INIBORNEO.COM, Pontianak – Aroma jahe dan pandan memenuhi dapur rumah Valentina sore itu. Air gula di panci mendidih perlahan, sementara bola-bola ketan berwarna merah muda, hijau, ungu, dan putih mengapung satu per satu ke permukaan. Hari itu, Valentina sedang memasak tangyuan atau dikenal dengan sebutan onde-onde/ronde oleh masyarakat Indonesia.
“Warna-warni melambangkan berbagai perjalanan hidup suka, duka, harapan, dan tantangan semuanya menyatu dalam satu mangkuk,” jelas Valen.
Bagi perempuan yang juga akrab disapa Ahuan ini, momen membuat penganan tangyuan selalu terasa istimewa. Bukan sekadar memasak onde-onde, tetapi mengulang sebuah tradisi yang diwariskan turun-temurun yang disebut Festival Dongzhi.
Di Indonesia, terutama di Pontianak, Dongzhi kerap dikenal sebagai festival onde-onde. Perayaan ini jatuh setiap akhir Desember, biasanya pada tanggal 21 atau 22, bertepatan dengan titik balik matahari musim dingin di belahan bumi utara. Meski Indonesia tak mengenal musim dingin, tradisi ini tetap hidup di tengah masyarakat Tionghoa, menjadi penanda waktu, keluarga, dan identitas budaya.
“Kalau di Tiongkok, Dongzhi dirayakan saat cuaca dingin. Warna cerah memberi rasa hangat secara visual dan menguatkan suasana keluarga,” jelasnya.
Tahun Baru Kecil
Menurut Limawati Liwakupera, tenaga pengajar asal Tiongkok yang mengajar di Universitas Widya Dharma, Dongzhi adalah salah satu hari raya tertua dalam tradisi Tionghoa, telah dirayakan lebih dari 1.800 tahun, sejak masa Dinasti Han.
“Banyak orang Indonesia mengira ini perayaan Hari Ibu karena tanggalnya berdekatan dan simbolnya onde-onde. Padahal, Dongzhi adalah hari raya tradisional Tionghoa yang sangat penting. Ini adalah hari raya terakhir sebelum Imlek,” jelas Limawati yang juga dikenal dengan panggilan Lili.
Secara historis, Dongzhi berakar dari pengetahuan astronomi dan agraris. Posisi matahari yang berada paling jauh di lintang selatan menandai pergantian musim dari gugur ke dingin, satu fase penting bagi masyarakat agraris Tiongkok kuno dalam menentukan waktu tanam.
“Mereka harus tahu kapan waktu yang tepat menanam. Kalau terlalu cepat, bibit bisa mati. Karena lerhitungannya ilmiah, berdasarkan posisi matahari. Sehingga tanggalnya bisa bergeser antara 21 atau 22 Desember,” jelas Lili.
Dalam kalender Tionghoa, Dongzhi bahkan disebut sebagai ‘tahun baru kecil’. Setelah hari ini, suasana dianggap sudah memasuki persiapan Tahun Baru Imlek. Tak heran jika Dongzhi disebut sebagai hari raya terakhir sebelum pesta besar dimulai.
Migrasi Budaya
Tradisi Dongzhi di Pontianak tak bisa dilepaskan dari sejarah migrasi. Lili menjelaskan, masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara mayoritas berasal dari Cina Selatan, terutama kelompok Hokkien dan Hakka. Inilah yang menjelaskan mengapa di Pontianak dan wilayah Indonesia lainnya, Dongzhi identik dengan tangyuan atau onde-onde ketan, bukan pangsit seperti di Cina Utara.
“Di Tiongkok, perayaan Dongzhi berbeda-beda tergantung wilayah. Di Cina Utara, masyarakat merayakannya dengan menyantap pangsit rebus. Sementara di Cina Selatan, makanan khasnya adalah tangyuan, yaitu bola-bola ketan bulat yang disajikan dengan kuah manis. Mayoritas orang Tionghoa di Indonesia berasal dari Cina Selatan. Hokkien, Hakka, Tio Ciu. Jadi yang terbawa ke sini adalah tradisi makan onde-onde,” jelasnya.
Pontianak, sebagai kota pelabuhan dan tujuan migrasi sejak ratusan tahun lalu, menjadi ruang pertemuan tradisi tersebut. Di sini, tangyuan lebih akrab disebut onde-onde, dibuat dari ketan, diwarnai cerah, dan disajikan dengan kuah jahe hangat.
“Onde-onde yang bulat menjadi simbol utama. Bulat menandakan keutuhan, persatuan, dan keharmonisan. Filosofi ini yang kemudian mengakar kuat dalam kehidupan keluarga Tionghoa di perantauan,” ujarnya.
Meski hidup di tanah tropis, masyarakat Tionghoa Pontianak tetap menjaga ritual musim dingin ini. Bukan karena dinginnya udara, tetapi karena hangatnya makna.
Simbol Panjang Umur
Menurut Ketua Kaum Muda Tionghoa Pontianak, Steven Greatness, Dongzhi bukan sekadar tradisi makan onde-onde bersama, melainkan sarat makna simbolik dan spiritual.
“Dongzhi adalah momen berkumpul keluarga. Tangyuan yang bulat melambangkan persatuan. Bahkan disebut juga tuanyuan, artinya reuni keluarga,” jelas Steven.
Dalam tradisi lama, sebelum direbus, onde-onde diputar searah jarum jam sambil mengucap doa dan harapan agar keluarga tetap rukun dan berkumpul setiap tahun. Ada pula pepatah Tionghoa yang menyebutkan bahwa seseorang dianggap bertambah satu tahun usia setelah makan tangyuan, sebuah simbol doa untuk umur panjang.
Steven menambahkan, Dongzhi juga dipercaya sebagai penanda alam. Sebagian masyarakat meyakini, cuaca saat Dongzhi menjadi pertanda cuaca saat Imlek kelak. Meski kepercayaan ini tak lagi dipegang semua generasi, ritualnya tetap dijaga sebagai warisan budaya.
Di tengah modernisasi dan gaya hidup yang semakin beekembang, Dongzhi di Pontianak umumnya dirayakan secara sederhana di rumah, bersama keluarga inti.
Steven melihat tantangan terbesar ada pada generasi muda. “Kadang mereka ikut makan, tapi belum tentu tahu maknanya,” ujarnya.
Namun ia juga melihat harapan, ketika tradisi dikemas dengan cerita, generasi muda mulai kembali tertarik.
Ulang Tahun Keluarga
Bagi Valentina, makna Dongzhi terasa paling nyata saat melihat onde-onde warna-warni di satu mangkuk. “Warna cerah memberi rasa hangat secara visual. Setiap warna melambangkan perjalanan hidup, suka, duka, harapan, dan tantangan,” tuturnya.
Onde-onde buatannya sederhana: ketan yang diuleni, diberi pewarna, dibulatkan, lalu direbus dalam kuah jahe, pandan, dan gula. Namun maknanya dalam.
“Walau warnanya berbeda, semua dimakan bersama. Seperti keluarga, beda sifat, beda jalan hidup, tapi tetap satu,” ujarnya.
Dalam budaya Tio Ciu, Dongzhi bahkan dianggap lebih penting daripada ulang tahun pribadi. “Setelah Dongzhi, orang dianggap ‘tambah besar’,” kata Valentina mengutip ajaran orang tuanya yang mengatakan ‘Dongzhi bukan ulang tahun individu, melainkan ulang tahun keluarga’.











