INIBORNEO.COM, Pontianak – Aktivitas eksplorasi pasir kuarsa di Pulau Gelam oleh PT Sigma Silica Jayaraya (PT SSJ) terindikasi sebagai salah satu pemasok yang akan dikirim ke pabrik kaca di Pulau Rempang. Hal ini didasari oleh beberapa kejanggalan dan keterkaitan terhadap izin eksplorasi oleh PT SSJ.
Pengeboran untuk pengambilan sampel pasir sebagai bahan baku untuk pembuatan keramik dan kaca yang dilakukan oleh PT SSJ sudah dilakukan sejak tahun 2022 telah menjadi sumber kontroversi di masyarakat. Kegiatan ini diduga melanggar sejumlah aturan terkait peruntukan dan perizinan. Selain itu, masyarakat yang dulu bermukim di Pulau Gelam juga mempertanyakan penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang mereka anggap diperoleh oleh perusahaan tersebut tanpa proses yang jelas atau transparan. Hal ini menciptakan kekhawatiran dan ketidakpuasan di antara masyarakat terkait dampak lingkungan dan legalitas kegiatan tambang tersebut.
Pada tanggal 4 Oktober 2023, pukul 09.00 WIB, Ketika tim investigasi mengunjungi Pulau Gelam, lokasi tambang PT. Sigma Silica Jayaraya tampak sepi dari aktivitas. Namun, kami menemukan sejumlah peralatan tambang yang diduga digunakan untuk kegiatan penambangan di pondok milik perusahaan. Selain sebagai tempat penyimpanan peralatan dan penampungan sampel, pondok tersebut juga digunakan oleh karyawan perusahaan untuk menginap. Temuan ini memberikan gambaran bahwa kegiatan tambang mungkin telah terhenti sementara, namun infrastruktur dan fasilitas terkait masih tetap berada di lokasi tersebut. Hal ini mungkin menjadi bagian dari investigasi lebih lanjut terkait aktivitas perusahaan tambang dan potensi pelanggaran yang terkait dengan operasinya.
Wartawan Pontianak Post, Arief Nugroho, dan tim kolaborasi investigasi berusaha untuk menelurusi bagaimana keluarnya izin eksplorasi oleh PT SSJ di Pulau Gelam. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 93.K/MB.01/MEM.B/2022, PT SSJ mendapat izin eksplorasi pasir kuarsa di Pulau Gelam.
Pulau Gelam merupakan salah satu dari lima pulau kecil yang terletak di Kecamatan Kendawangan. Pulau ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil serta Perairan Sekitarnya, sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia Nomor: 91/KEPMEN-KP/2020.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir), serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diutamakan untuk kepentingan konservasi, pendidikan, pelatihan, penelitian, pengembangan, budi daya laut, pariwisata, usaha perikanan, kelautan, industri perikanan secara lestari, serta pertanian organik, peternakan, dan/atau pertahanan serta keamanan negara.
Selain PT. Sigma Silica Jayaraya, terdapat juga perusahaan lain yang beroperasi di Pulau Gelam, yaitu PT. Inti Tama Mineral (PT. ITM).
Dokumen yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) menunjukkan bahwa PT. Sigma Silica Jayaraya resmi disahkan pada tanggal 19 November 2021, dengan Surat Keputusan (SK) pengesahan Nomor AHU-0073846.AH.01.01. Tahun 2021.
Dalam dokumen tersebut, tercatat nama-nama pengurus dan pemegang saham PT SSJ, di antaranya:
- Denny Muslimin: Seorang pengusaha dan politikus yang menjabat sebagai Komisaris Utama dengan jumlah saham mayoritas sebanyak 950 lembar, senilai Rp950 juta dari total penyertaan modal awal sebesar Rp1 miliar.
- Hairi ST: Menjabat sebagai direktur perusahaan dengan kepemilikan saham sebanyak 30 lembar.
- Herma Irwanda: Menjabat sebagai komisaris perusahaan dengan kepemilikan saham sebanyak 20 lembar.
Dalam proses perubahan data perseroan, sudah terjadi terjadi dua kali perubahan yakni pada 8 Desember 2021 dimana jajaran direktur yang sebelumnya dipegang oleh Hairi ST, beralih kepada Sudirman. Sementara itu, Denny Muslimin yang sebelumnya menjabat sebagai Komisaris Utama, berubah menjadi Komisaris. Kepemilikan saham Denny Muslimin turun menjadi 800 lembar atau senilai Rp 800 juta.
Perubahan kedua terjadi pada 25 Februari 2022, di mana saham mayoritas PT. Sigma Silica Jayaraya dialihkan kepada PT. Mustika Bahtera Abadi, dengan kepemilikan saham sebanyak 800 lembar, dan PT. Sigma Group Indonesia, dengan jumlah saham sebanyak 200 lembar.
Menurut Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi, dan Sumber Daya Mineral (Disperinda ESDM) Provinsi Kalimantan Barat, Syarif Khamaruzaman, izin yang diberikan kepada PT. Sigma Silica Jayaraya dikeluarkan oleh kementerian terkait. Pada saat izin tersebut diberikan, kewenangan sektor pertambangan berada di tingkat pusat, mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.
“Pada tahun 2022 terjadi penyerahan atau pendelegasian kewenangan terkait izin tambang non-logam ke tingkat provinsi, sesuai dengan Perpres 55 tahun 2022. Namun, ketika pendelegasian tersebut dilakukan, proses perizinan PT. Sigma Silica Jayaraya sudah mencapai tahap pengajuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang merupakan ranah kewenangan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK),” tuturnya
Secara umum, pengajuan izin pertambangan kini menggunakan sistem Online Single Submission (OSS), di mana pelaku usaha mengunggah dokumen dan syarat-syarat yang diperlukan. Jika semua persyaratan terpenuhi, izin dapat langsung dikeluarkan, dengan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yang mengeluarkan izin.
Ketika pelaku usaha telah mendapatkan izin, seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi, mereka wajib membayar jaminan kesungguhan eksplorasi, yang nilainya ditentukan berdasarkan luas konsesi. Begitu pula ketika masuk pada tahapan operasi produksi, mereka wajib membayar jaminan reklamasi.
Namun, terkait pertambangan di Pulau Gelam, Khamaruzaman menolak untuk memberikan komentar lebih lanjut.
“Sekali lagi, izin itu dikeluarkan di pusat,” tegasnya.
“Kewenangan kami sebatas memberikan pertimbangan teknis, kajian keekonomian dan kajian tata kelola tambang. Itu pun, setelah ada peningkatan status dari eksplorasi ke operasi produksi (OP),” sambungnya.
Tidak Ada Kajian Lingkungan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat, Adi Yani, menegaskan bahwa aktivitas eksplorasi yang dilakukan oleh PT. Sigma Silica Jayaraya di Pulau Gelam tidak disertai dengan dokumen kajian lingkungan atau dokumen pengelolaan lingkungan hidup pertambangan, seperti yang diharuskan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 22 Tahun 2021.
“Ini yang harus dilihat terlebih dahulu, apakah saat dikeluarkannya izin eksplorasi itu telah disertai dengan dokumen lingkungan atau tidak. Dan nyatanya kan tidak ada. Ini sudah menyalahi aturan,” ungkap Adi Yani, 22 November 2023.
Adi Yani juga menyebut bahwa PT. Sigma Silica Jayaraya telah mengajukan permohonan penerbitan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pada awal tahun 2023, terutama untuk membangun terminal khusus (tarsus) di kawasan Pulau Gelam. Namun, pada saat pemeriksaan, diketahui bahwa lokasi tersebut termasuk dalam kawasan konservasi kelautan.
Oleh karena itu, perusahaan diminta untuk melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu, mereka juga diminta untuk mengurus Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPR) untuk lokasi tarsus. Selama PKKPR Laut belum diperoleh, proses penilaian AMDAL tidak bisa dilanjutkan.
“Selama tidak ada dokumen PKKPR Laut, maka kami tidak akan menerbitkan AMDAL, dan kami sudah lakukan pertemuan dengan ESDM, Asisten II, DKP, dan instansi terkait. Kami sepakat mengembalikan izin IUP eksplorasi ini ke kementerian,” tegas Adi Yani.
