Mengenal Ai Guek Lai, Perempuan yang Mengurus Ibu Melahirkan dalam Tradisi Tionghoa

  • Share
Ilustrasi. (Dibuat dengan AI)

INIBORNEO.COM, Pontianak – Dibanyak keluarga Tionghoa peranakan, masa setelah melahirkan bukan sekadar waktu istirahat bagi seorang ibu, tetapi sebuah fase penting yang dipenuhi aturan, pantangan, dan perawatan khusus. Dibalik itu semua, ada tradisi masa nifas tradisional yang masih dijaga oleh sebagian kecil keluarga Tionghoa disebut Zuo Yue Zi (istilah yang dipakai di daratan Tiongkok) atau Co Guek Lai (istilah dalam bahasa hakka/hokkien).

Setiap keluarga punya cara sendiri menghadapi masa pasca persalinan ini. Ada yang memilih layanan modern, ada yang mengandalkan orangtua, dan ada yang tetap percaya pada sosok tradisional lewat tangan orang-orang yang mengerti betul bagaimana memulihkan tubuh ibu dan merawat bayi, tradisi yang dilalui melalui sosok Ai Guek Lai atau terjemahannya bibi perawat selama sebulan.

Tradisi melewati Co Guek Lai dengan sosok Ai Guek Lai ini, dipercaya sudah berjalan lintas generasi sejak komunitas Tionghoa pertama bermukim di Kalimantan Barat. Istilah Ai Guek Lai di Kalimantan Barat, khususnya di Pontianak, sangat beragam. Penyebutannya dalam bahasa Tio Ciu adalah teng te guek, sedangkan dalam bahasa Hakka disebut fuxi atau fuxiji, sementara di Pontianak akrab dengan panggilan “Ai” (baca: ayi) saja, artinya ‘bibi’. Namun maknanya satu: perempuan yang dipercaya merawat ibu dan bayi pasca persalinan.

“Tradisi ini sudah ada sejak zaman nenek buyut saya, bahkan sebelum itu. Tidak ada buku, tidak ada catatan, semua diwariskan turun temurun,” tutur Ma Siat Lie, Wakil Sekretaris Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) Kota Pontianak.

Menurut Ma Siat Lie, menjadi Ai Guek Lai bukan hanya urusan teknis merawat ibu dan bayi, namun ada filosofi yang melengkapinya. Filosofi dibalik tradisi ini berangkat dari penghormatan kepada ibu sebagai sumber kehidupan. Menjaga ibu adalah menjaga garis keturunan. “Melahirkan itu masa paling rentan. Kalau tidak dijaga benar, efeknya terasa sampai tua. Tulang, sendi, kesehatan badan, semua bisa terpengaruh,” ujarnya.

Ma Siat Lie menyebut profesi Ai Guek Lai sebagai “penjaga keseimbangan tubuh” dalam fase yang dianggap penuh risiko. Pantangan, makanan tanpa garam, sup ayam herbal, minyak gosok, hingga pengaturan suhu tubuh adalah bagian dari filosofi menjaga ibu agar kembali pulih dari dalam.

“Selama sebulan penuh, Ai Guek Lai memastikan makanan sang ibu mengikuti pantangan, menjaga agar tubuh kembali hangat, memperlancar ASI, dan menghindarkan sang ibu dari “masuk angin” atau kelelahan yang dipercaya bisa berdampak panjang,” jelasnya.

Secara turun-temurun, orang Tionghoa percaya bahwa tubuh ibu pasca melahirkan dalam kondisi “terbuka”, sehingga sangat mudah terserang angin, dingin, hingga gangguan kesehatan jangka panjang. Dari sinilah muncul aturan ketat selama masa pantang: tidak boleh keluar rumah, tidak boleh kena angin, tidak boleh keramas 30–40 hari, dan tidak boleh makan makanan yang sifatnya dingin. Di titik inilah, Ai Guek Lai hadir sebagai penjaga awal kehidupan.

Menariknya, mencari Ai Guek Lai tak ubahnya mencari vendor acara penting, harus cepat, harus diikat dulu, atau dalam tanda kutip harus “mengunci tanggal”. Ibu yang memasuki usia kehamilan tujuh bulan biasanya sudah mulai mencari Ai/ayi. Begitu cocok, keluarga memberi angpau sebagai tanda jadi.

“Angpau itu sebagai booking. Artinya ai tidak boleh menerima panggilan dari orang lain di tanggal yang sama,” jelas Ma Siat Li.

Harga jasa Ai Guek Lai pun beragam, bergantung pengalaman, reputasi, hingga kondisi rumah. “Kalau harus naik turun tangga, biasanya lebih mahal. Capek kan bawa makanan ke lantai atas, masak di bawah, bolak-balik,” ujarnya.

Dua dekade lalu harganya masih di bawah Rp10 juta, kini bisa mencapai Rp12–15 juta atau lebih, tergantung durasi dan lokasi tugas. Meski tergolong mahal, sebagian besar keluarga Tionghoa rela membayar karena percaya dampaknya jauh lebih berharga.

Sosok Kunci

Amoi ingat betul pengalaman pertamanya menjadi Ai Guek Lai. Tahun 2003, ia dipanggil ke Bali untuk menjaga ibu yang baru melahirkan. Keberangkatannya waktu itu sederhana saja, tanpa pelatihan khusus, tanpa seragam, tanpa kontrak resmi. Yang ia bawa hanyalah kebiasaan turun-temurun tentang bagaimana merawat ibu dan bayi, sesuatu yang ia pelajari dari para perempuan tua di kampung halamannya, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Dari Bali, panggilan mulai datang ke Jakarta, Bekasi, hingga kota-kota kecil sekitar Jabodetabek. Biasanya ia tinggal satu bulan penuh di rumah keluarga yang mempekerjakannya. “Kalau keluar kota, semua mereka yang tanggung. Tiket, makan, tempat tinggal. Kita ikut ritme keluarga,” ceritanya.

Begitu ibu melahirkan, Ai biasanya datang menjemput ke rumah sakit. Saat kaki sang ibu menginjak rumah, masa pantang pun dimulai, 30-40 hari yang sepenuhnya dikendalikan Ai.

Sebagai Ai Guek Lai, Amoi mengurus dua hal sekaligus: bayi dan ibu. Untuk ibu, Ai Guek Lai bertanggung jawab memastikan ibu benar-benar pulih. Tugasnya antara lain: menyiapkan makanan bergizi tiga kali sehari, memasak dengan bahan-bahan khusus/herbal atau menyiapkan jamu, mengatur pantangan makanan, memastikan tubuh ibu tetap hangat, memasangkan gurita atau korset diperut ibu hingga memijat dan menyiapkan air mandi.

“Menu harian ibu tidak bisa sembarangan. Harus yang hangat dan tidak boleh makanan yang sifatnya ‘dingin’. Biasanya masakan harus berkuah,” ungkapnya.

Ma Siat Lie, Wakil Sekretaris Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT) Kota Pontianak.

Ada beberapa menu wajib resep turun temurun orang Tionghoa, contohnya: ayam kampung dengan arak putih dan kachiang ma (daun herbal), ciak po (ayam dengan ginseng, angco dan gojiberi), ayam merah angkak, sayuran yang ditumis ringan tanpa penyedap rasa dan jantung pisang untuk memperbanyak ASI.

“Untuk daging ayam, kalau lahir normal, biasanya ibunya saya suruh makan ayam jantan muda. Kalau ibu melahirkan dengan operasi, makan ayam betina muda yang belum bertelur,” jelasnya.

Mandi pun ada aturannya. Tidak boleh air dingin. Minimal air panas yang dicampur jahe. Beberapa keluarga memilih rendaman rempah dan bunga selama tiga hari pertama. “Kalau bisa jangan keramas sampai 30 hari. Bahkan ada yang 40 hari,” jelasnya lagi.

Ia juga menjadi figur yang paling memahami kebutuhan bayi baru lahir, seperti: memandikan bayi menggunakan air hangat, menjaga tali pusat agar tidak basah, mengoleskan minyak telon atau minyak khusus bayi dan mengurutnya, membedong dan memakaikan gurita, menidurkan hingga menenangkan bayi ketika rewel. Termasuk menyiapkan susu jika bayi menyusu dari botol.

“Bayi yang kondisi fisiknya lemah hanya dimandikan sekali sehari. Pastikan bayi selalu hangat dan cukup menyusu sehingga tidak rewel. Bayi yang tenang, ibunya juga akan tenang,” ujarnya.

Namun tugasnya tak selalu ringan. Terkadang ada bayi yang rewel sampai subuh, ada ibu yang sulit tidur, bahkan ada yang enggan mengikuti pantang yang menurut tradisi penting untuk pemulihan.

“Kadang ibunya gak mau dengar. Gak boleh makan asin, tapi tetap mau. Ada yang gak mau dibengkung pake gurita atau korset, padahal untuk perut biar ga buncit nantinya. Ada juga yang baru seminggu lahiran sudah jalan-jalan sama suaminya,” ceritanya sambil tertawa.

Menurut Amoi, dalam budaya Tionghoa, Ai Guek Lai adalah sosok kunci dalam masa pemulihan ibu pasca melahirkan. Sosok ini bukan sekadar penjaga atau pengasuh, melainkan perawat tradisional yang memahami kebutuhan fisik dan psikologis seorang perempuan setelah melahirkan.

Profesi ini sepenuhnya nonformal. Tidak ada sekolah khusus, tidak ada sertifikasi, dan tidak ada agen yang menyalurkan. Ilmu pun ia dapat dari pengalaman hidup, pengamatan, dan warisan keluarga.

Yang paling sering salah kaprah, Ai Guek Lai dianggap sama seperti babysitter. Padahal babysitter fokus pada bayi, sementara Ai Guek Lai justru fokus pada ibu dengan bayi sebagai bagian dari keseluruhan proses.

“Kalau keluarga yang kaya biasanya pakai dua-duanya. Jasa Ai Guek Lai dan babysitter juga. Sekarang harga jasa Ai Guek Lai paling murah 15 juta untuk sebulan,” ucapnya.

Filosofi Pantangan

Aturan-aturan yang sering dianggap remeh, seperti: tak boleh makan asin, tak boleh keluar rumah, tak boleh kena angin malam, hingga harus makan makanan hangat, berasal dari filosofi menjaga keseimbangan tubuh dan mengembalikan energi setelah proses melahirkan serta menjaga kesehatan masa depan.
Pada Ai Guek Lai, pengetahuan ini tidak tercatat dalam buku atau modul. Semua diwariskan lewat cerita, percakapan, dan praktik dari generasi ke generasi.

Makanan adalah inti dari filosofi itu. Ada ayam merah yang dimasak dengan angkak, ada ayam kachiang ma yang diberi arak, ada ayam herbal yang dimasak dengan ginseng dan rempah-rempah lainnya. Ada juga jamu-jamuan rumahan untuk menguatkan rahim dan memperlancar peredaran darah.

Bagi Khim Ce, ibu muda yang baru melahirkan, menggunakan jasa Ai Guek Lai, bukan soal ikut-ikutan tradisi, tetapi pilihan praktis. “Habis melahirkan itu badan rasanya lemah. Banyak tenaga keluar. Kalau ada yang bisa bantu urus bayi, kita bisa fokus pulih,” katanya.

Khim Ce mendapatkan Ai Guek Lai berpengalaman dari Jakarta melalui rekomendasi temannya. Waktu tunggunya tidak sebentar. Ia harus memesan tiga bulan sebelumnya dan bersaing dengan keluarga lain yang juga membutuhkan jasa yang sama. “Cari Ai Guek Lai itu susah. Profesi ini ‘kan bukan formal. Jadi infonya cuma dari mulut ke mulut,” ujarnya.

Selama masa pemulihan, ia mendapatkan makanan khusus seperti ayam jantan muda utuh yang dimasak dengan ginseng, angco, dan gojiberi. Karena tidak suka makanan yang mengandung arak, ai menggantinya dengan anggur cap Orang Tua atau arak yang diberi kismis agar rasanya lebih manis.

Baginya, kehadiran Ai Guek Lai menghadirkan rasa aman, terutama di hari-hari pertama setelah melahirkan, saat tubuh belum stabil dan emosi mudah goyah. Apalagi ia baru saja menjadi ibu sehingga belum pinya pengalaman mengurus bayi. Dari Ai Guek Lai, ia banyak mendapatkan ilmu dan masukan bagaimana merawat bayi, terutama memandikan bayi.

Menurut Ma Siat Lie, ada satu hal yang membuat Ai Guek Lai sangat berbeda dari babysitter modern adalah sisi emosionalnya. “Mereka bukan hanya merawat fisik, tapi mentalnya juga. Ibu sering stres karena ASI sedikit, bayi rewel. Ayi membantu menenangkan, bahkan mengusahakan ASI lancar dengan masakannya,”ujarnya.

Bahkan saat ia melahirkan anak- anaknya, semua memakai jasa Ai Guek Lai. Makanya ia tahu apa saja pantangan yang harus dilakukan. Ia pun merasa terbantu dan merasakan manfaatnya. “Ketiga anak saya semua dibantu Ai Guek Lai,” ungkapnya.

Ma Siat Lie menekankan bahwa pantang adalah “aturan emas” yang dijaga ketat, terutama oleh generasi dahulu. Beberapa di antaranya: tidak boleh keluar rumah, tidak boleh terkena angin, tidak boleh duduk di luar, tidak boleh keramas 30–40 hari, tidak boleh makan makanan berminyak atau gorengan, kaki tidak boleh tersentuh lantai dingin (terantuk) karena dapat menyebabkan bentan (demam dan meriang).

“Makanya ada ibu yang bahkan tidak mau ke toilet, maunya pispot. Ayi yang bolak-balik ke WC untuk membersihkan pispot. Itu berat lho. Jadi Ai Guek Lai harus kuat fisik dan mental,” cetusnya

Terancam Hilang

Meski profesi ini terlihat kuno, permintaannya justru stabil dan selalu dicari di kota-kota besar. Banyak keluarga peranakan Tionghoa di Pontianak, Jakarta, dan Medan masih mencari Ai Guek Lai untuk menjaga kesinambungan tradisi keluarga. Namun kehadiran mereka kini berdampingan dengan layanan modern: babysitter tersertifikasi, konsultan laktasi, hingga postpartum care center ala Taiwan atau Korea yang mulai populer.

Yang menarik, profesi modern ini tidak sepenuhnya menggantikan Ai Guek Lai. Keluarga yang ingin unsur budaya tetap terjaga tetap memilih Ai Guek Lai sebagai sosok utama perawatan ibu, sementara layanan modern berperan sebagai pelengkap.

Permintaan mungkin tinggi, tetapi jumlah pelakunya sedikit dan terus menurun. Mayoritas Ai Guek Lai saat ini adalah perempuan berusia 50 tahun ke atas. Minim sekali generasi muda yang berminat melanjutkan. ” Mungkin karena lekerjaannya berat, jam kerjanya panjang, harus tinggal di rumah orang lain, dan tidak ada sistem formal yang melindungi mereka secara sosial maupun finansial,” kata Ma Siat Lie.

Profesi Ai Guek Lai kini hampir menjadi keterampilan langka. Banyak ayi yang dulu aktif sekarang mulai menua, sementara regenerasi belum berjalan baik. “Padahal, profesi ini menjanjikan secara ekonomi. Ai berpengalaman bahkan sering dipanggil ke luar kota atau keluar pulau, dengan tarif lebih tinggi karena termasuk ongkos perjalanan,” ungkap Ma Siat Lie.

Perubahan gaya hidup keluarga modern juga mempengaruhi. Pantangan dianggap merepotkan, sementara aturan tradisional sering dianggap tidak praktis. Padahal di sinilah inti peran Ai Guek Lai. Jika tidak ada regenerasi, profesi ini mungkin akan bertahan hanya satu generasi lagi.

Jaga Tradisi

Ai Guek Lai membawa lebih dari sekadar keterampilan. Mereka membawa identitas budaya Tionghoa yang hidup dalam keseharian. Mereka menyimpan pengetahuan pemulihan tubuh perempuan yang tidak tercatat tetapi telah diuji waktu. Jika profesi ini hilang, bukan hanya pekerjaannya yang punah tetapi juga pengetahuan perempuan yang telah diwariskan berabad-abad.

“Kalau bisa, tradisi ini dilestarikan. Diajarkan lagi ke generasi muda. Masih banyak manfaatnya, baik budaya maupun kesehatan,” tegas Ma Siat Lie.

Di tengah tren perawatan pasca melahirkan modern, seperti babysitter bersertifikat atau postpartum care, Ma Siat Li percaya bahwa Ai Guek Lai tetap memiliki tempat istimewa.

“Saya setuju profesi ini harus dilestarikan. Babysitter boleh, tapi yang paling tepat untuk ibu Tionghoa tetap ai guek lai. Ai tahu pantangan, tahu makanan, tahu kondisi tubuh ibu berdasarkan tradisi kita,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa tradisi ini bukan sekadar merawat, tetapi bentuk penghormatan. “Ini cara kita menghormati seorang ibu. Karena kalau ibu tidak sehat, anak dan keturunannya juga ikut terdampak,” katanya lagi.

Melestarikan Ai Guek Lai berarti melestarikan cara orang Tionghoa merayakan kehidupan, menghormati perjuangan seorang ibu, dan merawat generasi baru dengan penuh perhatian. Tradisi ini mungkin berubah bentuk seiring zaman, tetapi nilai dasarnya tetap sama.

“Selama masih ada yang menjalankan, tradisi ini tidak akan hilang. Karena manfaatnya luar biasa. Tidak hanya untuk ibu, tapi untuk masa depan,” pungkasnya.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *