Siapkan Anak Masuki Dunia Yang Beragam
TK dan Play Group Cerlang menanamkan konsep keberagaman di lingkungan sekolah. Materi-materi keberagaman ditanamkan dalam pengalaman sehari-hari anak-anak di sekolah. Konsep ini ditanamkan menyeluruh di dalam semua tema dan keseharian anak. Bisa dikatakan bahwa keberagaman adalah jiwa atau warna dari Cerlang.
CAROLINE VOERMANS, Pontianak
“Jika ke rumah ibadah agama orang lain, boleh apa tidak? Kalau ada anak yang membawa bekal makanan yang diharamkan oleh keyakinanmu apa yang kamu lakukan? Saat makan bersama, bisakah kamu makan makanan yang diberikan oleh orang tua anak yang berbeda keyakinan dengan kamu?”
Tiga pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan wajib yang dilontarkan pihak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) kepada calon guru yang ingin mengajar di Taman Kanak kanak (TK) Cerlang, Pontianak. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan pada orang tua saat mereka mendaftarkan anak mereka di TK yang beralamat di Jalan Johar, Pontianak ini. Hanya saja diganti anaknya sebagai subjek pada pertanyaan tersebut.
Kepala Sekolah PG (Play Group) dan TK (Taman Kanak-kanak) Cerlang, Sri Wartati mengatakan, mengenalkan dan merawat keberagaman memang sudah menjadi konsep pendidikan di TK Cerlang. Secara otomatis, pertanyaan tersebut juga menjadi hal yang mutlak disampaikan pada saat orang tua mendaftarkan anak mereka.
“Saya memberitahukan pada orang tua saat mendaftar, ini lho kami punya program ini. bersedia tidak mengikutinya. Salah satu contoh pertanyaan misalnya berkunjung ke rumah ibadah, atau mengucapkan salam atau selamat saat perayaan agama orang lain. Apakah orang tua menyanggupi seperti itu,” jelasnya.
Menurut Sri, tidak sulit memberikan pendidikan multikultural kepada anak usia dini. Yang lebih sulit adalah memberikan pemahaman tentang keberagaman tersebut kepada para orang tua atau orang dewasa lainnya. Dewasa ini, pengotakan dan eksklusivitas semakin kental terasa di lingkungan sekitar kita. Salah satu contohnya, kebanyakan orang tua lebih memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah-sekolah khusus berbasis agama. Alasannya, agar pondasi agama pada anak lebih kuat.
Di TK Cerlang, proses belajar mengajar terjadi lebih bebas dan tidak mengacu pada agama tertentu atau agama mayoritas. Metode pembelajaran terhadap keberagaman pun sederhana. Tidak tetap, selalu berbeda setap harinya. Cenderung sama dengan sekolah umum lainnya, yaitu melalui bermain dan pengalaman sehari-hari. Yang membedakan, hanya jumlah pengalaman yang disiapkan terkait keberagaman tersebut, lebih banyak dari sekolah lain. Kemudian pendidikan tersebut dipastikan terpantau dan diteruskan oleh orang tua saat anak di rumah.
“Sebenarnya sama saja dengan metode atau prinsip pengajaran PAUD lainnya yaitu lewat bermain dan pengalaman. Yang membedakan mungkin jumlah eksposure yang kami siapkan untuk anak. Kontak anak terhadap keberagaman tersebut. Misalnya kontak anak dengan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda, suku dan agama yang berbeda. Termasuk kondisi fisik yang berbeda. Jadi pengalamannya lebih banyak dibandingkan dengan sekolah umum lainnya. Kalau disini mereka mendapatkan itu. Berteman dengan anak-anak seperti itu. Mereka mengalami semua, yang mungkin tidak dialami oleh sekolah umum lainnya,” jelas lulusan program S2 Universitas Indonesia ini.
Konsep keberagaman yang diusung pun sebenarnya lebih luas. Tidak hanya terfokus pada SARA (Suku Agama Ras) saja. Namun juga pada perbedaan fisik, status sosial ekonomi dan kondisi lainnya pada sesamadan lingkungan anak.
“Anak-anak diusia ini sebenarnya belum bisa menbedakan. Agama apa, bapak saya orang apa, itu dia belum membedakan. Yang lebih terlihat itu, kalau dengan kondisi fisik yang berbeda. Misalnya temannya ada yang buta, tuli, ada yang tidak bisa focus. Karna itu lebih nyata terlihat oleh mereka. Sedangkan yang agama, suku, ekonomi, sosial. Itu mereka belum tahu. Nah hal ini yang kita tanamkan dulu sebelum mereka mengetahui perbedaan itu,” ujarnya.
Secara teori, tambah Sri, kurang efektif mendoktrin keberagaman kepada anak. Anak lebih menerima hal-hal nyata di depan mata yang terjadi di sekitarnya. Maka lebih efektif jika menanamkan nilai keragaman saat mereka belajar sesuatu atau mengamati lingkungan sekitarnya. Lewat keingintahuan dan pertanyaan-pertanyaan polos dari anak juga sarana yang efektif untuk mengenalkan perbedaan dan keragaman yang ada.
Menurutnya, diusia inilah saat yang tepat mengenalkan dan memberikan pemahaman yang baik terhadap sesuatu atau seseorang yang berbeda. Diusia ini anak belum bisa membeda-bedakan dan reaksi atas perbedaan juga masih bersifat spontan dan ingin tahu. Disini pula pembentukan karakter dimulai. Peran kolaborasi antara orang tua, lingkungan sekitar dan guru untuk mengarahkan anak menjadi karakter yang seperti apa. Kemudian, program pembiasaan membuat karakter itu semakin kokoh.
“Penting menanamkan keberagaman pada usia dini, karna mereka belum bisa membedakan. Tapi pembiasaan mereka hidup di dunia yang beragam, dan hal-hal yang dibutuhkan oleh anak menjadi bagian dari karakter yang harus ditumbuhkan. Mereka ini kan pada usia yang lebih focus pada pembentukan karakter. Jadi untuk mengembangkan karakater yang baik, harus dimulai dari dini,” jelas Sri yang pernah menjadi dosen di Universitas Atma Jaya Jakarta dan Widya Dharma Pontianak ini.
Meski belum dapat memberikan kesimpulan, namun dampak dari pendidikan keberagaman sejak dini terbukti mampu mendidik empati anak lebih baik dan lebih atentif terhadap lingkungan dan sesamanya. Ia yakin pembentukan karakter untuk lebih menghargai dan toleransi terhadap perbedaan pada anak, diberikan sebagai persiapan mereka untuk masuk ke dunia yang lebih beragam. Standar keberhasilan metode pembelajaran ini pun, hanya dapat dilihat saat anak beranjak dewasa dan diukur dari keterbukaan dan penerimaan mereka terhadap perbedaan.
Tingkat empati pada anak, lanjut Sri, juga berbeda. Pada anak yang diberikan pemahaman tentang perbedaan dan keragaman, mereka lebih terbuka dan tingkat penerimaannya pun cepat dibanding anak yang tidak diberikan pemahaman sejak dini. Lebih perhatian, tidak takut dan cenderung berbaur lebih cepat dengan anak sebaya di lingkungannya.
“Hal ini rata-rata selalu disampaikan oleh orang-orang yang sudah pernah datang dan melihat anak-anak disini. Seperti guru music dan guru Mandarin yang datang beberapa kali untuk mengajar. Mereka juga mengatakan berbeda dengan dengan anak-anak di sekolah lain,” ucapnya.
Sri berasumsi, tidak ada hal yang spesifik ataupun otentik terkait metode pembelajaran keberagaman disini. Biasanya pembelajaran keberagaman ini, ia hanya menerapkan pola pembiasaan pada anak-anak. Materinya bisa dari mana saja, tidak tergantung pada satu tema. Tergantung pada situasi, pengalaman yang dialami serta kondisi tertentu.
“Metode pembelajaran anak usia dini ini kan ada dua, yaitu pengajaran dan pembiasaan. Kalau kami program keberagaman itu, termasuk dalam pembiasaan. Kalau seperti calistung, itu pengajaran. Tidak ada metode khusus. Termasuk materi-materi keberagaman itu, kita cemplungkan dari mana aja. Kita lihatkan mereka, ini lho ini teman kita juga tapi mereka berbeda dengan kita. Bagaimana reaksi kita terhadap teman yang berbeda ini. Jadi mereka diajak untuk tidak apa-apa, bahwa berbeda itu tidak masalah,” jelasnya.
Penerapan keberagaman lewat pola pengalaman kemudian pembiasaan ini, diharapkan dapat dibawa hingga anak dewasa dan memasuki dunia yang plural. Karena ketika anak sudah masuk tingkat sekolah dasar dan seterusnya, merupakan masa yang kritikal untuk terpengaruh dengan lingkungan yang beragam. Pengalaman dimasa kecil ini, kelak bisa diingat dan dibawa sampai mereka dewasa.
“Termasuk saat mereka berkunjung ke rumah ibadah, mereka melihat, mungkin di sekolah lain hanya gambar atau maket saja. Kalau kita langsung ke situ. Jadi kita berharap suatu hari mereka bisa bercerita disana ada apa saja. Tidak ada hal yang menakutkan, tidak ada hal yang mengancam,” jelasnya lagi.
Selain itu, ada program home visit yang dilakukan setiap bulan. Program ini juga memberi anak kesempatan untuk melihat, mengalami dan belajar ttg perbedaan. Program home visit itu program utk saling mengunjungi rumah teman dan mengeksplorasi lingkungan rumah. Ini salah satu program yg menyediakan eksposure pembelajaran multikultural untuk anak.
Selama empat tahun di usia PAUD sebenarnya tidak akan cukup sampai anak mapan atau tidak terpengaruh lagi oleh lingkungan. Penting pula peran orang tua untuk melanjutkan apa yang sudah ditanamkan mereka sejak kecil.
“ Pada usia 6 tahun mereka sudah mulai membedakan, sudah mulai mengelompok, sudah membedakan laki-laki dan perempuan. Semakin besar, pengotakan akan semakin banyak. Maka dari itu dasarnya harus kuat dulu. Jadi kalau tidak mulai dari awal, susah juga. Jika orang tua meneruskan dengan pola asuh yang kita kembangkan, biasanya aman. Meskipun tidak TK lagi. Kami juga masih memantau lulusan kami di SD seperti apa,” ujarnya.
Sedangkan pada gurunya, penyeleksian guru untuk mengajar di TK ini juga tidak gampang. Dari awal, calon guru sudah diberikan pemahaman tentang keberagaman. Dan sebelumnya, harus lolos dari tiga pertanyaan mutlak yang disebut di atas. Jika pertanyaan sudah dijawab dan disanggupi, materi-materi keberagaman akan lebih gampang dikomunikasikan. Saat ini, TK Cerlang memiliki 2 guru dengan agama yang berbeda.
“Jadi disini, guru yang di doktrin tentang keberagaman. Jadi kalau gurunya juga tidak kuat di konsep keberagaman, susah juga. Jiwa nya juga harus ada keberagaman,” jelas Sri.
Guru selalu menyisipkan ide tentang keberagaman tersebut dalam setiap tema atau pembicaraan di kelas. Misalnya, ketika berbicara tentang rumah, anak Cerlang tidak hanya membahas bagian-bagian rumah serta fungsinya, tetapi juga membuat perbandingan tentang ragam rumah yang ada di indonesia dan dunia. Mereka melihat rumah teman di papua yang berada di atas pohon, atau rumah panjang Dayak yg muat puluhan orang org, atau igloo, juga rumah yang terbuat dari balok salju.
Yuninda (38), salah seorang guru di TK Cerlang mengaku sampai sekarang masih membiasakan diri dengan pola pembelajaran di sekolah ini. Setiap hari selalu ada hal yang baru yang didapat dan dipelajarinya dari belajar dan interaksi dengan anak-anak ini. Karena memiliki siswa-siswi yang beragam, mau tidak mau ia juga turut belajar.
Menurutnya, TK ini sangat berbeda dengan sekolah lain yang pernah ia tahu. Bebas, tidak terjadwal dan unik. Namun tetap memiliki peraturan yang harus dipatuhi. Anak-anak pun senang dengan metode belajar saat ini. Terbukti, sangat jarang anak-anak tidak masuk sekolah kecuali berhalangan karena keluarga ataupun karena sakit. Pertanyaan yang wajib dijawabnya saat masuk sekolah ini terkait keberagaman, sudah ia lewati. Ia menyanggupi dan merasa tertarik karena merasa memiliki visi yang sama dalam hal mengajarkan keberagaman sejak dini.
“Pertama saya bingung. Sekolah ini beda. Tidak teratur, kalau sekolah lain terjadwal. Sampai saat ini masih pembiasaan karna banyak hal-hal yang baru yang saya dapat. Saat masuk sempat ditanya, ada non muslim bawa makanan haram itu gimana responnya. Bagi saya, tidak masalah yang penting tidak dipegang atau dimakan,” ucap wanita berhijab ini.
Keluarganya juga mendukung dengan pilihannya mengajar disini. Kemajemukan sudah ia dapat sejak ia kecil karna dirumah, orang tuanya memiliki anak angkat yang beda agama dan suku.
“Kami 4 beradik. Saudara angkat ada 3 yang beda agama dan suku dengan kami,” ujar wanita satu anak ini.
Nilai kemajemukan itu juga yang ingin ia berikan pada anak didiknya. TK Cerlang mewujudkan keinginannya untuk berbagi nilai toleransi dengan anak-anak ini.
“Disini, nilai toleransi diajarkan setiap waktu. Misalnya puasa, biasanya sekolah umum pulang awal, kalau disini tetap seperti biasa. Kedua, kalo di sekolah umum, puasa tidak boleh jual makanan atau bawa makanan, tapi disini yang tidak puasa ya silahkan saja. Saat waktu makan pun, diperbolehkan untuk makan. Sama halnya dengan anak berkebutuhan khusus disini. Kita tidak ada membedakan. Ada satu anak yang buta disini, dan selalu dibantu sama teman-temannya yang lain. Mereka tidak takut untuk bermain bersama,” cerita Ninda.
Begitu pula yang dituturkan oleh Meirina (24), guru lainnya di TK Cerlang. Keinginannya untuk anak-anak di TK ini merasakan pertemanan masa kecil tanpa perbedaan yang dialaminya saat kecil, membuat iia tertarik bekerja disini. Dari kecil, berbaur dengan teman yang berbeda agama dan suku serta latar belakang sosialnya, membuat karakter keberagaman terbentuk dengan sendirinya. Nilai toleransi pun ikut dirasakan ketika keberagaman sudah diterima dengan baik.
“Saya baru tahu, malah saat wawancara kalau sekolah ini lebih mengutamakan keberagaman. Dari kecil saya sudah berbaur dengan teman-teman yang beda-beda. Jadi saya mendapatkan wawasan lagi disini tentang keberagaman. Apa yang sudah didapat dari sekolah harus diteruskan dirumah,” katanya.
Ia berharap nilai toleransi yang sudah terjaga dari dulu, tetap ada dan selalu tertanam di masyarakat Indonesia khususnya di Kalbar yang berneka ragam suku dan agama. Kemajemukan dalam keluarga dan dalam masyarakat justru dinilainya memberikan warna dan keunikan tersendiri. Meski berbeda tetap satu juga seperti semboyan bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.
Peran Orang Tua
Maisya, Nathan, Ai, Ali, Rora dan Rizia terlihat riang bermain didampingi dua guru dan seorang laoshi (panggilan guru Mandarin). Mereka berbaris memanjang kebelakang sambil berpegangan pada pundak temannya seolah-olah ular naga yang panjang. Diantara mereka ada anak berkebutuhan khusus yang tidak tampak berbeda dengan lainnya. Semua bermain dengan senang sembari mengikuti instruksi guru mereka.
Menurut Maya, ibu dari Maisya, sejak anaknya bersekolah ditempat ini, Maisya lebih peka terhadap orang dan lingkungannya. Ia justru tertarik mendaftarkan Maisya ke tempat ini karena nilai keberagaman yang diajarkan. Dari keberagaman tersebut, Maisya menjadi lebih berempati, lebih menghargai, bertoleransi dan juga lebih mandiri.
“Bukan kebergaman dari suku dan agama saja ya, juga dengan anak yang berkebutuhan khusus. Jadi mengajarkan empati pada anak dan juga mengajarkan kemandirian. Disini pun belajar seusai dengan ketertarikan anak-anak,” jelasnya.
Untuk pendidikan agamanya, Maisya lebih banyak mendapatkan pelajaran agama Islam di rumah. Di sekolah, Maisya tetap diajarkan berdoa saat datang, pulang dan saat sebelum makan. Namun untuk belajar ngaji atau hafalan Qur’an, anaknya lebih banyak belajar di rumah dan di masjid.
“Jadi memang untuk agama, saya dan suami yang bertanggung jawab. Saya juga melihat perkembangan anak saya tentang ajaran agama, tidak jauh beda dengan anak di sekolah khusus kok. Disini tetap diberikan ajaran tentang arti Ketuhanan. Kalau di rumah abis sholat magrib ngaji bersama di masjid. Juga doa sebelum tidur. Kalau saya lihat dengan sekolah Islam kurang lebih sama aja sih, perkembangan Maisya tentang agama,” ceritanya.
Masih menurut Maya, tidak hanya orang tua, peran anggota keluarga lainnya juga memegang peranan penting untuk membentuk karakter keberagaman pada seorang anak. Awalnya ia mendapat pertentangan dari bapak dan ibunya yang keberatan cucunya bersekolah disekolah ini.
“Kenapa tidak dimasukkan ke sekolah yang Muslim aja. Tapi saya jelaskan, saya kasik lihat saat acara-acara, saya ajak kesini. Saya ngebuka pikiran orang tua saya juga. Kemudin aki-nya lihat Maisya udah pandai ngaji , udah hafalan doa, jadi sejauh ini akhirnya mereka menerima,” tambahnya lagi.
Menanamkan keberagaman ke anak, selain harus sevisi dulu dengan suami, harus pula sepaham dengan lingkungan keluarga yang setiap hari ditemui oleh anak. Karna banyak hal yang akan ditemui oleh anak saat diluar rumah, belum lagi terpaan nada miring dari keluarga lain yang tidak sepahaman dengan pola asuhnya. Pengelompokan yang banyak terjadi saat ini, membuatnya tak ingin Maisya menjadi anak yang membeda-bedakan orang lain atau hanya ingin berteman dengan orang tertentu saja. Keinginannya, Maisya dapat terbuka dan berbaur dengan siapa saja tanpa memandang suku, agama, status sosial ataupun kekurangan orang lain.
“Karna sempat meisia dulu hanya mau berteman dengan teman cewek aja. Sekarang udah lebih terbuka dengan semua. Sudah banyak perubahan yang baik. Kelakuan lebih baik, lebih empati dan lebih sopan. Saya ingin Maisya merassa seperti saya dulu, berteman dengan siapa saja tanpa pandang agama dan suku. Kalau sekolah lain belum tentu seperti ini, karna mungkin semua anak sama dan normal,” ungkapnya.
Psikolog Klinis di Rumah Sakit Kota Pontianak Maria Nofaola, sangat setuju dengan pentingnya peran orang tua terhadap pembentukan karakter keberagaman pada anak. Hal yang paling sederhana yang dapat ditiru oleh anak ialah orang tua berteman dengan beragam suku, agama dan beda warna kulit. Pertemanan orang tua akan dilihat, diperhatikan dan ditiru oleh anak.
“Mengajarkan pluralisme ke anak, tentu dengan menunjukkan langsung ke anak. Itu sudah menjadi bentuk pembelajaran. Orang tua tidak perlu ngomong ini itu. Kelak kketika mereka melihat anak lain yang beda kulit, dia nyaman saja,” jelasnya.
Keberagaman itu bisa orang tua ajarkan sebagai sesuatu yang indah, asyik dan seru. Dengan keberagaman, anak juga mengenal berbagai bahasa dan budaya.
“Bisa merasakan banyak hari raya, wawasan kita jadi luas, dan kita pun bisa hidup nyaman tanpa dibatasi rasa cemas,” tambahnya.
Namun ia berpendapat, alangkah baiknya jika pandangan yang dimiliki suami istri itu sama dulu sehingga tidak terjadi konflik saat mengajarkan pluralism itu kepada anak. Keberagaman pun lebih mudah diajarkan ketika antara ayah dan ibu sepaham. Termasuk dengan anggota keluarga dalam satu rumah yang ditinggali sang anak.
“Kalau ayah yang tidak plural atau sebaliknya, pasti jadi agak diam-diaman ya. Kalau sudah sepandangan, kelak anak bisa menyerap nilai itu dari ayah atau ibunya. Tergantung mana yang lebih dekat dan mampu diserap anak,” jelasnya.
Persepsi yang sama juga oleh Andy Yentriyani dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang mengatakan pengalaman-pengalaman anak di usia dini lebih membekas dan keterlibatan kedua orang tua memiliki nilai yang sama untuk menanamkan keberagaman pada anak.
Didalam kelompok masyarakat yang patriarkis dimana ayah lebih menunjukkan ketokohannya dalam keluarga, kata-kata ayah mungkin lebih didengar oleh sang anak. Padahal ada sosok ibu yang lebih dekat dengan anak, yang setiap saat selalu ada dan mendampingi anak disegala situasi. Ternyata tidak menjamin perkataan ibu atau peran ibu lebih besar dalam membentuk karakter anak. Sehingga ia menilai peran keduanya seimbang meskipun salah satu lebih dominan dalam kehidupan anak.
“Ini proses belajar bersama. Dalam kelompok masyarakat patriarkis, apa yang disampaikan ayah itu lebih mendalam dari ibunya. Contohnya kesan ibu itu cerewet dibanding ayah yang sekali ngomong langsung dijalankan oleh anak. Jadi kalau relasi antara ibu bapaknya tidak seimbang dimana ada salah satu yang lebih dominan dan memberikan perkataan yang beda, anak jadi bingung dan bisa jadi lebih menuruti yang lebih dominan,” ujarnya.
Disamping itu, porsi orang lain seperti guru juga ikut berpengaruh sehingga cara pengajaran harus mirip antara sekolah dan rumah supaya program ini berhasil.
Di TK Cerlang, selain tenaga pendidik, orang tua juga diajak terlibat dalam menerapkan pendidikan keberagaman pada anaknya. Kepala Sekolah TK Cerlang, Sri Wartati menyatakan, ada program yang khusus dibuat untuk orang tua, yaitu makan bersama anak dan orang tua murid lainnya. Disamping berbagi informasi tentang perkembangan anak, disini orang tua juga diajak untuk membangun kepercayaan pada orang yang berbeda.
Saat perayaan makan bersama ini, para orang tua datang dengan membawa makanan khas masing-masing dan kemudian makan bersama. Peran orang tua juga dilibatkan saat ada perayaan keagamaan. Mereka diajak untuk berkunjung ke rumah orang tua yang merayakan hari raya.
“Jadi saat makan bersama, orang tua datang dengan membawa makanan khas masing-masing dan kemudian kita makan bersama. Jadi kita harus percaya bahwa makanan yang disajikan oleh sesama orang tua itu makanan yang halal bagi kita. Percaya bahwa mereka tidak akan mengkhianati kita dengan memberikan makanan yang haram. Jadi building trust yang tinggi itu pada saat kita ngumpul makan bersama,” kata Sri.
Hal itu ditanggapi positif oleh orang tua. Pada dasarnya karna mereka sudah terseleksi dari awalnya saat pendaftaran, cenderung mereka menerima program tersebut.
“Untuk makanan, saya tidak pernah berpikir negative. Karna saya pikir tidak mungkin orangtua membekalkan makanan yang tidak halal untuk anaknya,” tambah Ibu Maisya.
Terancam Tutup
TK Cerlang merupakan sekolah pendidikan usia dini pertama dan satu-satunya di Pontianak yang mengusung konsep keberagaman. Namun sekolah ini terancam ditutup lantaran sulitnya mendapatkan siswa yang orang tuanya mau menyekolahkan anaknya dengan konsep seperti ini. Kebanyakan orang tua lalu menolak dan tidak jadi mendaftarkan anak mereka setelah diberikan penjelasan konsep belajar di tempat ini. Bahkan ada orang tua yang meminta dispensasi pengecualian agar sang anak tidak mengikuti konsep tersebut, tetapi tetap bersekolah disini.
“Ada yang minta dispendsasi padahal sudah bayar. Dan kami akhirnya terlalu sulit memberikan dispensasi itu, akhirnya kami tolak. Dispensasi itu misalnya mereka minta anaknya jangan dikelompokkan dengan anak laki-laki atau anaknya tidak boleh nyalamin temannya yang sedang berulang tahun,” ceritanya.
Sri Wartati mengaku kesulitan menjangkau siswa dalam jumlah besar dengan konsep ini. Padahal target murid setiap tahunnya hanya 6 orang saja. Tahun ini ia malah menargetkan 12 anak karena penambahan satu orang guru. Namun ternyata berbanding terbalik dari target, tahun ini bahkan pihaknya tidak menerima siswa baru lantaran banyak orang tua yang mundur teratur ketika mengetahui konsep keberagaman ini.
“Tahun ini malah kita tidak ada penerimaan. Dari yang mendaftar, semuanya mengundurkan diri. Kalau bukan kami yang menolak, mereka yang mengundurkan diri. Jadi tahun ini sama sekali tidak ada siswa baru,” cetusnya.
Sambil bernostalgia ia bercerita, TK Cerlang dari awal sampai berdiri didukung dan dikerjakan secara keroyokan oleh beberapa teman dari beragam latar belakang di nusantara, yang punya kepedulian yang sama dengan Cerlang. Mereka mendukung dan berharap tumbuhnya sekolah yang mengutamakan pendidikan keberagaman, di samping pendidikan yang ramah anak.
Saat itu tujuh tahun yang lalu, masih banyak konflik terjadi. Kemudian ada salah satu diantara teman-temannya yang mempelajari tentang titik-titik potensi konflik di Indonesia. Kalimantan Barat termasuk wilayah yang paling potensial. Diikuti pula dengan pengeksklusivan golongan atau kelompok yang semakin marak.
“Yah kita melihat juga, semua suku pernah berkonflik disini. Sementara saat ini kita sedang pada taraf ekonomi terbuka. Tidak bisa hidup eksklusive. Justru saat inilah, bagaimana kita menempatkan diri dalam konteks kebergaman itu. Jadi itu menjadi kebutuhan saat ini,” ujarnya.
Atas nama Indonesia yang beragam, akhirnya tercetus ide dan keinginan untuk membangun sebuah sekolah berbasis keberagaman. Ada yang sumbang buku perpustakaan, logo dan membuatkan website. Ada juga yang menjadi teman diskusi atau bantu promosi. Semua teman-temannya membantu sesuai keahlian dan kesanggupan masing-masing.
“Selain itu, mungkin juga karna saya banyak membaca dan menterjemahkan artikel kasus kekerasan di Indonesia. Kemudian juga kontak dengan orang asing yang konsen tentang kebergaman dan budaya Indonesia. Justru karna banyak berhubungan dan bertukar pikiran dengan orang asing, sehingga saya juga melihat Indonesia dari perspektif yang berbeda. Mungkin itu juga yang melatarbelakangi saya mendirikan sekolah ini,” selorohnya.
Kekhawatirannya akan masa depan generasi muda menyikapi keberagaman kedepannya, memantabkan keinginannya mendirikan sekolah. Taman Kanak kanak menurutnya tahap yang paling bagus untuk menanamkan pola pikir keberagaman sebagai modal persiapan anak menyongsong dunia yang penuh dengan perbedaan.
Cerlang menyadari pentingnya pendidikan multikultural karena ini yang menjadi kebutuhan dan tantangan yang akan dihadapi anak-anak ini ketika masuk dunia kerja. Jadi dengan pendidikan multikultural yang mereka terima sejak dini, diharapkan mampu memberikan andil pada karakter yang bisa menempatkan diri dan berdaya saing dalam lingkungan yang beragam. Berdaya saing sekaligus mampu membangun kerja sama dengan orang dengan beragam latar belakang.
“ Apalagi anak anak TK saat ini, 15 sampai 20 tahun lagi mereka sudah masuk dunia kerja yang lebih terbuka dan beragam lagi. Gimana dia menempatkan dirinya dalam persepsi orang yang berbeda-beda. Yang harus menerima yang tidak sama dengan dirinya. Jadi ini suatu kebutuhan juga sebenarnya namun tidak disadari oleh masyarakat kita bahwa belajar perbedaan perlu untuk penyesuaian diri kita dan juga untuk masa depan anak-anak kita nanti,” ujarnya.
Dengan kondisi Cerlang saat ini, ia tidak patah hati, apalagi patah semangat. Saat ini ia sedang menyiapkan strategi baru agar sekolah ini tetap berdiri dan dapat diterima oleh orang tua yang memiliki keinginan bersama untuk membangun generasi yang majemuk. Tanpa memandang perbedaan dan hidup bersama secara berdampingan. (*)