ECOPADS DARI LIMBAH NANAS: INOVASI BERKELANJUTAN UNTUK KESEHATAN SANTRIWATI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA SUNGAI MALAYA

  • Share

Oleh Caroline Voermans

“Di Desa Sungai Malaya, Kubu Raya, terdapat sebuah fakta mencengangkan: sekitar 50% santriwati di pesantren tidak pernah menggunakan pembalut yang layak, bahkan ada yang tidak menggunakan pembalut sama sekali. Sebagian dari mereka hanya mengandalkan kain yang jelas tidak higienis, meningkatkan risiko masalah kesehatan yang serius.”

INIBORNEO.COM, KUBU RAYA – “Masih ada santriwati yang menggunakan pembalut itu secara bergiliran. Jadi, dari satu santri memakai pembalut sekali pakai kemudian dicuci, dijemur dan dipakai lagi sama temannya.” Pernyataan mengejutkan tersebut sontak membuat saya mengernyitkan dahi. Terlintas di benak saya, “wah masih ada ya yang seperti itu dijaman sekarang. Sungguh miris.” Saya benar-benar tidak menyangka. Tapi apa mau dikata, hal tersebut nyata terjadi pada beberapa santriwati di salah satu pondok pesantren di Desa Sungai Malaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Reza Fardiansyah Putradinata, Community Development Officer (CDO) PT. Pertamina AFT Supadio Kalbar yang mengetahui hal itu dari pengakuan santriwati secara langsung kepada petugas pendamping desa saat melakukan survei dan penelitian lapangan.
“Kita juga kaget ternyata masih ada seperti itu di jaman sekarang yang memakai pembalut tak layak pakai seperti itu. Bahkan anak-anak santriwati ini punya kebiasaan pembalut itu dikubur, padahal itu akan berpengaruh pada kondisi tanah dan kesuburan tanah,” ucapnya.

Berawal dari temuan kondisi tersebut, program untuk mengatasi masalah kesehatan wanita sekaligus memanfaatkan potensi lokal pun dimulai di Desa Sungai Malaya. Inisiatif inovatif diluncurkan dengan memberdayakan kelompok tani perempuan yang sudah ada di desa tersebut. Kelompok Kamistri Patra Malaya (KPM), namanya. Kelompok ini terdiri dari 27 orang perempuan yang terbagi lagi sesuai dengan bidang tugasnya.
“Misalnya ada yang mengerjakan pertanian nanas, beberapa yang produksi sirup dan selai. Dan yang lainnya, mengerjakan limbah nanas untuk pembalut,” jelas Reza.

Pagi itu saat saya berkunjung ke Desa Sungai Malaya, Reza didampingi seorang asisten program pendamping desa bernama Fani Nazrina dan seorang periset dan pengembang, bernama Machmud Fajri. Mereka sedang mendampingi kelompok ibu-ibu Desa Sungai Malaya untuk memberikan sosialisasi terkait produk turunan yang dihasilkan dari nanas. Setidaknya ada belasan perempuan hadir memenuhi ruangan 3×4 meter pada bangunan yang belum rampung sebagai rumah produksi. Letaknya tak jauh dari pemukiman warga. Rumah produksi yang difasilitasi oleh Pertamina ini menjadi tempat pembuatan sirup nanas, etalase produksi dan juga pengumpulan bahan-bahan mentah seperti buah nanas. Baru ada dua ruangan saja dirumah produksi ini. Halaman belakang masih terbuka dan disemen semi permanen.

Rumah produksi ini juga merupakan tempat transaksi jual beli daun nanas. Daun nanas inilah yang akan diolah menjadi kapas, bahan pembuat ecopads. Ecopads adalah produk pembalut dari limbah nanas pertama di Indonesia yang harapannya akan menjadi solusi permasalahan para santriwati yang masih menggunakan pembalut bergantian ataupun masih menggunakan kain saat menstruasi. Produk Ecopads inilah yang menjadi program inovasi unggulan PT. Pertamina AFT Supadio Kalbar bekerjasama dengan sebuah start-up lokal.

