INIBORNEO.COM, JAKARTA – Perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia selama pandemi COVID-19 tidak hanya dilakukan untuk Warga Negara Indonesia (WNI), namun juga untuk Warga Negara Asing (WNA) yang berada di Indonesia maupun yang akan masuk ke Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menekan penyebaran virus SARS-CoV-2 yang masih terjadi di Indonesia.
Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Andy Rachmianto mengungkapkan bahwa protokol kesehatan yang diwajibkan bagi WNA tidak berbeda dengan apa yang diterapkan bagi WNI di Indonesia.
“Kalau kita bicara protokol kesehatan, untuk warga negara asing sebetulnya tidak beda dengan warga negara kita sendiri atau WNI. Tentunya bahwa virus itu sebetulnya tidak mengenal kewarganegaraan,” ungkap Andy dalam dialog di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta (9/7).
Semenjak pembukaan terbatas bandara maupun pelabuhan pada awal Mei 2020, WNA yang ingin masuk ke Indonesia telah dibatasi dan harus memiliki persyaratan khusus.
“Kita buka untuk beberapa WNA yang punya persyaratan, misalnya untuk tujuan diplomatik, kemudian untuk WNA pemegang Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), itu masih boleh masuk secara terbatas dan protokolnya sama dengan di Indonesia,” lanjut Andy.
Andy juga menjelaskan tahapan protokol kesehatan yang harus dilakukan oleh WNA ketika datang ke Indonesia adalah wajib melakukan tes _Polymerase Chain Reaction_ (PCR) dan melampirkan hasil tes PCR negatif sebagai salah satu persyaratan berkas untuk masuk ke Indonesia.
“Jadi sebelum masuk ke tanah air, mereka sudah kita minta persyaratan harus melakukan tes PCR dan hasilnya negatif di negara asal mereka dengan jangka waktu satu minggu sebelum masuk ke Indonesia,” jelasnya.
Setelah tiba di bandara, para WNA wajib untuk mengisi kartu kesehatan atau clearence kesehatan dari petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) di bandara, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan lainnya. Kartu kesehatan dari petugas KKP di bandara harus diberikan ke perwakilan kedutaan besar negara WNA masing-masing.
Kemudian, ketika melakukan perjalanan ke tempat tujuan, para WNA wajib menerapkan protokol kesehatan yang telah ditetapkan di Indonesia. Andy juga menambahkan bahwa par WNA yang telah tiba di tempat tujuannya, tetap harus melakukan isolasi diri 14 hari untuk mencegah potensi penularan COVID-19.
“Setelah mereka masuk (tempat tujuan), mereka juga tetap harus menerapkan protokol 14 hari isolasi mandiri di tempat tujuan mereka,” tambahnya.
Bagi para WNA yang belum melampirkan persyaratan PCR tes negatif, maka wajib untuk mengikuti rapid tes dan PCR tes yang telah disediakan oleh petugas. Untuk menunggu hasil tes, para WNA difasilitasi tempat karantina dan apabila memilih tempat lain, akan diarahkan ke hotel rujukan pemerintah.
“Bagi yang hasil rapid tesnya reaktif, harus mengikuti PCR test di salah satu rumah sakit rujukan pemerintah. Sambil menunggu hasil tes selama tiga sampai empat hari, pemerintah telah menyiapkan tempat karantina dan jika mereka memilik tempat lain, kita sudah menyediakan hotel rujukan yang biayanya ditanggung oleh para WNA,” jelasnya.
Meski hasil rapid tesnya non-reaktif, WNA tersebut tetap wajib untuk mengikuti PCR tes. “Kalau non-reaktif, protokolnya sama tetap harus melakukan PCR tes, karena rapid tes sendiri kemampuan sensitivitasnya terbatas,” lanjutnya.
Jika ada WNA yang positif COVID-19, akan ditangani ke rumah sakit rujukan pemerintah antara lain Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Siloam dan rumah sakit swasta lainnya.
Untuk biaya perawatan para WNA positif COVID-19 akan ditanggung oleh pemerintah Indonesia. Andy mengungkapkan bahwa hal ini merupakan prinsip timbal balik.
“Kita dalam hubungan antar negara menerapkan prinsip lokal, yakni prinsip timbal balik. Jadi karena warga negara kita di luar negeri yang positif itu juga ditangani oleh pemerintah negara-negara lain, maka untuk pasien-pasien WNA positif harus kita rawat di rumah sakit dan menjadi tanggungan negara,” ungkapnya.
Selain penanganan, Kemelu juga aktif dalam melakukan koordinasi dengan negara-negara lain terkait situasi pandemi COVID-19 untuk menjadi informasi bagi negara lain sekaligus sosialiasi protokol kesehatan yang diterapkan di berbagai negara sehingga para WNA yang masih tinggal di daerah terkait dapat memahami situasi serta protokol yang harus dilaksanakan melalui informasi melalui kedutaan besar negara masing-masing.
Andy juga menjelaskan bahwa Kemenlu telah responsif terkait izin tinggal para WNA melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2020.
“Sejak awal pandemi, Permenkumham nomor 11 tahun 2020 sampai sekarang masih berlaku. Jika WNA memiliki izin tinggal atau KITAP dan KITASnya sudah habis, sampai sekarang masih diberikan dispensasi sehingga para WNA tidak perlu khawatoir harus membayar denda karena _overstayed_, dengan kata lain akan diputihkan,” tambah Andy.
Kemenlu memiliki mekanisme pembuatan database bagi orang asing yang masuk ke Indonesia dan keluar-masuk Indonesia pada masa COVID-19. Sekitar 192.000 WNA yang ada di Indonesia, ada 334 orang yang dinyatakan positif COVID-19 dan saat ini ada 228 orang sudah dinyatakan sembuh dan sembilan orang yang meninggal dunia karena terinfeksi COVID-19.
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Andrew Mantong menjelaskan bahwa selain di bandara, protokol kesehatan bagi para WNA di pelabuhan juga membutuhkan perhatian bukan hanya dari pemerintah namun dari semua pihak.
“Jika perjalanan melalui kapal itu kan berkaitan dengan aktivtas ekonomi yang melibatkan tenaga kerja, perusahan dan banyak pihak. Pengawasan aktivitas ini membutuhkan partisipasi dari sektor yang berbeda-beda bukan hanya pemerintah,” ujar Andrew.
Menanggapi hal tersebut, Andy menambahkan bahwa pemerintah melalui Kemenlu telah melakukan koordinasi bersama pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan aktivitas para WNA di pelabuhan.
Andy menegaskan bahwa walaupun hanya mengantar barang atau bongkar muat saja, para WNA tetap diharuskan melakukan protokol kesehatan yang sama seperti pelaksanaan di bandara.
“Walaupun hanya bongkar muat, virus ini (SARS-CoV-2) bertransmisi melalui barang, jadi kita harus menerapkan protokol yang sama. Karena kondisi yang relatif sulit dibandingkan dengan di bandara, tetap harus melakukan rapid tes dulu. Ini adalah langkah-langkah pencegahan yang harus kita lakukan,” tutupnya. (r-papiadjie)