Terkait dengan pelanggaran regulasi, Adi Yani menyebut bahwa Pemerintah Daerah dapat memberikan rekomendasi pencabutan izin jika terbukti bahwa pelaku usaha telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
“Saat ini untuk rekomendasi pencabutan izin sedang berproses di Biro Perekonomian Setda Provinsi Kalbar. Karena memang mereka yang memproses,” kata Adi Yani.
Penerbitan SKT Fiktif dan Penguasaan Lahan
Pada awal September 2023, tim melakukan penelusuran terkait informasi mengenai penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diduga fiktif oleh pemerintah desa setempat. Penerbitan SKT tersebut diduga dilakukan sebagai persyaratan untuk kepentingan eksplorasi Pulau Gelam oleh pihak perusahaan yang melibatkan pemerintah desa, terutama kepala desa Kendawangan Kiri.
Dalam penelusuran tersebut, tim investigasi berhasil menemui sejumlah warga yang namanya tercantum dalam SKT, sementara mereka tidak merasa pernah mengajukan permohonan pembuatan surat tanah tersebut. Salah satunya adalah Haryanto (35), seorang warga Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang.
Berdasarkan salinan dokumen SKT dengan nomor P/177/KDW.KIRI-D.593.2/VI/2/2023 yang ditandatangani oleh Kepala Desa Kendawangan Kiri, Pusar Rajali, pada 23 Juni 2023, nama Haryanto tercantum di dalamnya. Padahal, Haryanto mengklaim bahwa dirinya tidak pernah mengajukan permohonan untuk penerbitan surat tanah tersebut. Hal ini menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa SKT tersebut diterbitkan secara tidak sah atau fiktif.
“Saya tidak pernah mengajukan permohonan pembuatan SKT ke Desa. Kalau misalnya nama saya tercatat sudah buat SKT, kita enggak terima lah, kan masalahnya kita enggak tau kita mau ajukan ke desa, nginjak ke rumah desa aja belum pernah,” ujarnya saat diwawancara tim investigasi Oktober 2023 lalu.
Haryanto juga mengaku bahwa ia belum pernah melihat wujud SKT yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri tersebut.
“Kita enggak terima lah karena kita enggak pernah bikin SKT. Boleh jadi juga kita akan buat laporan ke pihak yang berwajib atau berwenang, karena kita enggak terima,” tegas Haryanto.
Ia menegaskan bahwa telah memiliki lahan di Pulau Gelam sejak lama, bahkan turun temurun dari zaman kakek dan neneknya, yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Oleh karena itu, ia merasa bahwa memiliki SKT adalah hal yang sangat penting sebagai bukti yang kuat untuk mempertahankan tanah miliknya.
“Saya di sana (Pulau Gelam) sudah lama, dari zaman kakek dan nenek saya. Lebih dari puluhan tahun,” ungkapnya yang merupakan kelahiran Kendawangan pada tahun 1988.
Dikarenakan kepemilikan lahan yang sudah lama tersebut, Haryanto menegaskan bahwa ia menolak kehadiran perusahaan tambang yang akan masuk ke Pulau Gelam.
“Informasinya ada perusahaan tambang yang akan masuk, tapi kita kan tidak tahu pasti. Kalau untuk perusahaan belum ada. Tapi kita juga belum memiliki SKT, jadi tidak bisa sepenuhnya mengizinkan. Kita punya hak atas tanah ini. Kalau dijadikan tambang, kita tidak setuju karena pulau itu akan habis untuk generasi mendatang. Penghasilan juga akan berkurang karena Pulau Gelam adalah pusat penghasilan masyarakat terutama para nelayan,” ujar Haryanto, yang sehari-harinya bekerja sebagai nelayan.
Selain Haryanto, tim investigasi juga menemui Suparyanto yang mengalami Nasib serupa. Suprayanto tidak pernah merasa mengajukan permohonan pembuatan surat tanah, namun Namanya tercantum dalam SKT.
“Saya tinggal disana selama belasan tahun dari masa saya kecil, dari nenek moyang dan tanahnya tidak pernah saya jual. Tapi kenapa sekarang ada orang yang mau mengambil lahan disitu, padahal dia tidak punya hak di situ. Dan saya tidak pernah buat SKT,” kata Suparyanto.
Begitu pula dengan Kamal dan Arpa’i juga menegaskan bahwa mereka tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah atau surat kuasa untuk mengurus lahan di Pulau Gelam.
“Kami tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah maupun surat kuasa untuk mengurus lahan di Pulau Gelam,” kata Kamal.
Menurut mereka, dalam penerbitan SKT tersebut, ada dugaan bahwa pihak Pemdes Kendawangan Kiri tidak transparan kepada publik, bahkan kepada warga yang namanya tercantum dalam SKT yang hingga saat ini tidak diperlihatkan dokumen fisiknya.
Warga yang diduga dibuatkan SKT hanya diberikan uang sebesar Rp1 juta per orang sebagai gantinya, padahal biaya pembelian SKT seharusnya sebesar Rp7 juta per orang, berdasarkan keterangan dari pihak Pemdes Kendawangan Kiri.
“Ada yang dapat uang sejuta. SKT-nya tidak pernah diperlihatkan. Tidak kenal dengan orang yang menawarkan SKT,” tambah Sumia, seorang warga Pulau Gelam yang saat ini tinggal di Pulau Cempedak.
Sumia menegaskan bahwa ia memiliki lahan dan kebun di Pulau Gelam, bahkan makam orang tuanya berada di sana.
Sementara itu, Kasi Pemerintahan Desa Kendawangan Kiri, Ahmad Nurdin, menyatakan bahwa penerbitan SKT didasarkan pada permohonan dari warga. Menurutnya, tanpa adanya permohonan, SKT tidak dapat diterbitkan.
“Setiap SKT yang diterbitkan pasti ada pemohonnya, dan ada tanahnya. Kalau tidak ada, tidak mungkin bisa diterbitkan,” ujar Nurdin.
Nurdin juga menyebut bahwa jumlah SKT yang telah diterbitkan sudah lebih dari 100 lembar, meskipun ia tidak mengetahui jumlah pastinya.
“Disinggung soal syarat penerbitan SKT, Nurdin menjelaskan bahwa bagi pemohon SKT harus membuat surat permohonan dan ditandatangani. Pemohon juga harus menyatakan bahwa dirinya memiliki tanah di Pulau Gelam. Selanjutnya, surat permohonan tersebut ditandatangani oleh kepala dusun setempat dan diserahkan kepada Desa,” tutur Nurdin.
Nurdin juga menjelaskan bahwa sebelum SKT diterbitkan, dokumen tersebut harus ditandatangani oleh saksi yang menyatakan bahwa pemohon benar-benar memiliki tanah. Menurutnya, saksi minimal dua orang dan maksimal empat orang.
Ia juga mengungkapkan bahwa permohonan SKT dimulai sejak akhir tahun 2021 dan diterbitkan pada tahun 2022 oleh pemerintah Desa Kecamatan Kendawangan Kiri. SKT yang sudah diterbitkan tersebut, kata Nurdin, sudah diserahkan kepada perusahaan pada awal tahun 2023, dan perusahaan telah memberikan ganti rugi sebesar Rp7 juta per orang yang namanya tercantum dalam SKT.
“SKTnya sekarang sudah diserahkan ke perusahaan. Dan lahannya sudah dibebaskan. Dari uang Rp7 juta itu, Rp5 jutanya diserahkan ke pemilik SKT. Sedangkan yang Rp 2 juta, untuk operasional kantor dan pengurus atau kuasa,” bebernya.
Dalam penerbitan SKT tersebut diduga juga melibatkan Camat Kendawangan. Berdasarkan salinan dokumen SKT yang dimiliki tim kolaborasi, terdapat tandatangan Camat Kendawangan yang saat itu dijabat oleh Eldy Yanto, pada 11 Juli 2022.
Namun, Plt Camat Kendawangan Didik Radianto menepis hal tersebut setelah dikonfirmasi. Didik menjelaskan bahwa penerbitan SKT tersebut tidak melibatkan Camat Kendawangan.
Daya Rusak Lingkungan
Pulau Gelam ditetapkan sebagai kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia Nomor: 91/KEPMEN-KP/2020.
Pulau ini juga masuk dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018-2038, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat No. 1 Tahun 2019.
Berdasarkan dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut, Kecamatan Kendawangan memiliki 32 pulau, 4 di antaranya berpenghuni dan 28 lainnya tidak berpenghuni.
Pulau-pulau tersebut menjadi salah satu habitat biota perairan dan ekosistem laut seperti padang lamun, dan ekosistem mangrove, serta tempat pendaratan penyu.
Keberadaan padang lamun berfungsi sebagai sumber makanan bagi invertebrata, sebagai tempat tinggal bagi biota perairan, dan sebagai pelindung biota perairan dari serangan predator. Lamun juga menyokong rantai makanan dan penting dalam proses siklus nutrien, serta sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi ataupun abrasi.
Di sekitar Pulau Gelam, terdapat hamparan padang lamun. Setidaknya terdapat tujuh jenis lamun, diantaranya Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum. Jenis yang paling umum adalah Enhalus acoroides, sedangkan jenis Halodule uninervis adalah yang paling jarang ditemukan.
Selain Lamun, juga terdapat ekosistem mangrove, dengan persentase tutupan dalam kriteria sedang (68,24%). Ekosistem mangrove berfungsi sebagai daerah penyangga biota perairan yang sangat penting sebagai tempat bertelur, mencari makan, dan berkembang biak.
Dosen Ilmu Lingkungan MIPA Universitas Tanjungpura, Arie Antasari Kushadiwijayanto, mengatakan, aktivitas pertambangan bisa membahayakan ekosistem yang ada. Terutama pelepasan sedimen ke laut, yang otomatis di sekitaran Pulau Gelam akan terdampak karena zona inti ada di kawasan perairan.
“Untuk persentasi sediman bekas tambang itu tergantung jumlah pelepasan dan unsur bisa saja ada logam-logam yang berat yang sebenarnya itu bawaan alami,” kata Arie.
Menurutnya, jika kawasan konservasi berubah fungsi menjadi kawasan lain, seperti kermersil baik kegiatan pertambangan atau eksplorasi, maka akan berdampak terganggunya keseimbangan yang sudah ada, daya dukung lingkungan akan turun, penghasilan masyarakat turun karena ada sebagian masyarakat yang menggantungkan penghasilan mereka di situ juga.
“Daya tangkap juga berkurang, apa lagi nelayan di daerah itu hampir sebagian masyarakatnya nelayan kecil,” bebernya.
Pulau Rempang dan Kuarsa
Pasir kuarsa, yang terbentuk dari silika (SiO2), adalah bahan alam yang memiliki banyak kegunaan vital dalam berbagai industri. Ditemukan dalam jumlah besar di kerak bumi, pasir kuarsa memiliki kandungan kuarsa yang mencapai lebih dari 90%, menjadikannya salah satu jenis pasir yang paling murni.
Warnanya umumnya putih atau transparan, dengan butiran yang kasar dan stabil. Kegunaannya dalam industri sangat beragam seperti kontruksi campuran beton dan mortir untuk meningkatkan kekuatan dan stabilitas struktur. Industri kaca, industri kimia, di mana pasir ini digunakan dalam produksi berbagai bahan kimia seperti silikon, silikon karbida, dan silikon dioksida.
Selain itu juga digunakan sebagai filtrasi air, Industri minyak dan gas dalam proses pengeboran sumur minyak dan gas untuk menjaga kestabilan dinding sumur.
Di pasar internasional, harga pasir kuarsa dengan tingkat kemurnian 99 persen berkisar antara USD 630,00 sampai USD 730,00 per ton. Hal ini mendorong banyak perusahaan pertambangan non-logam untuk mengeksploitasi pasir kuarsa, terutama setelah pemerintah Indonesia menjadikan Pulau Rempang sebagai pusat industri pengolahan pasir kuarsa besar-besaran.
Tidak heran jika banyak perusahaan pertambangan non logam memburu pasir ini. terlebih saat pemerintah Indonesia menjadikan Pulau Rempang sebagai industri pengolahan pasir kuarsa besar-besaran.
Di Kalimantan Barat, khususnya di Pulau Gelam, fenomena penambangan pasir kuarsa mulai menjadi perhatian serius. Hal ini terjadi setelah pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan penerbitan izin pertambangan non-logam kepada pemerintah provinsi.
Menurut Syarif Khamaruzaman, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral (Disperindag ESDM) Kalimantan Barat, izin pertambangan pasir kuarsa semakin marak setelah pembukaan pabrik silica di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
“Pasir kuarsa ini mulai booming, ya karena setelah pemerintah pusat membuka pabrik silica di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Untuk di Kalbar, rata-rata izinnya baru pada tahap eksplorasi,” katanya.
Ismail, seorang pemerhati pertambangan di Kalimantan Barat, menambahkan bahwa penambangan pasir kuarsa menjadi salah satu komoditas yang diminati saat ini, terutama di daerah-daerah seperti Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Tengah, dan sedikit di Kabupaten Ketapang.
“Saya berasumsi ada fenomena demam silika. Karena silika dianggap mendatangkan keuntungan dikemudian hari,” kata Ismail.
Menurut dia, selain di dalam sabuk granit, izin pertambangan pasir kuarsa juga terdapat di sejumlah daerah. Di Kabupaten Sambas misalnya. Setidaknya ada 10 perizinan eksplorasi pasir kuarsa yang diterbitkan Gubernur Kalimantan Barat.
“Padahal kita harus tahu, mengajukan izin itu harus ada jaminan kesungguhan eksplorasi yang dihitung dari luasan izin. Bisa saja nilainya ratusan juta bahkan miliaran tergantung luasannya,” bebernya.
Terkait Pulau Gelam, Ismail mengaku, dirinya pernah mengunjung pulau yang berada di sebelah selatan Kecamatan Kendawangan itu. Menurutnya, ia tidak menemukan adanya pasir kuarsa di sana.
“Sebelum heboh penambangan di sana, saya sudah pernah ke sana. menurut pengamatan saya, tidak ada pasir kuarsa di sana. Kalau pun ada, nilai ekonominya rendah,” katanya.
“Tapi biar lah hasil eksplorasi mereka yang menguji itu,” sambungnya.
Ismail mengatakan, dirinya menyayangkan ada penerbitan izin pertambangan di Pulau Gelam, yang nota bene telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan dan pulau-pulau kecil.
Menurut Ismail, penambangan pasir kuarsa dapat memiliki dampak lingkungan yang serius jika tidak dikelola dengan baik, seperti kerusakan habitat alami, pencemaran air, dan peningkatan erosi tanah. Ia bahkan menyatakan kekhawatirannya bahwa jika penambangan dilakukan di Pulau Gelam, pulau tersebut bisa mengalami kerusakan yang parah hingga tenggelam.
Menolak Diwawancara
Pada tanggal 27 Desember 2023, tim mencoba menghubungi Denny Muslimin, yang menjabat sebagai Komisaris Utama di PT. Sigma Silica Jayaraya dan PT. Sigma Group Indonesia, melalui aplikasi WhatsApp. Namun, tidak ada respons dari yang bersangkutan.
Pada 7 Januari 2024, tim kembali menghubungi Denny Muslimin dan mendapatkan respons. Namun, yang bersangkutan menolak untuk diwawancarai dan mengarahkan agar menghubungi Direktur perusahaan tersebut.
“Ke direktur saja,” kata Denny Muslimin melalui pesan WhatsApp.
Selanjutnya, Denny mengirim nomor kontak Sudirman.
Kemudian, tim mencoba menghubungi Sudirman melalui aplikasi WhatsApp, namun tidak langsung mendapatkan respons. Beberapa saat kemudian, Pontianak Post kembali menghubungi Sudirman melalui jaringan telepon.
Pada saat dikonfirmasi, Sudirman, yang juga pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kalimantan Barat itu, sempat menghardik.
“Apa hubungannya dengan saya?” tanya Sudirman.
Pontianak Post kemudian mencoba menjelaskan mengenai kasus PT. Sigma Silica Jayaraya yang melibatkan dirinya. Namun, Sudirman mengatakan bahwa Denny Muslimin lebih mengetahui tentang aktivitas pertambangan di kawasan konservasi Pulau Gelam tersebut.
“Ke Denny saja. Sudah benar itu. Lagian sudah tidak ada aktivitas apa-apa di pulau itu. Sudah kosong. Kenapa baru sekarang mau wawancara,” kata Sudirman sembari menutup telepon.(***)
Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, Suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak.com, Mongabay Indonesia dan Projeck Multatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan WeBe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project