INIBORNEO.COM, Pontianak – Janji pekerjaan layak dengan gaji tinggi dan fasilitas memadai yang ditawarkan kepada buruh migran ternyata kerap berujung pada praktik kerja paksa. Temuan ini mengemuka dari hasil advokasi Yayasan Integritas Justisia Madani Indonesia (IJMI) dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Barat, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit.
“Banyak dari mereka bekerja tanpa kontrak, menerima upah di bawah Upah Minimum Provinsi, serta tidak mendapatkan perlindungan kerja yang layak. Bahkan pekerja perempuan di perkebunan sawit ada yang tidak menggunakan alat pelindung keselamatan kerja. Kondisi ini jelas merupakan indikator kerja paksa sebagaimana diatur dalam Konvensi ILO Nomor 29,” kata Yunety, Lead Advokasi dan External Engagement IJMI di kegiatan Workshop Peringatan Hari Migran Internasional, Kamis (18/12/2025).
Konvensi ILO Nomor 29 sendiri menegaskan bahwa kerja paksa adalah setiap pekerjaan atau jasa yang dipaksakan kepada seseorang di bawah ancaman hukuman dan dilakukan tanpa persetujuan sukarela. Konvensi yang diadopsi pada 1930 ini mewajibkan negara-negara anggota untuk menghapuskan segala bentuk kerja paksa serta memberikan sanksi pidana kepada pelakunya.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 29 melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999, sehingga ketentuannya mengikat secara hukum nasional. Dalam konteks buruh migran, praktik seperti bekerja tanpa kontrak, upah di bawah standar, pemotongan gaji untuk biaya rekrutmen, pembatasan kebebasan bergerak, hingga ketiadaan jaminan sosial dan keselamatan kerja merupakan indikator kerja paksa sebagaimana dimaksud dalam Konvensi ILO No. 29.
Yunety juga mengungkapkan bahwa banyak pekerja migran domestik, terutama yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), direkrut untuk bekerja di Kalimantan Barat dengan iming-iming kesejahteraan. Namun realitas di lapangan jauh dari yang dijanjikan.
IJMI mencatat, praktik serupa juga terjadi pada buruh migran lintas negara (cross border). Letak geografis Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia membuat arus pekerja ke Kuching dan wilayah lain relatif mudah. Banyak pekerja berangkat melalui jalur non-prosedural, direkrut oleh teman atau kerabat, tanpa informasi yang memadai mengenai hak dan perlindungan sebagai buruh migran.
“Perlindungan seharusnya tidak hanya berlaku bagi migran prosedural. Faktanya, banyak warga Indonesia bekerja secara non-prosedural dan tetap berhak atas perlindungan negara,” tegas Yunety.
Direktur Teraju Indonesia, Agus Sutomo, menilai kondisi buruh migran di Kalimantan Barat sudah masuk kategori mengkhawatirkan. Ia menyebut, mayoritas pekerja migran, baik yang bekerja ke luar negeri maupun migran domestik, terserap di sektor perkebunan sawit dengan pola eksploitasi yang serupa.
“Mereka tidak punya kontrak yang jelas, upah tidak transparan, bahkan biaya-biaya yang seharusnya ditanggung perusahaan justru dibebankan ke buruh. Ini sudah masuk indikator kerja paksa dan perbudakan modern,” ujar Agus.
Beberapa kasus temuan oleh Teraju Indonesia antara lain pola rekrutmen yang sama di beberapa kasus yakni perusahaan menawarkan gaji tinggi dan fasilitas menarik melalui media sosial. Namun, saat tiba di lokasi kerja, buruh dihadapkan pada kondisi yang jauh berbeda dari janji.
Salah satu kasus yang disorot adalah pasangan suami-istri yang dijanjikan bekerja di Pangkalan Bun, namun justru dibawa ke Semitau, Kapuas Hulu. Meski sang istri tengah hamil enam bulan, ia tetap dipaksa bekerja tanpa menerima gaji, dengan alasan upah dipotong untuk biaya perjalanan.
Temuan lainnya datang dari Sekadau pada 2023, ketika sekelompok buruh sawit mencoba kabur karena mengalami kondisi kerja yang disebut menyerupai perbudakan modern. Mereka sebelumnya dijanjikan gaji besar dan pekerjaan mudah, tetapi realitas di lapangan justru penuh tekanan dan eksploitasi.
Menurut Agus Sutomo, pelanggaran tidak berhenti pada aspek normatif ketenagakerjaan, tetapi juga berpotensi pidana. Banyak perusahaan tidak mendaftarkan buruhnya ke BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, serta mengabaikan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
“Kalau merujuk data pemerintah daerah, hanya sekitar 30 persen perusahaan di Kalbar yang mendaftarkan buruhnya ke BPJS. Ini bukan persoalan sepele, karena menyangkut hak dasar dan masa depan buruh serta keluarganya,” katanya.
Baik IJMI maupun Teraju Indonesia menilai akar persoalan migrasi dan eksploitasi buruh terletak pada minimnya lapangan kerja layak di dalam negeri. Janji penciptaan jutaan lapangan kerja tidak diiringi dengan pemenuhan hak-hak pekerja. Di Kalimantan Barat, situasi ini diperparah oleh perubahan iklim, deforestasi, konflik lahan, dan terbatasnya akses penghidupan, yang mendorong masyarakat bermigrasi demi bertahan hidup.
IJMI merekomendasikan pemerintah untuk melakukan intervensi menyeluruh, mulai dari sosialisasi bahaya kerja paksa dan perdagangan orang hingga ke tingkat desa, penyusunan kurikulum tentang kerja layak di sekolah vokasi, hingga penguatan koordinasi Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO).
“Tanpa langkah konkret dan perlindungan menyeluruh, janji kerja layak akan terus menjadi jebakan. Yang tersisa hanyalah eksploitasi dan kemiskinan struktural yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,” pungkas Agus.











