INIBORNEO.COM, Pontianak – Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mengirimkan surat ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) untuk mempertanyakan keluarnya perizinan tambang kuarsa di Pulau Gelam, yang termasuk kawasan konservasi perairan dan pulau-pulau terkecil.
“Kebetulan suratnya sudah lama sejak tahun kemarin. Mungkin teman-teman bisa bantu untuk kawal hal ini,” ujar Abussamah, Kepala Biro Hukum Pemprov Kalimantan Barat, saat diseminasi liputan kolaborasi ‘Modus Menggembosi Pulau Gelam oleh Korporasi’, di Gedung Teater Universitas Tanjungpura, 15 Maret 2024.
Kegiatan diseminasi tersebut dibuka oleh Wakil Rektor III, Dr Achmadi M.Si, dengan dukungan Lembaga Pers Mahasiswa Mimbar Untan. Liputan kolaborasi ini melibatkan media RRI Pontianak, Pontianak Post, Insidepontianak.com, Iniborneo.com, Mongabay Indonesia, dan Project Multatuli.
“Saya pastikan juga bahwa izin Analisis Dampak Lingkungannya (AMDAL) tidak keluar,” tegas Dionisius Endy, Kepala Bidang Kelautan, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Pengawasan Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat.
Kajian AMDAL pulau itu tidak pernah terlaksana karena lokasinya saja kurang jelas. Namun, keluarnya Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk dua perusahaan ada di ranah Kementerian ESDM. Saat itu aturan perizinan tambang masih berada di pusat.
Dua perusahaan tambang yang menduduki hampir seluruh luasan Pulau Gelam adalah PT Sigma Silica Jayaraya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (ITM). SSJ mendapat izin eksplorasi pasir kuarsa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 93 tahun 2022, luas 839 hektar. Sedangkan, ITM konsesi 1.163 hektar, berdasarkan SK 887 tahun 2022.
Victor Fidelis, perwakilan jurnalis yang memaparkan temuan terkait liputan tersebut menyebutkan bahwa keberadaan perusahaan tambang di pulau yang hanya seluas 28 kilometer persegi itu membawa dampak yang signifikan terhadap lingkungan, masyarakat dan satwa di sana.
“Sudah ada 150 lubang yang digali oleh dua perusahaan untuk diuji kadar pasir kuarsa di sana,” ujarnya. Hasil liputan juga mendapati bahwa padang lamun di pulau itu sudah mulai terganggu habitatnya akibat ancaman yang lebih dulu hadir di pulau tetangga, yakni perkebunan sawit. Padahal padang lamun adalah salah satu habitat mamalia dugong serta penyu.
Belum lagi, masyarakat yang paling terdampak setelah ikan jumlahnya jauh berkurang di kawasan itu dibandingkan sebelum kedatangan dua perusahaan tambang itu.
Dalam liputan tersebut juga terungkap adanya pemalsuan surat kuasa untuk membuat Surat Keterangan Tanah (SKT), serta adanya orang yang memobilisasi pembuatan SKT yang kemudian dijual ke perusahaan. Hal inilah yang sempat disampaikan perwakilan masyarakat Pulau Gelam Hartanto dan Arsyadi yang datang dalam kegiatan, bahwa permasalahan SKT sangat buruk dampaknya.
Turut hadir sebagai penanggap Kabid Humas Polda Kalbar Kombes Pol Raden Petit Wijaya. Ia menyampaikan, semua pihak terlibat dalam mengawasi Pulau Gelam dan Polda siap menerima laporan masyarakat jika ada pelanggaran.
Melky Nahar, dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) memberikan apresiasi pada stakeholder yang bersedia hadir dalam diseminasi itu. “Jarang ada yang mau hadir pada kegiatan seperti ini,” ujarnya. Namun dia menambahkan ada tantangan besar yang dihadapi Pemprov Kalbar terkait urusan pertambangan.
“Urusan tambang saat ini lebih banyak dikuasai pemerintah pusat. Kewenangan yang ada di kabupaten kota dicabut dan dipindahkan ke provinsi,” katanya. Namun kebijakan dari pusat itu kontradiksi. Mulai Maret 2024 seluruh pulau kecil di indonesia ada 35 yang sudah dijejali proyek tambang, termasuk Gelam.
Dia menilai BKPM terlalu gampang menerbitkan izin perusahaan dan masyarakat semakin sulit. Ancaman saat ini bukan hanya pada 35 pulau kecil, namun semua pulau yang punya potensi tambang apalagi yang menjadi ruang hidup warga.
“Ruang hidup tak dibatasi dengan hal administratif, bagaimana ruang laut mereka. Sehingga sangat tidak bisa membaca pulau gelam hanya dari konteks itu (izin,red) saja, kita harus membaca potret situasi di sekitarnya,” tambahnya.
Melky juga menyoroti soal AMDAL yang kerap kali hanya menjadi pemenuhan persyaratan administratif semata. Amdal tidak mencerminkan satu contoh nyata yang memitigasi risiko.
Dalam kesempatan yang sama, menurutnya celah Tipikor dalam perizinan Minerba, tidak hanya pada penerbitan izin saja. Namun, juga turut meliputi pemanfaat air laut, kawasan hutan dan AMDAL.
Liputan kolaborasi ini juga didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan WeBe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project. (*)