INIBORNEO.COM, Pontianak – Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, terus menuai kontroversi. Di balik janji kemajuan dan penyediaan energi yang melimpah, proyek ini menyisakan jejak dampak lingkungan yang memprihatinkan. Salah satunya adalah meningkatnya kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang kerap melanda wilayah Kalimantan Barat.
Di Dusun Sungai Baung, sebuah desa kecil di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, suara perlawanan datang dari Misnah, seorang perempuan berusia 45 tahun. Di tengah rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama di wilayah tersebut, ia dengan tegas menentang proyek yang diyakininya akan membawa dampak serius bagi lingkungan dan keberlangsungan hidup masyarakat setempat.
Misnah, seorang perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan berladang, bercerita bahwa ia sudah lama menekuni pekerjaan ini. “Dah dari dolo, dijual yang ade perai, sekelo ndak tentu,” ucap Misnah menggunakan dialek Sambas, menjelaskan bahwa hasil ladangnya seperti padi, cabai dan bawang sering dijual kepada penjual yang rutin datang untuk membelinya.
Berladang adalah pekerjaan turun-temurun yang telah digeluti Misnah untuk menghidupi keluarganya. Dengan lahan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Misnah mengungkapkan bahwa hasilnya tidak selalu lancar. “Kadang agen penjual datang ambil hasil panen, kadang ndak,” ujarnya, menggambarkan ketidakpastian yang kerap ia hadapi dalam menjual hasil ladangnya.
Kesulitan yang ia hadapi untuk terus berladang tidak hanya terkait dengan cuaca dan kondisi lahan, tetapi juga masalah ketersediaan pupuk yang harus ia beli sendiri. Hingga saat ini, ia belum mendapatkan bantuan apa pun dari pemerintah, baik berupa subsidi pupuk maupun pendampingan untuk meningkatkan hasil panennya, sehingga beban biaya produksi semakin berat dan hasil yang diperoleh pun tidak selalu mencukupi kebutuhan keluarganya.
Besar dan lahir di Dusun Baung, memiliki suami yang berprofesi sebagai seorang nelayan yang kerap pergi melaut jauh dari rumah, Misnah pun membantu suaminya untuk dapat membiayai kedua anaknya.
Karhutla dan PLTN: Hubungan yang Mengkhawatirkan
Investigasi ini menemukan bahwa sejak dimulainya proyek PLTN, aktivitas pembukaan lahan secara masif semakin meningkat. Tak sedikit lahan dibuka dengan cara membakar, menambah intensitas kabut asap di wilayah tersebut. Pembangunan infrastruktur penunjang, seperti akses jalan dan fasilitas pendukung, diduga menjadi pemicu utama perluasan area karhutla di sekitar Bengkayang.
Misnah juga menceritakan dusunnya yang selalu mendapat kiriman asap dari aktivitas kebakaran hutan di sekitar Bengkayang yang terjadi setiap tahunnya. Gangguan yang masif dari asap, tetap tak menggoyahkan Misnah untuk terus bertani. “Maseh, sikit-sikit maseh bise beuma,” ucap Misnah yang bercerita sambil mencuci hasil panennya.
Musim kemarau yang melanda Kalimantan Barat, khususnya di daerah Bengkayang, selalu membawa dampak serius bagi lingkungan dan masyarakat. Kebakaran hutan dan lahan yang kerap terjadi pada musim ini menghasilkan asap tebal yang menyelimuti langit, menyebabkan kualitas udara menurun drastis. Asap tersebut tidak hanya mengganggu aktivitas sehari-hari, tetapi juga membuat jarak pandang menjadi terbatas, mengancam keselamatan transportasi, serta meningkatkan risiko gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bagi warga sekitar.
Karhutla pada beberapa tahun terakhir meningkat hampir 20% dibandingkan sebelumnya, dengan banyaknya titik api yang berdekatan dengan lokasi pembangunan PLTN. Dampak ini tidak hanya merusak ekosistem hutan, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam untuk bertahan hidup.
Proyek PLTN memicu pembukaan lahan baru yang sering dilakukan dengan pembakaran, memperparah risiko Karhutla. Data menunjukkan 50% kebakaran di sekitar Bengkayang tahun 2023 terjadi di area sekitar proyek PLTN. Pola kebakaran bertepatan dengan masa konstruksi proyek, sebagaimana terlihat dari analisis data satelit BMKG.
Jumlah titik panas di Kalimantan Barat pada Minggu, 21 Juli 2024, pukul 00.00 hingga 23.00 WIB tercatat mencapai 102 titik. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kalbar, titik panas tersebut terdeteksi di berbagai wilayah kabupaten, yakni Sambas sebanyak empat titik, Mempawah tujuh titik, Sanggau 16 titik, Ketapang 19 titik, Sintang tiga titik, Kapuas Hulu tiga titik, Bengkayang 27 titik, Landak 12 titik, Sekadau empat titik, Kayong Utara empat titik, Melawi satu titik, dan Kubu Raya dua titik.
Pendeteksian hotspot dilakukan menggunakan sensor VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) dan MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) pada satelit polar seperti NOAA20, S-NPP, TERRA, dan AQUA. Teknologi ini memberikan gambaran akurat mengenai lokasi yang mengalami kebakaran hutan atau lahan. Keberadaan titik panas menjadi indikasi awal adanya potensi kebakaran yang memerlukan penanganan segera untuk mencegah kerugian lebih besar, terutama di wilayah rawan seperti Bengkayang dan Ketapang yang mencatat angka titik panas tertinggi.
Data ini menjadi peringatan penting bagi pihak terkait untuk meningkatkan upaya mitigasi kebakaran hutan dan lahan, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Perempuan Pesisir yang Pasrah
Indrawati, 45 tahun, adalah seorang perempuan yang menggantungkan hidupnya dari pekerjaan memilah udang hasil tangkapan laut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Selain itu, ia juga berladang dan membuat atap rumah dari daun sagu yang dijual ke berbagai pulau seperti Pulau Penatah, Penatah Kecil, Penatah Besar, dan Lemukutan.
“Biasanya saya jual ke Pulau Penatah, satu keping harganya tiga ribu. Kalau sehari bisa buat tiga puluh sampai empat puluh keping,” ungkap Indrawati, seraya menambahkan bahwa pekerjaan ini sudah ia tekuni sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Namun, Indrawati mengaku hanya bisa pasrah dengan adanya rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Bengkayang, yang dikhawatirkan akan mengancam mata pencahariannya di masa depan. “Pasrah saja, nanti air pasti tercemar, jadi tidak bisa cari udang lagi,” ujarnya dengan nada penuh kekhawatiran.
Ia menyadari bahwa pilihan untuk menolak pembangunan PLTN bukanlah hal yang mudah, namun ia berharap pemerintah memperhatikan dampak lingkungan yang akan terjadi, terutama bagi masyarakat pesisir yang sangat bergantung pada hasil laut sebagai sumber penghidupan utama mereka. “Kalau tidak ada solusi, kami benar-benar bingung mau kerja apa lagi,” tambahnya dengan nada getir.
Perlawanan Seorang Petani
Misnah, yang sejak kecil bergantung pada hasil ladang, melihat pembangunan PLTN sebagai ancaman nyata bagi kelangsungan hidupnya dan lingkungan sekitarnya. Terlebih, lokasi tapak PLTN hanya berjarak 10 menit dari rumahnya.
“Gimana nak beume? Gimana nak diam, nak tinggal kemana agik?” katanya dengan nada tegas.
Ketakutannya terhadap dampak pembangunan PLTN yang dikhawatirkan akan merusak ekosistem, tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga perekonomian warga, menjadi alasan utama penolakannya. Ia khawatir proyek tersebut akan menggusur lahan-lahan pertanian yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian petani lokal, serta mencemari perairan yang menjadi tempat bergantungnya para nelayan untuk mencari nafkah. Bagi dirinya, pembangunan PLTN ini lebih banyak membawa ancaman daripada manfaat, terutama bagi masyarakat kecil yang kehidupannya sangat bergantung pada kelestarian alam dan hasil bumi.
Pertaruhan Masa Depan Bengkayang
Dilema antara pembangunan dan keberlanjutan lingkungan semakin menjadi perdebatan di Bengkayang. Proyek PLTN yang digadang-gadang sebagai solusi energi masa depan kini justru menjadi momok bagi masyarakat kecil seperti Misnah dan para perempuan nelayan lainnya.
Sampai kapan suara masyarakat terdampak ini akan diabaikan? Apakah pembangunan PLTN akan benar-benar membawa manfaat tanpa mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar? Pertanyaan-pertanyaan ini masih menunggu jawaban.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) secara tegas menyatakan penolakannya terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kalimantan Barat. Walhi menilai proyek ini berpotensi menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan, seperti perusakan ekosistem, peningkatan risiko bencana, serta ancaman terhadap keberlanjutan mata pencaharian masyarakat lokal, khususnya petani dan nelayan. Menurut Walhi, pemerintah seharusnya fokus pada pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, daripada mengadopsi energi nuklir yang sarat risiko.
“Kalau walhi menolak nuklir sudah lama, sejak tahun 90 sudah lama dan bahkan kita juga ada buku saku, kita ulu juga kan di buria sana ya, si rencana pembangunannya. Kenapa kita tolak? Karena resikonya sangat tinggi sekali, dan ancaman pencemarannya sangat tinggi. radiasinya sangat tinggi sekali, apalagi tidak terlihat, sulit untuk dipulihkan, limbahnya juga kan bukan dari sekedar bahan bakarnya ya, ada limbah yang digunakan juga ya seperti baju gampang terkontaminasi,” kata Aung, Juru Kampanye Walhi Nasional saat diwawancarai melalui Jitsimeet.
Ia mengungkapkan bahwa mereka telah beberapa kali melakukan konsolidasi publik terkait rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kalimantan Barat. Dalam sosialisasi tersebut, Walhi menjelaskan risiko besar yang ditimbulkan oleh proyek ini, termasuk ancaman terhadap lingkungan. Menurut mereka, penolakan masyarakat terhadap PLTN semakin kuat karena didasari pemahaman yang mendalam tentang dampak lingkungan.
Selain itu, Walhi menyoroti alasan lain mengapa Indonesia belum siap membangun PLTN, yaitu masalah disiplin pengelolaan dan tingginya tingkat korupsi. “Jika tata kelola masih lemah, disiplin buruk, dan aturan mudah dibengkokkan, kita belum siap untuk teknologi nuklir,” ucapnya.
Walhi juga mengkritisi upaya memasukkan nuklir ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET). Bahkan, menurut mereka, banyak pihak yang bergerak di bidang nuklir juga menolak langkah tersebut, karena regulasi terkait nuklir sudah diatur secara khusus. “Tidak perlu memaksakan nuklir masuk ke RUU EBET, lebih baik aturan nuklir diperbaiki dan dikembangkan secara terpisah,” ungkap Aung.
Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, telah menimbulkan beragam respons dari masyarakat, pemerintah daerah, dan organisasi lingkungan. Proyek yang digadang-gadang sebagai solusi atas kebutuhan listrik yang terus meningkat ini dianggap sebagai langkah maju dalam pengelolaan energi nasional. Namun, di balik itu semua, terdapat berbagai isu yang perlu diinvestigasi secara mendalam, mulai dari aspek lingkungan, sosial, ekonomi, hingga teknis.
Selain itu, pembangunan PLTN yang digadang-gadang terbesar di Asia tenggara ini menuai pro dan kontra. Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Kabupaten Bengkayang, Sutrisno, mengungkapkan bahwa pihak-pihak terkait telah melakukan sosialisasi mengenai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) ini sejak tahun 2021. Sosialisasi tersebut dilakukan secara bertahap kepada masyarakat di sekitar lokasi pembangunan, tokoh masyarakat, organisasi lingkungan, hingga pemerintah daerah, dengan tujuan memberikan pemahaman menyeluruh tentang manfaat, risiko, dan dampak proyek ini.
“Kami berupaya memastikan bahwa masyarakat memahami pentingnya proyek ini untuk mendukung kebutuhan energi nasional, terutama di Kalimantan Barat, sekaligus menjawab berbagai kekhawatiran yang mungkin muncul,” ungkap Sutrisno.
Mengutip dari buku ‘Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir’ karya Prof Purnomo Yusgiantoro, Kalimantan Barat memiliki potensi besar dalam pengembangan energi, termasuk tenaga nuklir, berkat ketersediaan lahan luas, kondisi geologi yang stabil, dan kebutuhan energi yang terus meningkat. Kabupaten Bengkayang dipilih sebagai lokasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan kapasitas 1.000 megawatt (MW) untuk mengatasi defisit listrik hingga 15% pada jam puncak, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Proyek ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi di Kalimantan Barat sekaligus menopang pengembangan kawasan industri dan menarik investasi.
Dalam jangka panjang, keberadaan PLTN juga diharapkan dapat menarik investasi, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong transfer teknologi di bidang energi nuklir. Pemerintah pusat optimis bahwa proyek ini akan menjadi batu loncatan untuk pengembangan energi bersih di Indonesia.
Meski menjanjikan solusi energi jangka panjang yang ramah lingkungan dengan emisi karbon rendah, pembangunan PLTN menimbulkan berbagai kekhawatiran. Limbah radioaktif seperti Plutonium-239 (Pu-239) dianggap berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Selain itu, masyarakat, terutama kelompok perempuan pesisir yang rentan terhadap perubahan lingkungan, mempertanyakan dampaknya terhadap kehidupan mereka. Rencana pembangunan PLTN di Kalimantan Barat sudah dibahas sejak 2010 dan ditargetkan beroperasi pada 2040, menjadikannya PLTN komersial pertama di Asia Tenggara setelah proyek serupa di Vietnam dibatalkan. Namun, hingga kini, belum ada konfirmasi dari pihak terkait mengenai realisasi proyek ini.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tanjungpura (Untan) menggelar audiensi pada Rabu, 4 September 2024 yang lalu untuk membahas rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kalimantan Barat. Audiensi ini menjadi langkah awal dalam mengeksplorasi potensi energi nuklir untuk memperkuat ketahanan energi nasional, sekaligus membahas aspek keselamatan, regulasi, dan keterlibatan masyarakat. “BRIN datang untuk menanyakan kesiapan Untan mendukung rencana ini, terutama dalam kajian akademis dan penelitian. Sebagai akademisi, tentu kita mendukung,” ujar Netty Herawati, Pegiat nuklir yang juga pendiri Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI).
Ia juga menekankan pentingnya strategi komunikasi dalam sosialisasi proyek ini, mengingat nuklir masih dianggap berbahaya oleh sebagian masyarakat. “Kami akan membantu mengemas pesan menjadi lebih mudah dipahami untuk mengubah persepsi masyarakat. Kami bisa menjadi mitra dan konsultan untuk memastikan informasi dan edukasi sampai dengan baik,” tambahnya. Kedua belah pihak sepakat membentuk tim kerja bersama guna merancang studi kelayakan dan peta jalan implementasi PLTN di Kalimantan Barat.
Liputan ini didanai dari Grant Liputan Isu Dampak Pembangunan Proyek Strategi Nasional yang diselenggarakan oleh AJI Makassar dan Internews.