INIBORNEO.COM, Jakarta 24/9/20 – Surat terbuka untuk Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang ditandatangani lebih dari 500 tenaga kesehatan professional Indonesia dibacakan oleh dr. Arif Wicaksono, M.Biomed (Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura) dalam Webinar bertajuk “Cegah Deforestasi untuk Indonesia yang Lebih Sehat” yang diselenggarakan oleh Tempo Media Group bekerja sama dengan Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan Alam Sehat Lestari pada Kamis, 24 September 2020. Turut hadir sebagai pembicara drg. Monica Nirmala, MPH (Senior Public Health Advisor Yayasan ASRI), Muhammad Teguh Surya (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan), Dr. H. Andi Akmal Pasluddin, M.M. (Komisi IV DPR RI), dan Jendral TNI Doni Monardo (Ketua SATGAS Covid-19/Kepala BNPB), dengan moderator Wahyu Dyatmika (Pemimpin Redaksi Majalah Tempo). Acara tersebut dibuka oleh Prof. DR. dr. Nila Moeloek, Sp. M (K) (Menteri Kesehatan RI 2014-2019) sebagai Keynote Speaker.
Acara webinar yang dihadiri 234 peserta ini diselenggarakan sebagai salah satu upaya untuk merespon potensi bencana ganda Covid-19 dan kebakaran hutan dan lahan, berupa seruan para profesional kesehatan Indonesia untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan di era pandemi ini. Inisiatif ini didorong oleh Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) melalui sebuah surat terbuka yang ditujukan pada Presiden Joko Widodo. Sampai acara ini diselenggarakan, sudah lebih dari 500 tenaga kesehatan profesional yang mendukung dan menandatangani surat tersebut.
“Saya sangat berterima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang sudah meluangkan waktu untuk mendukung dengan menandatangani surat terbuka ini di tengah padat dan sibuknya mereka dalam berjuang menghadapi badai pandemi Covid-19 ini. Persoalan kesehatan masyarakat harus diselesaikan dari hulu ke hilir. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta deforestasi secara umum adalah upaya terintegrasi menjaga dan meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia dan dunia. Jangan sampai di situasi Covid-19 yang sudah rumit seperti saat ini, kesehatan masyarakat semakin terbebani dengan bencana asap karhutla. Saat ini boleh dikatakan kita beruntung karena musim kemarau tidak sekering dan selama biasanya. Ke depannya, mari kita terus jaga hutan kita, demi Indonesia yang lebih sehat,” ujar drg. Monica Nirmala.
Hal yang sangat meresahkan adalah jika penyebaran virus Covid-19 terjadi berbarengan dengan kebakaran hutan dan lahan, di mana keduanya bisa berdampak fatal bagi kesehatan masyarakat. Beban rumah sakit saat ini sudah cukup berat akibat Covid-19, dan kondisinya bisa semakin parah jika jumlah pasien bertambah akibat kebakaran hutan dan lahan. Fokus penanganan bencana oleh pemerintah daerah juga akan terbelah sehingga tidak optimal.
Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Nila Moeloek dalam pidatonya saat membuka acara webinar, “asap ini bisa dari rokok, bisa dari kebakaran hutan, akhirnya akan mengganggu paru-paru. Dan paru-paru ini akan mengirup oksigen. Kita mengharapkan oksigen yang dengan mudah masuk paru-paru untuk bernapas, tapi ternyata virus (Covid-19) ini beresiko lebih besar saat paru-paru terganggu akibat kebakaran hutan.”
Berdasarkan data pemerintah, terdapat sekitar 64.600 hektare area terbakar yang terjadi selama periode Januari-Juli 2020. Analisa dari MADANI Berkelanjutan juga menunjukkan bahwa ada terjadi perluasan area potensi terbakar (APT) dari luasan 18.000 hektare di bulan Juli menjadi 84.000 hektare di bulan Agustus. Pada bulan September 2020, pada saat musim kemarau mulai beralih ke musim penghujan, titik-titik hotspot sudah mulai mulai berkurang.
Terlepas dari kenyataan bahwa keadaan cuaca seringkali tidak menentu di tahun ini sehingga suhu udara tidak sepanas biasanya, data kenaikan area APT menunjukkan bahwa pemerintah perlu lebih waspada dan perlu usaha maksimal agar bencana yang lebih buruk dapat dihindari. Situasi ini dapat menjadi semakin parah jika kesadaran publik untuk ikut menjaga lingkungan dan hutan sangat minim, penegakan hukum bagi korporasi tidak dilakukan dan monitoring juga tidak berjalan.
Muhammad Teguh Surya, (Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan) menilai bahwa kasus kebakaran hutan di Indonesia saat ini tidak boleh dianggap enteng karena masih banyak faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan selain cuaca yang justru lebih mengkhawatirkan dan harus diwaspadai seperti perubahan tutupan lahan dan kerusakan hutan serta gambut.
“Dalam analisis MADANI selama lima tahun terakhir, periode 2015 hingga 2019 menunjukkan 5,4 juta hektar hutan dan lahan terbakar. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kenaikan dan penurunan karhutla di suatu tempat. Pertama adalah karena adanya perubahan tutupan lahan. Kedua, keberadaan izin, dan ketiga kerusakan fungsi ekosistem gambut. Sehingga diperlukan mitigasi dan antisipasi yang tepat dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan yaitu dengan melindungi hutan dan memulihkan gambut serta memastikan tingkat kepatuhan pemilik izin untuk mencegah karhutla,” kata Teguh Surya.
Selain itu, keterkaitan kebakaran hutan dan pandemi pada tahun ini masih harus ditambah lagi dengan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menuai kontra dari masyarakat. RUU ini sangat ditentang karena akan berpotensi merusak dan menghilangkan luasan hutan di Indonesia yang menjadi sumber kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta keanekaragaman hayati di dalamnya.
RUU Cipta Kerja ini perlu dihentikan pembahasannya oleh pemerintah, wakil rakyat serta K/L yang berkepentingan dalam merumuskan RUU tersebut, untuk kemaslahatan umum. Bahwa akan sangat merugikan jika RUU disahkan. Dalam kajian MADANI menjelaskan bahwa hutan alam akan lebih cepat hilang jika RUU Cipta Kerja ini disahkan. Ada lima provinsiyang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi jika RUU tersebut disahkan, yaitu Jawa Tengah, Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau. Sementara itu, ada beberapa provinsi terancam akan kehilangan seluruh hutan alam di luar area PIPPIB akibat deforestasi, yaitu Kalimantan Tengah, Aceh, Husa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Jambi. Bukan saja hutan dan kelestarian alam yang akan terkena dampak buruknya, tapi beberapa sektor di negeri ini juga akan merasakan dampaknya, seperti sektor kelautan, perikanan, ekonomi, dan sebagainya.
Sangat erat hubungannya antara kelestarian hutan, kesehatan, dan aturan pemerintah bagi keberlanjutan kehidupan kita. Jika satu dari tiga hal tersebut tidak berjalan beriringan, maka dapat berdampak buruk secara signifikan tak hanya bagi lingkungan namun juga kehidupan manusia, bahkan dapat berujung pada pandemi. Maka dari itu, pencegahan deforestasi perlu dilakukan terus menerus, edukasi masyarakat agar lebih peduli lingkungan pun harus selalu dikerjakan, agar terciptanya Indonesia yang lebih sehat. (r-papiadjie)
pic. by http://Julianahttps://commons.m.wikimedia.org/wiki/User:Juliana_Espinosa