Waspadai Solusi Palsu di Balik Percepatan Penutupan PLTU Batubara

  • Share

INIBORNEO.COM, Pontianak – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam forum G20 tentang percepatan penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dalam 15 tahun ke depan memicu respons kritis dari sejumlah pihak. Firdaus Cahyadi dari Indonesian Climate Justice Literacy, mengingatkan publik untuk tetap waspada terhadap solusi yang disebutnya sebagai “solusi palsu transisi energi.”

Dalam forum G20, Presiden Prabowo mengumumkan rencana ambisius untuk menghentikan seluruh PLTU berbahan bakar batubara dan fosil lebih cepat dari target sebelumnya di tahun 2056. Namun, Firdaus menyoroti bahwa janji ini harus ditinjau dalam konteks rekam jejak dan kebijakan energi yang tengah dirancang.

“Kita tidak boleh hanya melihat targetnya, tetapi juga bagaimana langkah konkret dan dampaknya bagi masyarakat dan lingkungan,” ujar Firdaus.

Firdaus mengkritik kebijakan energi berbasis paradigma lama yang masih dominan dalam transisi energi di Indonesia. Menurutnya, fokus Prabowo pada swasembada energi menggunakan energi terbarukan skala besar, seperti panas bumi, berpotensi menciptakan konflik baru.

“Pengembangan energi terbarukan skala besar sering kali menggusur masyarakat lokal dan merampas ruang hidup mereka,” jelasnya. Contoh nyata adalah proyek geothermal yang kerap menghadapi penolakan dari warga di sekitar area pembangunan.

Ia juga menekankan bahwa swasembada energi yang direncanakan Prabowo tetap mengandalkan batubara. “Penutupan PLTU batubara tidak disertai penghentian tambangnya. Malah, batubara diolah menjadi produk energi lain, yang jelas tidak sesuai dengan semangat transisi energi bersih,” tambah Firdaus.

Menurut Firdaus, transisi energi saat ini masih dilihat sebagai peluang ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan ekologi. “Paradigma lama ini hanya akan melahirkan solusi palsu, yang memperparah krisis iklim,” tegasnya.

Ia menegaskan bahwa krisis iklim tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan yang sama seperti yang menyebabkan masalah tersebut. “Kita butuh perubahan paradigma yang mendasar dalam transisi energi, yang menempatkan keadilan sosial dan ekologi sebagai prioritas,” katanya.

Firdaus menyerukan agar pemerintah Indonesia mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan berkeadilan dalam transisi energi. “Jika kebijakan ini hanya fokus pada akumulasi laba dan mengabaikan masyarakat terdampak, maka transisi energi bersih hanyalah ilusi,” pungkasnya.

Dengan janji percepatan penutupan PLTU batubara, pemerintah Indonesia memiliki peluang untuk menunjukkan kepemimpinan dalam transisi energi global. Namun, hal ini hanya dapat dicapai jika paradigma pembangunan yang digunakan benar-benar berubah, menjunjung tinggi keberlanjutan, keadilan sosial, dan keberpihakan pada lingkungan hidup.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *