Skandal Penerbitan Surat Keterangan Tanah di Pulau Gelam

  • Share
Pulau Gelam/Victor Fidelis

INIBORNEO.COM, Pontianak – Kehadiran perusahaan tambang PT Sigma Silica Jayaraya di Pulau Gelam, Kalimantan Barat, telah menimbulkan skandal terkait dugaan penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) palsu oleh pemerintah desa setempat. Tim investigasi menemukan bahwa penerbitan SKT diduga tidak melibatkan warga yang seharusnya memiliki hak tanah di Pulau Gelam. Bahkan, nama-nama warga tercatat dalam SKT tanpa sepengetahuan mereka sendiri.

Haryanto (35), salah satu warga yang namanya tercantum dalam SKT, menyatakan bahwa ia tidak pernah mengajukan permohonan untuk SKT tersebut.

“Saya belum pernah mengajukan permohonan pembuatan SKT ke Desa. Kalau misalnya nama saya tercatat sudah buat SKT, kita enggak terima lah, kan masalahnya kita enggak tau kita mau ajukan ke desa, nginjak ke rumah desa aja belum pernah,” ujarnya saat diwawancara tim jurnalis investigasi Oktober 2023 lalu.

Dokumen SKT dengan nomor P/177/KDW.KIRI-D.593.2/VI/2/2023 yang diteken oleh Kepala Desa Kendawangan Kiri, Pusar Rajali, pada 23 Juni 2023, mengandung nama Haryanto tanpa persetujuannya. Haryanto dengan tegas menyatakan bahwa tidak pernah mengajukan permohonan untuk SKT tersebut. Hal ini menunjukkan adanya dugaan kuat bahwa SKT dikeluarkan secara tidak sah atau fiktif.

“Saya tidak pernah mengajukan permohonan pembuatan SKT ke Desa. Kalau misalnya nama saya tercatat sudah buat SKT, kita enggak terima lah, kan masalahnya kita enggak tau kita mau ajukan ke desa, nginjak ke rumah desa aja belum pernah,” ujarnya saat diwawancara tim investigasi pada bulan Oktober 2023.

Haryanto juga menyatakan bahwa tidak pernah melihat bentuk fisik SKT yang dikeluarkan oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri.

“Kita enggak terima lah karena kita enggak pernah bikin SKT. Boleh jadi juga kita akan buat laporan ke pihak yang berwajib atau berwenang, karena kita enggak terima,” tegas Haryanto.

Dia mengklaim bahwa telah memiliki lahan di Pulau Gelam sejak lama, yang telah diturunkan dari generasi ke generasi selama puluhan tahun. Oleh karena itu, menurutnya, memiliki SKT adalah hal yang sangat penting sebagai bukti kepemilikan tanah.

“Saya di sana (Pulau Gelam) sudah lama, dari zaman kakek dan nenek saya. Lebih dari puluhan tahun,” ungkapnya yang merupakan kelahiran Kendawangan pada tahun 1988.

Landscape Pulau Gelam/Victor Fidelis

Dengan memiliki kepemilikan lahan tersebut selama bertahun-tahun, Haryanto menolak kehadiran perusahaan tambang di Pulau Gelam.

“Informasinya ada perusahaan tambang yang akan masuk, tapi kita kan tidak tahu pasti. Kalau untuk perusahaan belum ada. Tapi kita juga belum memiliki SKT, jadi tidak bisa sepenuhnya mengizinkan. Kita punya hak atas tanah ini. Kalau dijadikan tambang, kita tidak setuju karena pulau itu akan habis untuk generasi mendatang. Penghasilan juga akan berkurang karena Pulau Gelam adalah pusat penghasilan masyarakat terutama para nelayan,” ujar Haryanto, yang sehari-harinya bekerja sebagai nelayan.

Selain Haryanto, tim investigasi juga menemui Suparyanto yang mengalami nasib serupa. Suprayanto tidak pernah merasa mengajukan permohonan pembuatan surat tanah, namun namanya tercantum dalam SKT.

“Saya tinggal disana selama belasan tahun dari masa saya kecil, dari nenek moyang dan tanahnya tidak pernah saya jual. Tapi kenapa sekarang ada orang yang mau mengambil lahan disitu, padahal dia tidak punya hak di situ. Dan saya tidak pernah buat SKT,” kata Suparyanto.

“Lahan banyak tumpukannya lahan milik saya sekitar 50 hektare kalau dikumpulkan, karena tinggal disana sudah lebih belasan tahun dari masa saya kecil, dari nenek muyang dan tanahnya tidak pernah saya jua, tapi itu ada orang yang mengambil lahan disitu orang yang enggak ada hak disitu. Saya enggak pernah buat SKT. Dulu saya mau buat SKT ke kepala desa Pak Rajali, tapi tadak dibikinkan,” ucapnya.

Ia pun tidak mengetahui alasan, Pemdes tidak menerbitkan SKT yang ia ingin buat. Oleh sebab itu, Suparyanto menegaskan, bahwa jika namanya tercatut dalam penerbitan itu, tanpa sepengetahuannya dan merupakan tanda tangan fiktif, karena dirinya tidak pernah menandatangani SKT.

“Kalau saya tidak pernah menadatangani, kalau memang ada asli pasti ada tanda tangan saya (kalau misalnya namanya tercantum) enggak terima lah,” ucapnya.

Begitu pula dengan Kamal dan Arpa’i yang sudah membuat Surat Pernyataan bahwa tidak pernah membuat permohonan atau membuat SKT kepada Pemerintah Desa.

“Dengan ini menyatakan bahwa saya tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah atau SKT ataupun surat kuasa untuk mengurus lahan yang terletak di Pulau Gelam Dusun Pulau Bawal Desa Kendawangan Kiri kepada saudara Nono Romansyah,” kata Arpa’i membacakan surat pernyataannya begitu juga hal yang sama disamaikan oleh Kamal.

Dijelaskan oleh Arpa’i dan Kamal, bahwa Nono Romansyah waktu itu merupakan Dusun Pulau Bawal Desa Kendawangan Kiri yang dipercaya oleh pihak Desa untuk mengumpukan surat kuasa atau surat permohonan penerbitan SKT.

Menurut mereka, dalam penerbitan SKT tersebut, ada dugaan bahwa pihak Pemerintah Desa Kendawangan Kiri tidak transparan kepada publik, bahkan kepada warga yang namanya tercantum dalam SKT yang hingga saat ini tidak diperlihatkan dokumen fisiknya.

Warga yang diduga diberikan SKT hanya diberikan uang sebesar Rp1 juta per orang sebagai gantinya, padahal biaya pembelian SKT seharusnya sebesar Rp7 juta per orang, berdasarkan keterangan dari pihak Pemerintah Desa Kendawangan Kiri.

“Ada yang dapat uang sejuta. SKT-nya tidak pernah diperlihatkan. Tidak kenal dengan orang yang menawarkan SKT,” tambah Sumia, seorang warga Pulau Gelam yang saat ini tinggal di Pulau Cempedak yang pernah menerima uang pengganti SKT.

Sumia menegaskan bahwa ia memiliki lahan dan kebun di Pulau Gelam, bahkan makam orang tuanya berada di sana.

Lima (45), seorang warga Pulau Cempedak, juga menyampaikan hal serupa, bahkan mengungkapkan bahwa dalam proses penerbitan SKT terjadi perselisihan.

“Pada masa itu, surat menyurat mengenai legalitas tanah memang tidak diperhatikan. Ada yang menerima pembayaran secara global. Tidak ada yang menerima berkas SKT. Sebagian warga menerima, sebagian lagi tidak,” ucapnya.

“Ada yang berkelahi karena masalah ini. Meskipun tidak secara fisik, namun silaturahmi di antara warga terpengaruh. Kalau bisa, kita harus hindari perselisihan karena itu. Saya juga menyarankan kepada adik-adik agar tidak terlibat dalam konflik semacam itu,” tambah Lima.

Eksplorasi Tambang

Peristiwa ini dimulai ketika PT Sigma Silica Jayaraya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (ITM) memulai eksplorasi sebagai sampel untuk eksploitasi di Pulau Gelam, Dusun Pulau Bawal, Desa Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Kedatangan perusahaan pertambangan ini disertai dengan tuduhan perampasan lahan milik warga, bahkan diduga terjadi jual beli lahan kepada perusahaan tambang oleh oknum tertentu.

Dugaan penjualan Pulau Gelam kepada pelaku usaha pertambangan menggunakan modus penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri di atas Pulau Gelam atas nama sekelompok orang atau masyarakat, yang kemudian dijual kepada pelaku usaha pertambangan di Pulau Gelam. Penerbitan SKT tersebut diduga bertujuan untuk memenuhi syarat eksplorasi Pulau Gelam oleh perusahaan tambang. Untuk memfasilitasi operasi perusahaan tambang, diduga mereka merampas lahan milik warga dengan menggunakan SKT baru di atas lahan milik warga.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba lama) menjelaskan bahwa Hak atas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), atau Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) tidak mencakup hak atas tanah permukaan bumi. Oleh karena itu, industri pertambangan wajib melakukan pengadaan tanah.

Pasal 135 UU Minerba lama menyatakan bahwa Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Ini berarti bahwa pihak industri pertambangan harus mencapai kesepakatan dengan pemilik tanah terkait akuisisi tanah tersebut.

Selanjutnya, di tahap persiapan penambangan, industri pertambangan harus menyelesaikan peralihan Hak Atas Tanah (HAT) dengan pemegang HAT tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 136 UU Minerba lama. Jika kedua prosedur ini dilakukan dengan baik, sesuai dengan Pasal 137 UU Minerba lama, industri pertambangan dapat diberikan Hak Atas Tanah (HAT) melalui berbagai mekanisme, termasuk izin, kesepakatan, atau pembelian langsung dari pemilik tanah.

Sementara itu, Kasi Pemerintahan Desa Kendawangan Kiri, Ahmad Nurdin, menyatakan bahwa penerbitan SKT didasarkan pada permohonan dari warga. Menurutnya, tanpa adanya permohonan, SKT tidak dapat diterbitkan.

Dampak Terhadap Masyarakat

Kehadiran perusahaan pertambangan atau pengerukan pasir kuarsa oleh PT Sigma Silica Jayaraya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (ITM) untuk melakukan eksplorasi di Pulau Gelam telah mendapat penolakan dari berbagai pihak, mulai dari warga sekitar, nelayan, tokoh masyarakat, hingga beberapa organisasi masyarakat.

Haryanto, yang sehari-harinya sebagai nelayan, menegaskan penolakannya terhadap kehadiran perusahaan tambang di Pulau Gelam. Menurutnya, keberadaan perusahaan tambang hanya akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan, termasuk penurunan hasil tangkapan nelayan.

“Sekarang pendapatan mulai berkurang, karena air mulai tercemar karena racun dari perusahaan sawit dari Pulau Bawal. Apalagi jika misalnya Pulau Gelam ini ditambang, sehingga mengkhawatirkan kami, bahkan kalau saya itu rugi dua kali, pertama unti di daratan, lahan saya akan habis, kedua saya tidak bisa nelayan, karena air sudah tercemar,” ujar Suparyanto, seorang nelayan di kawasan Pulau Gelam.

Nelayan Kendawangan sedang mengangkat jaring/Victor Fidelis

Suparyanto berharap agar Pulau Gelam dapat dibiarkan dalam kondisi alam yang asri tanpa merusaknya. Dia mengatakan, “Maka kami mengharapkan jangan sampai pulau itu (Pulau Gelam) ditenggelamkan, karena kalau tambang masuk, maka sengaja pulau itu ingin ditenggelamkan.”

Satu diantara tokoh masyarakat Kendawangan Ketapang H. Asmuni menilai, bahwa Pulau Gelam merupakan lumbung bahkan pusat bagi para nelayan untuk menangkap ikan, udang dan lainnya. Hal tersebut, kemudian diperkuat setelah beberapa pulau di Kendawangan di dekat Pulau Gelam yaitu Pulau Bawal yang sudah tercemar akibat limbah perusahaan sawit.

“Jadi  Pulau Gelam sudah menjadi sumber pendapatan nelayan. Jika ada yang bilang tambang memberikan dampak positif, memberikan lapangan pekerjaan dan meningkatkan ekonomi masyarakat,  itu sangat kecil, karena jika ditambang maka pulau itu akan cepat habis,” tegasnya.

Oleh sebab itu, dirinya menolak berbagai bentuk apapun masuknya perusahaan tambang dan lainnya yang akan merusak Pulau Gelam.

“Pertama karena Pulau Gelam itu daerah konservasi, kedua kalau tambang itu otomatis di mana-mana akan merusak lingkungan sehingga pulau itu bisa tenggelam, karena mereka (pelaku usaha tambang) bikin sampel itu paling dalam 18 meter dan paling dangkal 13 meter buat lobang dan itu sudah banyak,” katanya.

Dengan demikian, hadirnya perusahaan yang akan merusak Pulau Tambang dinilai hanya akan mengganggu kelestarian alam di sana. Selain itu, juga akan mengganggu ketentraman masyarakat sekitar.

Sudah Lapor Polisi dan Klaim Pemdes

Penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) di Pulau Gelam, Desa Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, hingga saat ini masih menjadi tanda tanya bagi banyak pihak.

H. Asmuni, seorang tokoh masyarakat Kendawangan Ketapang, menyampaikan bahwa hingga saat ini, warga masih belum mengetahui siapa saja yang memiliki atau namanya tercantum dalam SKT tersebut. Karena ketidaktransparanan terkait penerbitan SKT ini, diduga SKT yang diterbitkan merupakan SKT fiktif. Bahkan, warga telah melaporkan hal tersebut kepada Polda Kalimantan Barat.

“Mengapa saya meminta untuk menyelidiki secara menyeluruh pembuatan SKT yang diduga fiktif itu, karena proses pembuatan SKT tidak transparan kepada masyarakat yang memiliki hak di sana,” ujarnya saat diwawancarai.

H. Lakok, yang lahir di Pulau Gelam pada tahun 1962, juga mengaku kaget dengan penerbitan SKT oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri tanpa sepengetahuan masyarakat yang memiliki hak di sana. Dia menjelaskan bahwa berdasarkan informasi yang dia peroleh, sudah ada sekitar 300 SKT yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri sejak sekitar tahun 2022 lalu.

“Saya minta SKT ini dibuka secara transparan atas nama siapa-siapa saja. Karena sampai saat ini kami belum tahu siapa-siapa saja yang memiliki SKT ini,” ujarnya.

Susyanto, tokoh masyarakat Kecamatan Kendawangan sekaligus Ketua PAC Pemuda Pancasila, juga telah memberikan keterangan kepada Polda Kalimantan Barat terkait laporannya. Namun, ia menyatakan bahwa laporan tersebut hingga saat ini tidak mendapat tindak lanjut dari pihak kepolisian.

“Sudah dilaporkan ke Polda kebetulan saya sebagai saksi untuk memberikan keterangan ke polda. Disitu kita sudah memenuhi panggilan dari Polda dan memberikan keterangan sekitar tiga jam dan bukan hanya saya sendiri yang memberikan keterangan terkait Pulau Gelam. Namun sampai saat ini belum pernah mendengar sejauh mana proses itu dilakukan. Sehingga saya pernah menyampaikan, bahwa ini seolah-olah mati suri, tidak ada tindak lanjut. Tolong lah aturan ini harus tajam ke atas, jangan tajam ke bawah, kasian masyarakat,” ungkapnya.

Alasan melaporkan persoalan tersebut ke Polda Kalimantan Barat adalah karena penerbitan SKT oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat secara luas, sehingga diduga merupakan SKT fiktif.

Susyanto juga menegaskan bahwa pembuatan SKT harus melibatkan verifikasi lapangan untuk menentukan keabsahan hak milik. Namun, dalam penerbitan SKT ini, tidak terlihat adanya verifikasi yang memadai, sehingga diduga SKT tersebut fiktif.

Penerbitan SKT itu terjadi, lanjut Susyanto, baru tampak saat adanya perusahaan tambang dan pasir kuarsa tersebut masuk dan melakukan ekplorasi sebagai sample untuk ekploitasi dan beroperasinya perusahaan tersebut. Sehingga muncul ratusan SKT.

“Yang mana pembuatan SKT ini tidak transparan. Seharusnya menurut saya ketika pengeluaran SKT itu harus ada verifikasi ke lapangan untuk menentukan keabsahan hak milik si a si b atau si d.  Jadi ketika ada munculnya SKT tanpa sepengetahuan sepeti itu atau hanya segelintir orang yang mengetahui itu, saya anggap ini SKT fiktif,” ungkapnya.

Selain itu, menurut Susyanto, dalam penerbitan SKT tersebut juga harus mengacu pada sejarah asal usul Pulau Gelam sehingga bisa diketahui, warga mana saja yang memiliki hak tanah disana.

“Jadi tidak hanya semena-mena bisa membuat SKT tanpa keterangan asal usul. Sejauh ini kita tidak tau dasar asal usul mereka menerbitkan SKT, itu yang saya tanyakan terhadap sekitar ada 300 SKT yang diterbitkan,” imbuhnya.

Susyanto menerangkan, bahwa dirinya berusaha menanyakan kepada warga, terkait dengan penerbitan SKT tersebut. Namun warga tidak mengetahui, siapa saja pemilik SKT yang diterbitkan Pemdes Kendawangan Kiri tersebut. Bahkan warga juga tidak pernah mengetahui secara langsung dokumen fisik SKT tersebut. Kata Susyanto, warga hanya bisa melihat beberapa salinan dokumen SKT lewat handphone.

Kasi Pemerintahan Desa Kendawangan Kiri, Ahmad Nurdin mengklaim, bahwa Pemerintah Desa Kendawangan Kiri telah meneritkan SKT berdasarkan permohonan dari warga. Nurdin menerangkan, jika tidak ada pemohon dari warga tentu, SKT tersebut tidak bisa diterbitkan oleh Pemdes.

“Setiap SKT yang terbit pasti ada pemohonnya  dan ada tanahnya. Kalau tidak ada pemohonnya enggak mungkin lah kita buatkan. Karena semua desa bagian membuat SKT kalau ada pemohon nanti kepala dusun verifikasinya,” ujarnya mewakili Kades yang waktu itu Kades dikabarkan lagi sakit pada Oktober lalu di Kantor Desa Kendawangan Kiri .

“Ketika SKT terbit pasti ada pemohon pasti ada tanah dan pasti dilakukan pengukuran,” timpalnya.

Nurdin juga menyebut bahwa jumlah SKT yang telah diterbitkan sudah lebih dari 100 lembar, meskipun ia tidak mengetahui jumlah pastinya.

“Pemohonnya memang banyak, ratusan bahkan lebih dari seratus warga telah mengajukan permohonan ke desa,” kata Nurdin.

Dia menjelaskan bahwa syarat penerbitan SKT oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri melibatkan pembuatan surat permohonan oleh pemohon yang kemudian ditandatangani oleh kepala dusun setempat. Setelah itu, surat permohonan tersebut diserahkan kepada Pemerintah Desa.

“Sebelum SKT diterbitkan, kami juga melakukan verifikasi dengan menandatangani oleh saksi yang menyatakan bahwa pemohon benar-benar memiliki tanah di Pulau Gelam. Saksi minimal dua orang dan maksimal empat orang,” jelas Nurdin.

Dia juga mengungkapkan bahwa permohonan pembuatan SKT dimulai pada akhir tahun 2021 dan diterbitkan pada tahun 2022 oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri. SKT yang sudah diterbitkan tersebut telah diserahkan kepada perusahaan pada awal tahun 2023, dan perusahaan telah memberikan ganti rugi sebesar Rp7 juta per orang yang namanya tercantum dalam SKT.

Nurdin menjelaskan bahwa dari ganti rugi tersebut, warga hanya menerima Rp5 juta per orang, sementara Rp2 juta digunakan untuk biaya operasional dalam pengurusan SKT.

“SKT tersebut sekarang sudah dimiliki oleh perusahaan, dan lahan sudah dibebaskan. Dari ganti rugi tersebut, Rp5 juta diberikan kepada warga, sementara Rp2 juta digunakan untuk biaya operasional, termasuk pengurusan administrasi dan biaya operasional lainnya,” tambahnya.

“Disinggung soal syarat penerbitan SKT, Nurdin menjelaskan bahwa bagi pemohon SKT harus membuat surat permohonan dan ditandatangani. Pemohon juga harus menyatakan bahwa dirinya memiliki tanah di Pulau Gelam. Selanjutnya, surat permohonan tersebut ditandatangani oleh kepala dusun setempat dan diserahkan kepada Desa,” tutur Nurdin.

Nurdin juga menjelaskan bahwa sebelum SKT diterbitkan, dokumen tersebut harus ditandatangani oleh saksi yang menyatakan bahwa pemohon benar-benar memiliki tanah. Menurutnya, saksi minimal dua orang dan maksimal empat orang.

Dalam penerbitan SKT tersebut juga diduga ikut terlibat Cama Kendawangan. Jika dilihat dari salinan dokumen SKT yang diterbitkan oleh Pemdes Kendawangan Kiri mengetahui Camat Kendawangan yang saat itu masih dijabat oleh Eldy Yanto yang ditandatangani ada 11 Juli 2022.

Namun setelah dimintai keterangan pihak kecamatan, pada Oktober 2023 yang ditemui oleh Plt Camat Kendawangan yang sebelumnya menjabat sebagai Kasi Pemerintahan camat kendawangan Didik Radianto menepis hal itu. Didik menerangkan, bahwa penerbitan SKT tersebut tidak mengetahui Camat Kendawangan.

“Pemlik tanahnya warga, yang saya tau ada yang membuat SKT, tapi kalau sertifikat belum ada. Yang mengelurkan SKT adalah desa. Kurang tau saya karena saya baru Plt, tapi kayaknya enggak mengetahui camat.” ucapnya.

Tidak mau berkomentar panjang, Didik kemudian melanjutkan dengan penyataan, bahwa pihaknya menolak dengan adanya perusahaan tambang di Pulau Gelam yang merupakan kawasan konservasi.

“Untuk Pulau Gelam pada intinya sebenarnya pulau itu tidak diizinkan untuk diekplorasi untuk tambang, karena pulau ini bagian dari konservasi, jadi enggak bisa ditambang,” tegasnya.

Didik mengatakan, bahwa pihaknya mengizinkan dan menyyetujui perusahaan tambang dan pasir kuarsa masuk ke Kendawangan jika sudah dilakukan kajian untuk memastikan tidak terjadi dampak negativ yang ditimbulkan.

“Harus ada kajian, mana wilayah-wilayah tertentu seperti cagar alam, kemudian daerah konservasi, status hutan HP. Yang mana ini statusnya sangat tidak dianjurkan untuk di tambang. Dan kalau dikawasan konservasi tidak menyetujui, sama termasuk di Pulau Gelam, alangkah baiknya tetap dilestarikan, jangan ditambang,” ungkapnya.

Respon Perusahaan

Tim investigasi mencoba menghubungi Denny Muslimin, selaku Komisaris Utama di PT. Sigma Silica Jayaraya maupun PT. Sigma Group Indonesia melalui aplikasi WhatsApp pada tanggal 27 Desember 2023. Namun yang bersangkutan tidak merespon.

Kemudian tim investigasi kembali menghubungi Denny Muslimin pada 7 Januari 2024, dan mendapat respon. Namun, yang bersangkutan menolak untuk diwawancara dan mengarahkan agar menghubungi Direktur perusahaan tersebut.

“Ke direktur saja,” kata Denny Muslimin melalui pesan Whats App.

Kemudian, Denny mengirim nomor kontak Sudirman. Selanjutnya, tim investigasi mencoba menghubungi Sudirman, melalui aplikasi WhatsApp, namun tidak langsung direspon. Beberapa saat kemudian, tim investigasi kembali menghubungi Sudirman melalui jaringan telephone.

Pada saat dikonfirmasi, Sudirman, yang juga pengurus HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) Kalimantan Barat itu sempat menghardik.

“Apa hubungannya dengan saya,” tanya Sudirman.

Tim investigasi pun kemudian mencoba menjelaskan duduk perkara PT. Sigma Silica Jayaraya dengan dirinya. Namun, yang bersangkutan mengatakan jika Denny Muslimin yang lebih mengetahui soal aktivitas pertambangan di kawasan konservasi Pulau Gelam tersebut.

“Ke Denny saja. Sudah bener itu. Lagian sudah tidak ada aktivitas apa-apa di pulau itu. Sudah kosong. Kenapa baru sekarang mau wawancara,” kata Sudirman sembari menutup telephone.

Ekosistem Terancam

Penguasaan tanah di Pulau Gelam untuk dieksploitasi tentu sangat membahayakan terhadap lingkungan di Pulau Gelam dan sekitarnya, termasuk dampak negatif bagi warga yang mata pencahariannya bergantung pada pulau Gelam. Karena Pulau Gelam merupakan wilayah kaya akan flora dan fauna, selain menjadi habitat penyu dan dugong yang dilindungi.

Menurut tokoh masyarakat Kendawangan, Ketapang H. Asmuni, praktik eksploitasi pulau kecil untuk tambang tersebut jelas bertentangan dengan upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan. Terlebih kata dia, saat ini Pemerintah telah menerbitkan sejumlah aturan terkait pengelolaan pulau-pulau kecil. Aturan yang dimaksud adalah UU No. 1 Tahun 2014 perubahan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pada Pasal 23 Ayat 2 dalam UU dengan tegas menyebutkan, bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan secara lestari, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara. Tidak ada sama sekali klausul tentang kegiatan tambang di pulau-pulau kecil.

Larangan untuk semua bentuk penambangan juga disebutkan dalam Pasal 35, yaitu penambangan pasir, minyak dan gas, serta mineral. Pelanggaran hukum pada aturan tersebut akan dijatuhi hukuman penjara hingga 10 tahun. Nominal denda yang dikenakan Rp 2 miliar sampai Rp 10 miliar.

Oleh sebab itu, Asmuni dengan tegas menolak penambangan di Pulau Gelam dengan beberapa alasan sesuai aturan tersebut.

“Pertama karena Pulau Gelam itu daerah konservasi, kedua kalau tambang itu otomatis di mana-mana akan merusak lingkungan sehingga pulau itu bisa tenggelam, karena mereka (pelaku usaha tambang) bikin sampel itu paling dalam 18 meter dan paling dangkal 13 meter buat lobang dan itu sudah banyak,” kata Haji Lakok sapaan karibnya.

Selain itu, aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil juga dapat menyebabkan munculnya bencana ekologis bagi masyarakat meliputi kejadian bencana ekstrem, pencemaran air, tanah, dan laut; kerusakan hutan dan sulitnya akses pangan, serta hilangnya ruang hidup masyarakat.

Padang lamun di Pulau Gelam/Victor Fidelis

Selain karena Pulau Gelam sudah masuk kawasan konservasi yang telah diatur dalam undang-undang, penolakan warga juga karena khawatir akan hadir bencana yang dapat menimpa warga Kendawangan yang disebabkan kerusakan lingkungan.

“Yang paling kami takutkan, karena itu (pulau gelam) pulau  yang dikelilingi lautan, kami takut ketika pulau itu dikeruk dan habis, malah terjadi bencana. Disini ketika ada bencana semua yang menjadi korban nanti itu masyarakat Kecamatan Kendawangan,” ujar Susyanto selaku tokoh masyarakat Kecamatan Kendawanagan sekaligus Ketua PAC Pemuda Pancasila.

“Karena yang saya tau pulau gelam ini masuk wilayah konservasi, artinya enggak boleh ditambang. Kalau memang tidak melanggar aturan yang ditentukan dalam undang-undang. Kami tidak masalah. Artinya kami masyarakat kendawangan menolak perusahaan yang belum pernah memberikan iktikad niat baik kepada masyarakat.”timpanya.

Pengerukan lahan karena aktivitas tambang juga dapat merusak ekosistem yang telah terbangun selama jutaan tahun. Sehingga keseimbangan lingkungan terganggu dan dapat memicu bencana banjir bandang serta tanah longsor di wilayah-wilayah yang sebelumnya nihil bencana.

Permukaan lahan yang telah gundul dapat mengurangi infiltrasi air hujan dan meningkatkan laju aliran permukaan. Kemudian, penumpukan material galian dan kayu-kayu akan terbawa oleh aliran air permukaan. Kestabilan lereng perbukitan pulau-pulau kecil juga rusak karena pengerukan yang dilakukan secara masif tanpa mempertimbangkan keseimbangan topografinya.

Selain itu, juga terjadi pencemaran air, tanah, dan laut karena limbah hasil pengolahan komoditas tambang, karena tambang dapat merusak ekosistem pesisir dan mangrove. Bahkan tidak  hanya secara ekologi, aktivitas tambang di pulau kecil juga rawan berdampak pada ketahanan pangan masyarakat lokal, karena banyak komoditas pangan yang akhirnya hilang. Alih fungsi lahan mendorong keruntuhan ekosistem pangan sehingga masyarakat juga kesulitan mencari pangan di hutan atau ladang karena telah beralih fungsi ke tambang.

Dampak lain pertambangan di pulau-pulau kecil dapat berkurangnya wilayah desa dan lokasi mata pencarian masyarakat. Kerusakan lingkungan di laut menyebabkan kerugian besar bagi nelayan yang kian sulit mendapatkan tangkapan ikan. Hal serupa dialami petani yang harus menelan pil pahit akibat gagal panen karena minimnya akses air yang memadai bagi areal budidaya taninya. Air sungai yang tercemar buangan limbah juga menjadi racun yang mematikan tanaman (flora) dan hewan (fauna) dalam laut.(***)

Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, Suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak.com, Mongabay Indonesia dan Projeck Multatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan WeBe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *