Teka-teki Potongan Tubuh Perempuan di Parit Pontianak

  • Share
Kepolisian saat mengevakuasi potongan tubuh yang ditemukan di parit di Jalan Danau Sentarum Pontianak pertengahan Mei 2024 yang lalu.

INIBORNEO.COM, Pontianak – Dua kali penemuan tulang belulang manusia di parit Jalan Danau Sentarum di bulan Mei 2024 lalu belum menemui titik terang. Potongan bagian tubuh tersebut teridentifikasi seorang perempuan, namun belum ada kecocokan DNA dengan laporan orang hilang.

“Sampel DNA dari tulang torso tersebut sudah dikirim ke Jakarta, namun belum ada informasi lebih lanjut selain jenis kelamin,” jelas Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Pontianak, Komisaris Polisi Antonius Trias, menjawab Iniborneo, 18 Juni 2024.

Kepolisian memastikan jasad tersebut berjenis kelamin perempuan karena bentuk tulang torso yang oval. Penyebab kematian pun belum bisa dipastikan lantaran potongan tubuh yang sudah mengalami pembusukan tingkat lanjut. Dari hasil penyelidikan, waktu kematian diperkirakan kurang lebih tiga minggu sejak ditemukan.

Laporan orang hilang pun sudah disisir. “⁠Kami sudah mendata, ada beberapa laporan kehilangan orang, namun setelah dikroscek ke pelapor, orang yang hilang telah kembali,” lanjutnya. Polisi juga telah melakukan koordinasi dengan dinas terkait untuk melakukan penyisiran dan penggalian parit.

Setelah digali, ditemukan lagi beberapa tulang. Tulang belulang yang ditemukan dari hasil penggalian bercampur dengan tulang hewan.

“Saat ini tidak adanya DNA pembandingnya,” katanya. Namun dipastikan dua potongan tubuh tersebut berasal dari manusia yang sama.

Sebelumnya, potongan tubuh manusia  ditemukan di dalam selokan oleh petugas normalisasi saluran selokan Dinas PUPR Kota pontianak di Jalan Danau Sentarum Kecamatan Pontianak Kota, Rabu (15/5/2024).

Potongan tubuh dari pinggang sampai dengan kaki tersebut menggunakan celana berwarna biru yang tersangkut dekat jembatan di depan Jalan Ilham, Pontianak Kota. Selang beberapa hari, pada 21 Mei 2024, petugas normalisasi kembali menemukan potongan lainnya, beberapa meter masih di parit yang sama.

Potongan Tubuh Bukan Dimutilasi

Dokter Forensik RS Bhayangkara, dr Monang Siahaan, mengatakan, penemuan pertama terdiri dari tulang pinggang sampai lutut.

Pada temuan yang kedua, Tim Indonesian Automatic Finger Identification System (INAFIS) menemukan belasan tulang belulang manusia. ”Mulai dari tulang panjang, tulang paha, tulang tangan,” katanya.

Monang mematahkan asumsi kebanyakan orang terkait kemungkinan kasus mutilasi terhadap potongan tubuh tersebut. Setelah diperiksa, potongan tersebut tidak rapi. Artinya, tidak ada tanda-tanda dipotong dengan menggunakan senjata tajam.

Kata Monang,  ada beberapa faktor yang membuat bagian tubuh jenazah hilang. Bisa karena kondisi lingkungan tempat kejadian perkara (TKP), predator, hingga ulah manusia.

Terkait proses pembusukan mayat, menurut Monang, dapat dipengaruhi salah satunya oleh faktor lingkungan. Pembusukan jenazah adalah proses dekomposisi yang terjadi setelah kematian, di mana tubuh mulai mengalami berbagai perubahan fisik dan kimia.

Jenazah yang berada di air cenderung mengalami pembusukan lebih cepat dibandingkan dengan jenazah yang berada di tempat lain seperti tanah atau udara.

Adapun untuk mengetahui identitas korban, menurutnya bisa dilakukan melalui tes DNA. Pihaknya telah mengambil sampel DNA si korban. Hanya saja, untuk melakukan tes DNA diperlukan data pembanding yang bersumber dari pihak yang merasa bahwa korban tersebut merupakan keluarga.

Perempuan Kerap Menjadi Korban

Terlepas dari kasus penemuan potongan tubuh perempuan yang ditemukan di Jalan Danau Sentarum Pontianak, kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan saat ini memprihatinkan. Terlebih, bila penghilangan nyawa perempuan tersebut dilakukan lantaran jenis kelaminnya. Istilah ini dikenal sebagai femisida.

Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya dan sebagai akibat eskalasi kekerasan berbasis gender disebut dengan femisida. Berdasarkan data pantauan Komnas Perempuan, kasus indikasi femisida yang kuat pada 2020 terpantau 95 kasus, pada 2021 terpantau 237 kasus, pada 2022 terpantau 307 kasus dan pada 2023 terpantau 159 kasus. Kasus paling banyak terjadi pada femisida intim, yang mana pembunuhan biasanya dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi.

Komisioner Rainy M Hutabarat menyatakan bahwa selain femisida intim, kerentanan perempuan menjadi korban femisida juga dialami oleh perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks dari pengguna jasanya dan mucikari, transpuan dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas. Karakteristik femisida intim bercirikan dengan adanya peningkatan intensitas dan muatan kekerasan fisik, kekerasan psikis berupa ancaman pembunuhan, penelantaran ekonomi dan tidak adanya lingkungan yang mendukung untuk melindungi korban.

“Pembeda utama femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender. Umumnya femisida dilatarbelakangi oleh lebih dari satu motif,” ujar Komisioner Rainy Hutabarat dalam siaran pers Komnas Perempuan 7 Mei 2024.

Motif yang teridentifikasi tersebut seperti cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak bertanggungjawab, kekerasan seksual, menolak perceraian atau pemutusan hubungan. 

“Motif-motif tersebut menggambarkan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan. Termasuk dari kasus-kasus yang terjadi beberapa hari ini,” ujarnya. 

Aktivis Perempuan Kalimantan Barat, Arniyanti Arni, mengatakan bahwa pembunuhan terhadap perempuan tidak hanya meninggalkan terbunuh secara fisik, tapi juga meninggalkan sisa-sisa dendam dan budaya yang buruk bagi perempuan lainnya.

“Budaya buruk yang terus mengakar dan terkonstruksi menyebabkan pengetahuan tersebut masih dipegang dalam masyarakat, contohnya adalah patriarki dan stereotip soal perempuan yang lemah,” ucapnya.

Ia menyebutkan bahwa banyaknya femisida yang mencuat ke publik akibat stereotip dan budaya patriarki yang masih terkonstruksi di masyarakat. “Konsentrasi dan pemahaman mengenai femisida masih seputar bahwa kasus ini hanyalah kasus pembunuhan biasa, padahal akar masalah di dalam kasus femisida begitu rumit dan sulit diselesaikan,” jelasnya.

Tidak Ada Kesetaraan Gender

Sri Harianti, Pengamat Hukum Berspektif Feminis, memberikan penjelasan mengenai femisida tidak dapat dilihat sebagai kasus pembunuhan yang biasa karena memiliki unsur adanya tidak ada kesetaraan gender dan dominasi. 

“Kasusnya semakin meningkat, namun belum ada penanganan khusus,” kata Anti.

Ia juga mengatakan jika dilihat dari kasus yang sering terjadi belakangan ini, hubungan korban dengan pelaku bisa dikatakan masih dekat dan memiliki hubungan personal.

“Kasus ini biasanya bisa dilihat dari relasi pelaku dengan korban yang sebagian besar masih dalam ranah relasi personal atau hubungan pribadi,” tambah Anti.

Selain itu, ia juga meminta agar kasus-kasus yang menyentuh ranah Femisida harus dilirik oleh penegak hukum khususnya Polri. Selain meminta agar lebih perhatian terhadap kasus pembunuhan yang masih memiliki hubungan pribadi, ia juga meminta agar diberikan cara untuk melakukan penangan dan pencegahan.

“Ya. Selain itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang mencerminkan perlindungan terhadap perempuan dan menjadikan femisida sebagai alat pemberat dalam hukuman,” tukas Anti.

Bagaimana tanggapan warga tentang kasus penemuan potongan tubuh perempuan di Kota Pontianak ini?

“Sebagai salah satu warga yang melihat dan mengikuti kasus ini sejak awal, rasanya penasaran sekali dengan kasus ini. Saya penasaran, apakah polisi sudah memeriksa CCTV di sepanjang jalan Danau Sentarum, rentang waktunya adalah dari tingkat pembusukan mayat” (Yogi Cahya, 28, arsitek)

“Upaya penghilangan nyawa seseorang harus dianggap serius, dan jika memungkinkan dijadikan prioritas. Kalau bukan mutilasi, sisa potongan tubuh lainnya mungkin bisa dengan mudah ditemukan. Terlebih tengkorak manusia. Ayo dong, Polisi kita bisa!” (Ardiansyah, 35, aktivis HAM)

“Ayo dong tim CSI (crime scientific investigation). Sebagai penyuka film-film detektif, jadi ingin sekali melihat dan terlibat langsung dalam penyidikan. Tapi kan tak mungkin ya. Jadi ingat kasus penemuan organ tubuh oleh FBI. Selain itu, warga kayaknya belum melihat upaya polisi untuk mencari potongan tubuh lainnya di sepanjang parit tersebut. Harusnya begitu ditemukan langsung dikerahkan pencarian, mengikuti aliran airnya” (Serena Anna, 26, Perempuan)

“Kalau diperkirakan mayatnya mulai pembusukan tiga minggu setelah ditemukan, artinya harus cari rekaman CCTV di sekitar waktu itu. Barangkali ada hal-hal yang mencurigakan. Lalu belum ada keterangan-keterangan warga, bau-bau tidak sedap di rentang waktu sebelum penemuan mayat. Ih, rasanya ingin tanya-tanya sendiri” (Gibi Gabriela, 27, Perempuan)

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *