam kasus ini, tersangka YH berperan sebagai pimpinan penambangan di bawah tanah (underground mining) di Dusun Pemuatan Batu, Desa Nanga Kelampai Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang. Kalimantan Barat, pada kurun waktu bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2024.
YH, Tenaga Kerja Asing asal negara China bekerja di PT Sultan Rafli Mandiri (PT SRM) sebagai Maintenance Reliability Specialist. Pada saat kasus terungkap, YH dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Ketapang melakukan penambangan tanpa izin yang melanggar pidana Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan tuntutan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 50 miliar, subsider enam bulan kurungan dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Ketapang.
Hakim Pengadilan Negeri Ketapang lanjut memutuskan vonis hukuman 3 tahun 6 bulan penjara, terdakwa Yu Hao juga divonis membayar denda Rp 30 miliar atau subsider 6 bulan kurungan apabila terpidana tidak bisa membayar denda tersebut. Putusan tersebut tertuang dalam Nomor Perkara 332/Pid.Sus/PN Ktp. Lebih ringan dibanding tuntutan JPU.
Yu Hao melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Pontianak, tercatat dengan Nomor 464/PID.SUS/2024/PT PTK.
Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak yang dipimpin Isnurul S Arif mengabulkan permohonan banding Yu Hao dan membebaskannya dari semua dakwaan dari putusan pengadilan Negeri Ketapang. Dalam Petikan amar putusan, “Majelis Hakim menyatakan terdakwa Yu Hao tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penambangan tanpa izin sebagaimana dalam dakwaan tunggal penuntut umum. Membebaskan terdakwa Yu hao oleh karena itu dakwaan tersebut, memulihkan hak terdakwa dalam kedudukan, kemampuan harkat serta martabatnya dan memerintah penuntut umum membebaskan terdakwa dari tahanan”.
Ahmad Syukri mengatakan, histori konflik yang terjadi antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat bahkan konflik antara PT SRM dengan PT BBT hingga penangkapan Yu Hao hingga diputus bebas di Pengadilan Tinggi Pontianak mencerminkan kesemrawutan tata kelola pertambangan di Kalimantan Barat.
“Berlarutnya masalah ini menggambarkan fungsi pengawasan negara yang sangat lemah atas izin yang telah mereka terbitkan, yang telah melahirkan konflik agraria di banyak pedesaan di Kalimantan Barat,” ungkapnya.
Ia menilai keberadaan perusahaan tambang nyatanya tidak sepenuhnya memajukan kesejahteraan masyarakat disekitarnya, justeru menghilangkan hak-hak masyarakat adat yang secara lanjut akan mengikis identitas serta karakteristiknya sebagai masyarakat adat.
Lebih jauh menurutnya pertambangan sudah terbukti menjadi industri paling destruktif karena deforestasi yang diakibatkannya. Tidak ada satupun bukti proyek reklamasi tambang yang dapat memulihkan kembali lokasi yang telah ditambang di Kalimantan Barat.
“Selain karena biayanya yang mahal dan memang tidak ada kesungguhan untuk mengawasinya,” tuturnya.
Terlebih menurutnya tambang emas skala besar yang beroperasi membangun terowongan besar di dalam tanah, menggunakan bahan peledak serta berbagai bahan kimia berbahaya dalam proses mendapatkan, pengolahan dan pemurnian seperti air raksa/merkuri (Hg) yang beresiko tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan buruh, masyarakat sekitar serta kelestarian alam.
Ia menilai, penegakan hukum bagi penambang-penambang skala kecil yang miskin dan tak berizin yang dianggap ilegal begitu massif dan kejam, namun bagi perusahaan-perusahaan asing yang menimbulkan kerugian besar bagi negara begitu sulit.
“Praktik penambangan ilegal tidak hanya bagi mereka yang kecil, namun sekarang yang berizin juga sering melakukan tindakan ilegal dengan menambang barang tambang yang tak sesuai dengan izin penambangannya,” pungkas Ahmad Syukri.