Sambil meninjau rumah produksi, Reza menjelaskan Desa Sungai Malaya memang dikenal sebagai daerah penghasil nanas terbesar di Kalimantan Barat. Potensi inilah dimanfaatkan untuk mengatasi dua masalah yang ada di Desa Sungai Malaya, yaitu pemanfaatan hasil pertanian dan kesehatan santriwati. Buah Nanas dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai ekonomis dan limbah nanas diolah menjadi bahan baku pembalut.

“Buah nanas selain dijual, oleh ibu-ibu kelompok KPM diolah menjadi sirup dan selai. Dan sekarang, bahkan daun nanas pun dimanfaatkan dan bisa dijual untuk bahan baku pembuatan pembalut yang difasilitasi Pertamina dengan menggandeng innovator lokal dan memberdayakan kelompok tani perempuan yang ada di sini dalam proses pembuatannya,” jelasnya.

Hal ini juga ditegaskan oleh Kepala Desa Sungai Malaya, Achmad Effendy, yang sempat singgah sebentar ke rumah produksi. Dikatakannya, Desa Sungai Melaya dikenal memiliki ratusan hektar lahan nanas yang dikelola secara turun temurun oleh warga. Sebagian besar hasil panen dibawa ke kota untuk dijual.

Begitu pula dengan kelompok tani perempuan yang sudah ada sejak tahun 2004, saat mahasiswa dari Universitas Padjadjaran (Unpad) melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa ini. Sejak saat itu, kelompok ibu-ibu mulai mengolah nanas menjadi sirup dan selai. Terlebih setelah rumah produksi didirikan, para ibu di desa ini dapat mengelola hasil pertanian nanas mereka secara mandiri dan dibantu mendapatkan legalitas.

“Dan sekarang ada sekitar 50 ibu-ibu di desa ini kini terlibat dalam pengelolaan limbah nanas yang melimpah, dengan total populasi desa sekitar 4.000 jiwa yang tersebar di lima dusun. Apa yang sudah diberikan oleh CSR (Community Social Responsible) Pertamina ini sangat kita apresiasi sekali,” pungkasnya.

Lebih jauh Reza menjelaskan, Pertamina telah berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur dan pelatihan bagi masyarakat serta membantu dalam mengurus segala legalitas dan perizinan produk-produk yang dihasilkan masyarakat ini. Untuk pembangunan rumah produksi dan laboratorium, saat ini masih dalam proses perampungan.

“Rumah produksi ini direncanakan akan dilakukan dalam dua tahap. Nantinya sisa tanah belakang sepanjang 18 meter itu akan dibangun sehingga semua akan terpusat disini, termasuk laboratorium. Perampungan rumah produksi ini juga merupakan standar persyaratan untuk dikeluarkannya perizinan,” lanjutnya.

Menurut pemuda asal Bandung ini, kelompok masyarakat yang terlibat telah memiliki legalitas yang diperlukan, termasuk pendirian badan hukum dan sertifikasi untuk produk ecopads. Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah proses perizinan dari Dinas Kesehatan yang masih terbatas.

“Kami telah memiliki target penjualan, tetapi perizinan yang rumit menjadi kendala. Biasanya, izin dikeluarkan untuk perusahaan besar, sehingga prosesnya menjadi lebih kompleks untuk skala UMKM seperti ini,” tambahnya.

Selain infrastruktur, Pertamina juga menyediakan dua mesin pembuat kapas dan pelatihan bagi masyarakat setempat dalam pembuatan produk turunan seperti sirup dan ekstraksi. “Investasi ini tidak hanya untuk bangunan, tetapi juga mencakup legalitas seperti PIRT, standarisasi, dan sertifikasi halal untuk memastikan produk yang dihasilkan memenuhi standar yang ditetapkan,” jelasnya.

Meskipun saat ini izin komersial masih menjadi tantangan, Reza optimis bahwa produk ini akan segera mendapatkan legalitas yang diperlukan untuk dipasarkan secara luas. “Kami sudah mendapatkan PIRT untuk sirup dan sertifikasi halal untuk produk ecopads. Ini adalah langkah penting untuk memastikan kualitas dan keamanan produk,” ungkapnya.

Menurutnya, upaya mendapatkan legalitas ini memungkinkan masyarakat untuk mandiri dan berkelanjutan di masa depan. Karena program ini bertujuan bukan hanya memenuhi kebutuhan produk, tetapi juga memberdayakan masyarakat setempat.

Dalam program ini, Pertamina tidak berjalan sendiri. Diceritakan Reza, pada awal-awal dirinya berkunjung ke Desa Sungai Malaya untuk melakukan penelitian, ia bertemu seorang pemuda yang sudah lebih dulu melakukan riset di desa ini dan memiliki start-up bernama Pinawaste.

Machmud Fajri Saputra adalah seorang periset dan penemu mesin pembuat kapas dari serat nanas. Ia sudah melakukan penelitian sejak tahun 2019 saat dirinya KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Sungai Malaya. Karena sejalan dan setujuan, akhirnya Pertamina menggandeng start-up miliknya, Pinawaste, untuk membuat pembalut yang lebih sehat bagi wanita, tanpa mengandung klorin dan dengan prinsip ramah lingkungan lantaran zero waste.

“Pinawaste ini, sejenis start up bioteknologi yang memanfaatkan serat alam untuk membuat produk turunan. Jadi kita tidak hanya fokus pada serat nanas saja. Bisa juga serat lain seperti serat pisang atau bawang, tergantung dari permintaan vendor. Karena potensi disini nanas banyak dan siap kelola, maka dipakailah serat nanas,” jelasnya.

Pemuda 26 tahun ini bercerita dengan semangat saat dirinya menemukan bahwa dalam proses pembuatan ecopads ini tidak memerlukan klorin untuk menghasilkan kapas berwarna putih bersih. Sebagaimana diketahui, klorin adalah bahan yang umum digunakan oleh banyak produk pembalut di Indonesia untuk memberikan warna putih bersih pada pembalut.

“Padahal menurut data kementerian kesehatan, klorin ini sumber penyebab utama kanker serviks di Indonesia. Inilah alasan pertama kenapa kita menggunakan serat nanas karena ternyata serat nanas begitu digrinder sudah langsung putih seperti kapas. Tanpa bahan kimia apapun, tidak perlu dibleaching atau diberi pemutih lagi,” jelasnya.

Alasan kedua adalah sampah dari ecopads ini gampang terurai, tambahnya. Ecopads menggunakan lapisan plastik yang biodegradabel sehingga dapat dipakai sekali kemudian dibuang atau dikubur. Bioplastik ini diproduksi secara terpisah dan terbuat dari pati singkong, memungkinkan pembalut terdegradasi secara alami dalam waktu 53 minggu.

“Terurai, hilang, gak ada sisa sama sekali. Sudah kita riset dan didokumentasikan. Dari situ kita juga berperan untuk lingkungan dan mengurangi biaya untuk pembuangan limbah. Itu juga tujuan kita menciptakan pembalut yang ramah lingkungan dan dipake juga sehat tanpa klorin tapi juga tidak menimbulkan masalah sampah,” tukasnya.

“Kelompok tani ini menunjukkan bahwa dengan kerjasama, inovasi, dan dukungan, petani perempuan mampu memberdayakan diri dan komunitas mereka, menjadikan hasil pertanian yang berkelanjutan sebagai sumber penghidupan yang lebih baik.”

Demo Sang Penggagas

Matahari perlahan mulai meninggi, memancarkan pesona teriknya. Rumah produksi pun mulai terasa panas. Kami pun akhirnya berpindah dari rumah produksi ke rumah Komariah, salah satu penggerak kelompok Kamistri Patra Malaya. Bik Komar, begitu ia biasa disapa, memperkenankan rumahnya menjadi tempat mengolah daun nanas menjadi kapas, sementara rumah produksi belum rampung.

Ketika sampai di rumah Bik Komar, sudah ada dua mesin pencacah teronggok di halaman depan rumahnya. Mesin tersebut terlihat sederhana. Mirip mesin parut kelapa. Di samping kiri dan kanan rumah Bik Komar, terhampar subur kebun nanas yang belum siap panen.

Sementara ibu-ibu dan yang lain beristirahat di ruang tamu, saya mengambil kesempatan itu untuk berbincang-bincang dengan sang penggagas ide. Machmud dengan terampil mulai menyalakan mesin dan melakukan demo pengolahan dari daun nanas hingga menjadi serat. Machmud mengungkapkan bahwa proses awal pembuatan pembalut ini dimulai dengan menggunakan mesin kelapa.

“Awalnya kami coba-coba menggunakan mesin kelapa, tetapi banyak perbedaan antara serat kelapa dan serat nanas. Kami melakukan modifikasi selama lebih dari satu tahun, baru dapat mesin yang bisa mencacah serat nanas,” jelasnya sambil memasukkan daun nanas sepanjang setengah meter kedalam mesin. Ritme raungan mesin seketika berubah. Daun nanas yang sudah masuk dalam mesin kemudian ditarik ulur sampai tercacah menjadi serat. Dan terus dicacah sampai menjadi halus seperti kapas.

“Nah ini, baru sebentar sudah kelihatan putih. Ini akan jadi putih bersih ketika sudah menjadi kapas. Makanya gak perlu lagi pakai chemical apapun untuk memutihkan bahan,” jelasnya sambil menunjukkan hasil serat yang sudah terlihat putih.

Dua orang ibu, termasuk Bik Komar, ikut membantu. Meski tidak selincah Machmud, namun Bik Komar cukup menguasai pengoperasian mesin tersebut.
“Tahapan pembuatan ecopads melibatkan beberapa proses,” kata Machmud melanjutkan penjelasannya.

Pertama, daun nanas dibersihkan dan dijemur, kemudian dimasukkan ke mesin grinder hingga menjadi kapas. Selanjutnya, bahan tersebut diuji di laboratorium sebelum masuk ke proses penjahitan.

“Setelah penjahitan, produk kembali diuji laboratorium untuk memastikan kebersihan, sebelum akhirnya digabungkan dengan plastik biodegradable yang dibuat dari pati singkong,” jelas pemuda sarjana akademi keperawatan ini.

Meskipun proses pembuatan pembalut ini terbilang cepat, persiapan bahan baku memerlukan waktu yang lebih lama. Misalnya, proses pembuatan bioplastik membutuhkan perendaman pati singkong, dan penjemuran serat nanas dilakukan secara manual menggunakan tenaga matahari. Bioplastik ini merupakan salah satu bahan lapisan di dalam pembalut. “Jika semua bahan baku tersedia, kami bisa memproduksi antara 500 hingga 1.000 pembalut dalam sehari,” tambahnya.

Saat ini, produksi pembalut ini masih terbatas, mencapai 50-100 pieces per hari. Untuk produksi 1000 lembar dilakukan dalam jangka waktu 1-2 bulan. Karena masih terbatas pada perizinan, termasuk mesinnya juga masih terbatas.

“Proses produksi melibatkan kelompok ibu-ibu lokal yang juga membantu dalam menjahit dan mensterilkan produk,” tambahnya.

Dirinya mengaku sedang mendesain alat potong yang bisa memotong otomatis dalam jumlah banyak. Saat ini, tahapan perakitan masih dilakukan di laboratoriumnya. “Sedangkan tahapan awalnya dari pengolahan bahan mentah secara manual, sterilisasi, perekatan, sama pemotongan packaging tetap dilakukan ibu-ibu disini,” jelasnya.

Reza menimpali, satu kotak Ecopads ini berisi 3 bungkus pembalut yang memiliki ukuran bervariasi, yaitu 28 cm, 34 cm, dan 40 cm, dan masih digunakan oleh kalangan terbatas yaitu ditujukan untuk remaja perempuan berusia 18-24 tahun yang ada di pondok-pondok pesantren Desa Sungai Malaya. Saat ini baru dua pondok pesantren yang menjadi percontohan penggunaan produk, Pondok pesantren Nurul Anwar dan pondok pesantren Al Hidayah.

“Untuk pemasaran nantinya, kita akan bekerjasama dengan Yayasan Munzalan untuk dijual dan disebarkan di pondok-pondok pesantren lainnya. Jadi dengan membeli ecopads, masyarakat sudah ikut berkontribusi dalam membantu pemberdayaan masyarakat, menjaga alam ditambah dapat produk yang sehat,” timpal Reza.

Perbincangan panjang dan hangat beralih ke beranda rumah Bik Komar. Beberapa ibu pun ikut nimbrung dan duduk bersama kami sambil menikmati suguhan buah nanas hasil panen beberapa hari yang lalu. Nanasnya terasa manis dan segar. Cukup menyegarkan ditengah cuaca panas menyengat. Percakapan pun berlanjut.

Kali ini Bik Komar buka suara. Ia mengungkapkan bahwa kelompok Kamistri Patra Malaya ini dibagi lagi menjadi tiga kelompok, yaitu petani nenas yang memproduksi serat nenas dan menjahit pembalut, ibu-ibu yang membuat sirup dan yang membuat selai. Kebanyakan dari mereka mengelola kebun seluas 1-2 hektar dan saling bergotong royong dalam mengelola lahan. Dalam satu waktu, mereka mengelola lahan milik satu sama lain, serta berganti pekerjaan sesuai kebutuhan.

Setiap kali panen, mereka bisa mendapatkan hingga 20 kg daun nanas, dengan pemilihan daun yang berkualitas baik. Kalau untuk buah, dalam musim panen mereka bisa menghasilkan 200 hingga 500 buah nanas per hari. Buah-buah ini kemudian dijual dan diolah menjadi sirup, dengan harga jual sekitar Rp4.000 per buah. “Kami bisa panen setiap hari saat musim. Kalau tidak musim, kami noreh karet,” ungkap Bik Komar.

Namun, mereka mengakui adanya kendala, terutama serangan hama tikus yang mengganggu hasil panen. “Satu hektar lahan tidak bisa dipanen secara penuh karena hama tikus. Kami berharap ada program untuk mengatasi masalah ini,” tambah Jariah, anggota lainnya.

Dengan adanya dukungan dari Pertamina, kelompok tani ini merasa bahwa mereka kini dapat mengelola hasil pertanian dengan lebih baik. Sebelumnya, sangat susah menjual hasil panen nanas. “Sudah dijual ke pasar, tetap masih sisa banyak sampai busuk dan dibuang-buang. Dulu hanya dibuat sirup, sekarang kami bisa membuat berbagai produk seperti pembalut dari bahan nanas, dan bahkan memanfaatkan limbah batang untuk pupuk cair dan pakan ternak,” ujar Bik Komar lagi.

Meskipun telah mengalami tantangan, mereka optimis dengan perkembangan yang ada. “Harapan kami adalah program ini dapat terus berjalan dan membantu pemasaran serta pemodalan agar ekonomi keluarga kami semakin meningkat,” tutupnya.

Data dari Biyung Indonesia menyebutkan, 2 dari 10 perempuan Indonesia berada di periode menstruasi aktif. Jumlahnya mencapai hingga lebih dari 7 juta perempuan. Santriwati di pondok pesantren Nurul Anwar adalah setitik dari jumlah tersebut. Namun baru merasakan penggunaan pembalut hygienis 6 bulan belakangan ini.

Pemberdayaan Santriwati

Puas berbincang-bincang dengan para ibu, saya kemudian pamit untuk bertandang ke pondok pesantren Nurul Anwar yang tak jauh dari rumah Bik Komar. Saya sempat melakukan wawancara dengan 2 orang santriwati disana. Ketua asrama putri pondok pesantren bernama Syafikah (19) dan temannya, Laila (17). Di ponpes ini saya ditemani oleh Asisten Program Pendamping Desa, Fani Nazrina.

Fani menjelaskan bahwa program ini tidak hanya memberikan pembalut secara gratis kepada santriwati, tetapi juga melakukan sosialisasi mengenai pentingnya penggunaan pembalut untuk menjaga kesehatan. Termasuk memberikan solusi ekonomis keberlanjutan agar para santriwati dapat tetap menggunakan pembalut meskipun program bantuan sudah selesai.

“Beberapa santriwati beralasan bahwa pembalut itu mahal dan lebih nyaman menggunakan kain. Kami ingin mengubah mindset ini dengan memberikan edukasi bahwa pembalut sekali pakai perlu dibuang setelah digunakan,” kata Fani. Untuk mendukung perubahan tersebut, program ini juga menyediakan tempat sampah untuk pembalut guna mendorong kebiasaan membuang sampah dengan benar.

Fani menambahkan, apa yang dilakukan program saat ini adalah membangun ekosistem sehat dan hijau pada masyarakat Desa Sungai Malaya dengan stimulus. Sehingga meskipun nanti program ini berakhir, para santriwati yang sudah teredukasi tetap menggunakan pembalut. Untuk itu, untuk mempermudah akses santriwati dalam membeli pembalut, mereka akan dilatih menjadi pengajar melalui aplikasi lokal “Guru Jagoan.” Dengan pelatihan ini, santriwati yang sudah dibekali ilmu agama dapat mengajar ngaji dan hafalan Quran, sekaligus mendapatkan penghasilan. “Mereka akan dibayar Rp 50.000 per sesi, dan dana tersebut akan digunakan untuk membeli pembalut,” jelasnya.

Syafikah, ketua asrama putri di Pondok Pesantren Nurul Anwar, mengungkapkan pengalamannya dalam menggunakan ecopads, yang telah memberikan dampak positif bagi dirinya dan teman-teman santri. Sebelumnya, mereka terbiasa menggunakan pembalut dari kain bekas yang dipotong dari kain sarung atau pakaian lama. “Dengan adanya ecopads, kami merasa sangat terbantu,” ujar Syafikah.

Syafikah menjelaskan bahwa sebelum menerima bantuan ecopads, beberapa santri memilih untuk membeli pembalut di warung. Namun, kini mereka mendapatkan 10 kotak ecopads yang dapat digunakan selama masa haid. Lebih dari itu, mereka juga diberikan kesempatan untuk menjadi tenaga pengajar, yang tidak hanya membantu mereka secara finansial untuk membeli produk kesehatan, tetapi juga memberikan pengalaman mengajar.

“Pelajaran yang kami ajarkan meliputi bacaan Qur’an, tata cara wudhu, dan sholat, melalui aplikasi Guru Jagoan. Kami memiliki sekitar 10 tenaga pengajar, dan meskipun ada 20 siswa yang pernah tergabung, beberapa di antaranya sudah tidak aktif karena sistem belajar yang menggunakan paket,” jelas Syafikah. Pendapatan dari mengajar berkisar antara 30 ribu hingga 50 ribu rupiah, tergantung pada paket yang diambil.

Jadwal pengajaran diatur sebanyak dua kali seminggu, namun dapat disesuaikan dengan jadwal ketat pondok pesantren, sehingga kadang hanya bisa dilakukan sekali seminggu. Sebelum memulai mengajar, Syafikah dan rekan-rekannya mendapatkan pelatihan dari ustadz dan tim Community Development, termasuk edukasi tentang kesehatan kewanitaan serta cara mengajar dan menggunakan laptop sebagai media ajar. Pertamina juga telah memberikan bantuan berupa laptop untuk mendukung kegiatan pengajaran mereka.

Pengalaman yang sama juga diceritakan Laila (17 tahun), santriwati lainnya. Ia mengungkapkan sebelumnya, ia menggunakan kain saat menstruasi dan sering mengeluh gatal dan sering bocor. Namun semenjak ia menggunakan eco pads, hal itu tidak terjadi lagi.

“Saya merasa lebih nyaman dan tidak mengalami masalah seperti saat menggunakan kain. Edukasi yang kami terima sangat membantu kami merawat kesehatan selama menstruasi,” ujarnya.

Terkait program mengajar online lewat “Guru Jagoan”, ia merupakan salah satu santriwati yang terpilih untuk mengajar di platform tersebut. Pondok pesantren memilih 10 santriwati dari 29 yang ada untuk mengajar di aplikasi “Guru Jagoan,” melalui tes yang meliputi kemampuan mengaji dan public speaking. “Masing-masing santriwati mengajar dua kali seminggu selama 40 menit per sesi,” ujarnya.

Dengan inisiatif ini, diharapkan santriwati tidak hanya mendapatkan akses yang lebih baik terhadap pembalut, tetapi juga kemampuan untuk mandiri secara finansial melalui pengajaran online.

“Ecopads dari Desa Sungai Melaya adalah contoh nyata bagaimana inovasi lokal dapat menjawab isu kesehatan, lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat secara holistik. Dengan tekad dan semangat kolaboratif, masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan tidak lagi sekadar impian.”

Pembalut Sustainable

Desa Sungai Malaya, dengan luas lahan 17.000 Ha dan 3.543 penduduk, memiliki potensi besar untuk mengembangkan praktik pertanian berkelanjutan, sekaligus memiliki tantangan serius dalam menaikkan angka emisi gas rumah kaca. Potensi lahan perkebunan nanas yang menjadi unggulan desa ini dapat menjadi pisau bermata dua. Kenapa? Karena 20 persen dari luas lahan desa atau 3.514 Ha merupakan lahan plantasi nanas yang beresiko mengalami kebakaran lahan gambut.

Tanaman lainnya adalah singkong, kelapa dan karet juga berisiko memicu penumpukan limbah dan menambah masalah lingkungan yang dihadapi. Termasuk juga, ancaman penumpukan limbah pembalut plastik dan limbah pertanian yang tidak terkelola dengan baik. Data dari BPS Kubu Raya mencatat bahwa dalam satu bulan, limbah pembalut yang dihasilkan mencapai 2.391.760 unit, setara dengan 86 ton. Jumlah ini menyoroti perlunya solusi yang inovatif dan ramah lingkungan.

Reza Fardiansyah Putradinata, Community Development Officer (CDO) PT. Pertamina AFT Supadio Kalbar memaparkan, inisiatif pembuatan Ecopads telah menunjukkan dampak positif yang signifikan. Dari pengolahan limbah daun nanas, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) berhasil diturunkan sebanyak 0,02769 ton CO2e. “Selain itu, program ini berkontribusi pada pengurangan limbah pembalut plastik sebesar 5,184 ton per tahun dan pengurangan limbah daun nanas sebesar 12 ton per tahun,” paparnya.

Salah satu bahan baku bio-plastic ecopads turut andil dalam mengurangi limbah plastik. Uji coba biodegradabilitas menunjukkan ecopads sanggup terurai dalam waktu 53 minggu. “Dengan pendekatan zero waste, limbah pertanian dari tanaman nanas dapat dimanfaatkan lebih optimal, termasuk produksi kapas dari serat nanas dan ecpads untuk mengurangi limbah plastik,” tambahnya.

Program pemberdayaan masyarakat dari Pertamina bak busur berpanah seribu. Inisiatif eco green yang dilaksanakan di Desa Sungai Malaya bukan hanya memberikan solusi untuk masalah lingkungan, tetapi juga memberdayakan perempuan dan masyarakat secara keseluruhan serta meningkatkan kesehatan remaja usia produktif bahkan memberdayakan para santriwati sebagai tenaga pengajar.

Dengan adanya pengelolaan yang lebih baik terhadap limbah dan penerapan prinsip berkelanjutan, Desa Sungai Malaya dapat menjadi contoh desa ramah lingkungan di Kubu Raya.

Ecopads hadir dan dirancang untuk menjadi solusi yang tidak hanya aman dan sehat, tetapi juga ramah lingkungan. Proses produksinya bebas dari bahan kimia berbahaya, dan pembalut ini dapat terdegradasi dalam waktu 53 minggu.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *