*80 Persen Karhutla di Area Konsesi
PONTIANAK – Penindakan terhadap pelaku kejahatan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Barat dirasa pincang. Sejarah karhutla dan proses penegakan hukum atas sejumlah kasus menunjukkan kasus yang melibatkan perorangan menempati angka yang tinggi. Sementara, penegakan hukum atas korporasi yang dinilai terlibat kasus kebakaran hutan dan lahan masih terkesan jalan di tempat. Hal ini juga berakibat pada minimnya perhatian korporasi dalam upaya penanganan karhutla di area konsesinya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat mencatat, dari empat kasus korporasi yang ditangani pihak kepolisian sejak tahun 2015 lalu hingga kini masih terkesan jalan ditempat. Bahkan satu kasus di antaranya telah dihentikan proses hukumnya (SP3).
Anton P Widjaya, Direktur Walhi Kalbar, mengatakan kondisi ini terjadi akibat dari ketidakmamapuan dalam melakukan kontrol terhadap regulasi serta tidak tegasnya penindakan terhadap pelaku kejahatan karhutla, sehingga akhirnya masyarakat yang justru disalahkan.
“Ini karena ketidakmamapuan dalam melakukan kontrol terhadap regulasi serta menindak pelaku kejahatan lingkungan, sehingga masyarakat adat yang dijadikan kambing hitam sebagai penyebab (karhutla),” tegasnya.
Jika menilik beberapa riset, kata dia, jelas karhutla terjadi di area konsesi perusahaan-perusaahan perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI), hingga pertambangan. Riset yang dilakukan oleh pihaknya di tahun 2015 juga menunjukkan hal dmeikian. 80 persen karhutla yang terjadi justru karena ulah-ulah perusahaan tersebut.
“Terlalu banyak riset yang menjelaskan siapa penyebab kebakaran ini. Di tahun 2015 misalnya kami melakukan investigasi serius terkait kebakaran hutan, kita ada data dari satelit noah, serta Lapan yang bisa diakses. Lantas kita petakan dimana saja titik api berada. Ternyata 80 persen berada dalam lahan konsesi mulai dari perkebunan, HTI, maupun pertambangan,” paparnya.
Walhi Kalbar mencatat pada September 2015 ada 42183 hektar lahan yang terbakar. 24 ribu hektar diantaranya kebakaran di area konsesi 40 perusahaan kelapa sawit. Sisanya tiga perusahaan HTI sebanyak 1,7 ribu hektar, serta 15 ribu hektar meruapkan lahan milik masyarakat.
“Waktu itu, kami minta kebakaran yang ada di konsesi untuk ditindak lanjuti. Mau kondisinya terbakar maupun sengaja dibakar, UU telah menjelaskan pertanggung jawaban pidana terhadap korporasi,” tegasnya.
Anton melanjutkan, ketika izin diberikan, perusahaan harus tanggung jawab dengan konsesinya. Termasuklah dalam upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla di area konsesi korporasi. Namun kenyataanya dilapangan, tidak demikian. Menurut catatan Walhi, dari 411 entitas perusaahaan hanya ada 12 peruahaan yang punya program, sarana dan prasarana, serta petugas khusus dalam upaya penanggulangan karhutla. Sementara sisanya, terlihat tidak serius.
“Ada yang punya, program tapi tidak punya sarana serta petugas, ada yang punya petugas, tapi tidak punya program dan sarana, dan lain sebagainya Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh perusahaan dalam mencegah karhutla di area konsesinya masih sangat minim,” pungkasnya.