iniborneo, Sintang – Pada tanggal 18 Januari 2022 telah dilaksanakan audiensi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sintang dengan perwakilan pengurus DPD JAI Sintang tentang tindak lanjut SP3 pembongkaran. Pengurus JAI Sintang menyampaikan permohonan agar masjid Miftahul Huda tidak dibongkar dan meminta waktu untuk memenuhi persyaratan IMB Masjid serta menginformasikan bahwa JAI Sintang telah mendapat persetujuan warga yang dibuktikan dengan adanya 77 tanda tangan warga Desa Balai Harapan.
Akan tetapi pihak Pemerintah Kabupaten menyampaikan bahwa itu sudah terlambat. Dalam audiensi tersebut Bupati Sintang menawarkan dua opsi :
- Pemerintah Kabupaten Sintang bersedia membeli bangunan dan tanah milik JAI dengan harga standar pemerintah
- Pemerintah Kabupaten Sintang akan mengalihfungsikan bangunan masjid menjadi rumah tinggal atau balai pertemuan dengan memodifikasi bangunan.
JAI diberikan batas waktu sampai dengan tanggal 21 Januari 2022 untuk memilih opsi yang ditawarkan. JAI menyatakan keberatan dengan opsi tersebut karena pemerintah masih saja mem-framing masjid sebagai bangunan tanpa izin yang difungsikan sebagai tempat ibadah dan mengabaikan fakta bahwa telah ada tanda tangan persetujuan warga yang membuktikan bahwa anggota komunitas muslim Ahmadiyah diterima dengan baik oleh warga sekitar dan juga fakta bahwa Masjid Miftahul Huda telah ada sejak tahun 2007.
Pada tanggal 21 Januari 2022 Bupati Sintang menerbitkan Surat Tugas untuk menindaklanjuti SP 3 dengan Nomor 331.1/0341/SATPOL.PP.C. Dalam Surat tugas ini Bupati menugaskan 14 orang yang diketuai Kasatpol PP untuk melaksanakan pembongkaran dan modifikasi terhadap masjid Miftahul Huda yang di-framing dalam surat tugas tersebut sebagai bangunan tanpa ijin yang difungsikan sebagai tempat ibadah JAI. Surat tugas ini memuat beberapa regulasi diantaranya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah dan SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah serta regulasi lainnya.
Pada tanggal 24 Januari 2022, dilaksanakan kegiatan sosialisasi SP3 oleh Kepala Badan Kesbangpol Kabupaten Sintang bertempat di Desa Balai Harapan Kecamatan Tempunak yang dihadiri oleh Forkopimcam dan perwakilan masyarakat Desa Balai Harapan sebagai undangan.
Perwakilan JAI yang hadir tidak diberi ruang untuk bicara menyampaikan pendapat atau pertanyaan. Kepala Badan Kesbangpol menyampaikan akan segera eksekusi dengan melakukan pembongkaran sebagian dan menambah sebagian sehingga beralih fungsi dari masjid menjadi tempat tinggal sesuai surat tugas dari Bupati kepada Kepala Satpol PP. Dalam kegiatan sosialisasi ini hadir Baharudin dan Jenudin yang merupakan pelaku perusakan masjid Miftahul Huda yang telah dinyatakan bersalah melanggar Pasal 170 (1) KUHP dan dijatuhi pidana penjara selama 4 bulan 15 hari oleh PN Pontianak, pelaku yang telah bebas tersebut hadir sebagai undangan tokoh agama dan duduk sejajar dengan Kapolsek dan Danramil Tempunak. Setelah kegiatan sosialisasi rombongan Kaban Kesbangpol beserta 1 truk Satpol PP mendatangi Masjid Miftahul Huda dan mengukur tanah dan bangunan.
Saat ini komunitas Muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan dan Kabupaten Sintang diliputi kecemasan dan kekuatiran dengan langkah-langkah Bupati dan Pemerintah Kabupaten Sintang yang terus mengintimidasi dan tidak menjalankan kewajibannya memfasilitasi IMB Masjid dan memenuhi hak untuk beribadah. Beredar di media sosial para pelaku perusakan masjid mendatangi dan menuntut Pemerintah Kabupaten Sintang melaksanakan sanksi SP3 terhadap masjid Miftahul Huda. Tindakan intoleransi dan tekanan kelompok intoleran juga merembet ke daerah lain di Kalimantan Barat tepatnya di Sibo Sambas Kecamatan Toho Kabupaten Mempawah dengan beredarnya surat penolakan Ahmadiyah dan turut ditandatangani oleh Camat Toho Ferdinanda, Kapolsek Ipda Dian Kristianto, Danramil Kiki Gunawan, Kepala Desa Pak Utan Samuel Siswoko dan KUA Kecamatan Toho Sumadi.
Peran Aktif Gubernur Kalimantan Barat
Pelanggaran HAM terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan perintah pembongkaran Masjid Miftahul Huda dalam kerangka pengalih-fungsian oleh Pemkab Sintang tidak terlepas dari peran Gubernur Kalimantan Barat. Dalam beberapa hal Gubernur Kalbar juga terlibat secara aktif berperan dalam pelanggaran HAM tersebut, seperti menerbitkan Surat Edaran tertanggal 17 September 2021 yang menyerukan pemerintah daerah untuk “Memantau aktivitas JAI” dan mengarahkan Pemkab Sintang untuk menghentikan aktivitas Masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang. Tindakan tersebut turut memprovokasi kelompok-kelompok intoleran dan syiar kebencian terhadap komunitas JAI di wilayah Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Alih-alih mengayomi korban, Gubernur Kalbar justru “bergandeng tangan” dengan kelompok intoleran yang mempersekusi komunitas JAI dan merusak Masjid. Perilaku Gubernur tidak mencerminkan pejabat publik yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat untuk menjalankan keyakinannya dan menjamin keamanan serta keselamatan warga.
Surat Tugas Eksekusi ke Kasatpol PP dan Tim Memuat PBM 2 Menteri tentang Rumah Ibadah
Keputusan Pemkab Sintang untuk alih fungsi Masjid Miftahul Huda menjadi rumah tinggal tidak memiliki dasar hukum yang jelas, bahkan berpotensi melanggar aturan terkait bangunan gedung. Baik Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung maupun PP No. 36 tahun 2005 sama sekali tidak mengatur mengenai alih fungsi bangunan. Demikian pula Peraturan Bersama (PBM) 2 Menteri tahun 2006 yang salah satunya mengatur pendirian rumah ibadah juga tidak mengatur alih fungsi sebagai salah satu jalan keluar menyelesaikan sengketa terkait rumah ibadah. Alih-alih memberi wewenang melakukan alih fungsi, PP No. 36 tahun 2005 justru memberi mandat kepada Pemerintah Daerah menyelenggarakan pembinaan bangunan gedung untuk meningkatkan pemenuhan persyaratan dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung. Sementara PBM 2 Menteri tahun 2006 juga memberi mandat kepada Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi rumah ibadah yang tidak memiliki izin.
Dengan demikian, keputusan untuk melakukan alih fungsi bangunan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang selain tidak memiliki landasan hukum yang jelas, juga dapat menjadi penyebab lahirnya kerentanan baru bagi komunitas muslim Ahmadiyah di Kabupaten Sintang dimana mereka dalam posisi yang sangat rentan terhadap kekerasan dari pihak intoleran ketika mereka melaksanakan ibadah di bangunan tersebut. Selain itu, jika alih fungsi bangunan berhasil dilaksanakan, hal ini akan menjadi preseden buruk yang akan dicontoh oleh Pemerintah-pemerintah Daerah lain sebagai solusi penyelesaian tindakan intoleransi dan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap masjid Ahmadiyah.
Dugaan Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian dalam Kasus JAI Sintang
Masalah selanjutnya terdapat dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi SP3 yang menghadirkan Forkopimcam, di mana salah satunya juga mengundang pihak Kepolisian Sektor (Polsek) Tempunak yang dihadiri langsung oleh Kapolsek. Adanya keterlibatan Kapolsek dalam sosialisasi SP3 yang berisikan tentang pembongkaran Masjid Miftahul Huda milik Komunitas JAI Sintang dinilai merupakan pelanggaran kode etik profesi kepolisian.
Dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri, pada Pasal 4 (d) menjelaskan bahwa Polri wajib untuk menjaga keselamatan fasilitas umum dan hak milik perseorangan serta menjauhkannya dari kerusakan dan penurunan nilai guna atas tindakan yang diambil. Dalam konteks sosialisasi SP3 yang berisi perintah pembongkaran Masjid Miftahul Huda dalam kerangka alih fungsi, yang mana masjid tersebut merupakan properti milik pribadi (Komunitas JAI Sintang), keterlibatan Kapolsek dalam sosialisasi tersebut adalah sikap yang keliru. Kepolisian seharusnya berkewajiban untuk menghormati harkat dan martabat manusia melalui penghargaan dan perlindungan HAM bagi setiap warga negara, termasuk hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB).
Prinsip dan standar tersebut harus dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan tugas kepolisian dalam merespon diskriminasi dan persekusi. Bentuk keberpihakan yang bias kepentingan mayoritas dan subjektivitas keyakinan, serta mendiskriminasi minoritas, tidak sejalan dengan kewajiban polisi dalam penegakan HAM, termasuk perlindungan KBB di dalamnya. Jika keberpihakan itu terjadi, justru akan berpotensi adanya pelanggaran berulang.
Dalam konteks perlindungan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, perlu adanya langkah untuk meluruskan persepsi keamanan bagi kepolisian yang saat ini masih bias stabilitas. Pada kebanyakan kasus pelanggaran KBB yang terjadi, kepolisian cenderung melakukan tindakan keamanan yang bersifat pasif, seperti pembubaran massa demi menjaga stabilitas keamanan, namun abai dalam perlindungan kelompok minoritas yang menjadi korban. Lebih jauh, kami mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk merespon dan menindak dugaan pelanggaran kode etik kepolisian yang dilakukan oleh Kapolsek Tempunak terkait keterlibatannya dalam sosialisasi SP3 pembongkaran Masjid Miftahul Huda milik Komunitas JAI Sintang.
Pemulihan Hak Korban
Terbitnya SP3 bagi komunitas JAI Sintang adalah buntut dari perusakan Masjid Miftahul Huda, September 2021 lalu. Pasca perusakan, komunitas Muslim Ahmadiyah di Kabupaten Sintang mengalami trauma yang kemudian diperparah oleh terbitnya SP 1, 2 dan 3. Trauma ini sangat berdampak ke psikologis korban, misalnya ada anggota muslim Ahmadiyah yang sampai tidak nafsu makan mendekati tenggat pembongkaran masjid. Di tengah situasi seperti ini, yang dibutuhkan oleh korban adalah pemulihan hak-haknya termasuk rehabilitasi psikologis. Namun, alih-alih memulihkan hak korban, yang terjadi adalah reviktimisasi dengan menghukum korban.
Penghukuman terhadap korban terlihat jelas dari Bupati dan Pemerintah Kabupaten Sintang yang justru memutuskan untuk melakukan alih fungsi Masjid Miftahul Huda menjadi tempat tinggal yang semakin menambah trauma korban. Pemerintah Kabupaten Sintang mengabaikan ttugas dan kewajibannya untuk menerbitkan IMB rumah ibadah, seperti tertera di Pasal 6 Ayat (1) PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006. Pengurus JAI beritikad baik untuk mengurus IMB dan telah mendapatkan 77 tanda tangan dari masyarakat setempat, tetapi Pemerintah Kabupaten Sintang berkata “Pengurusan IMB sudah terlambat!” dan justru memutuskan untuk melakukan alih fungsi Masjid menjadi tempat tinggal atau fungsi lain selain masjid/tempat ibadah.
Oleh karena itu, Pemerintah Pusat, khususnya Kemendagri, harus menegur keras Bupati dan Pemerintah Kabupaten Sintang yang gagal menjalankan kewajibannya dan malah terus-menerus menekan korban untuk membongkar Masjid dan memaksakan alih fungsi Masjid menjadi tempat tinggal. Sudah menjadi kewajiban negara dan pemerintah, termasuk pemerintah Kabupaten Sintang, untuk melindungi, menjamin, dan memulihkan hak komunitas muslim Ahmadiyah di Balai Harapan Sintang. Pengadilan Negeri Pontianak Kalimantan Barat telah menghukum 22 para pelaku tindak pidana hasutan dan perusakan masjid Ahmadiyah. Dengan menggunakan logika hukum, Komunitas Muslim Ahmadiyah merupakan korban dari sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang telah secara resmi diputuskan sebagai terpidana oleh lembaga negara yang bernama pengadilan. Dalam konteks itu, Pemerintah Kabupaten Sintang dan Pemerintah Provinsi Kalbar mesti merehabilitasi masjid yang menjadi objek perusakan sebagai bagian dari pemulihan hak korban, alih-alih menghukum mereka dengan mengancam pembongkaran dan alih fungsi masjid.
Lemahnya Komitmen HAM Indonesia
Situasi KBB di Indonesia selalu menjadi salah satu konsentrasi bahasan yang krusial di tengah komunitas HAM internasional, termasuk lewat mekanisme Universal Periodic Review (UPR). Dalam rekomendasi UPR 2017, Indonesia mendapat 21 rekomendasi terkait KBB, di antaranya menyoal penghapusan regulasi diskriminatif (Jerman, Korea Selatan, Swiss, Kanada), penjaminan hak KBB bagi kelompok minoritas agama (Panama, Guatemala, Norwegia), dan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi umat beragama termasuk perlindungan bagi kelompok agama minoritas dari kekerasan dan penuntutan (Belanda, Italia, Austria, Hungaria).
Situasi yang kini tengah dialami komunitas JAI di Sintang, Kalimantan Barat, merupakan catatan buruk bagi Indonesia terkait komitmennya dalam melaksanakan rekomendasi UPR yang lalu, apalagi pada tahun ini Indonesia akan kembali ditinjau situasi HAM dalam negerinya.
Selain menyoal lemahnya komitmen Indonesia dalam penegakkan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM, pembiaran pengalih-fungsian Masjid Miftahul Huda sebagaimana dicanangkan Pemkab Sintang akan juga menjadi preseden buruk mengenai penanganan kasus-kasus pelanggaran hak KBB dan intoleransi, yang akan membawa Indonesia terjerumus ke dalam hostile society, dan memicu munculnya pola-pola diskriminasi yang mengarah ke pelanggaran serupa bagi kelompok minoritas agama lainnya di Indonesia.
Jakarta, 28 Januari 2022
Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan