Masyarakat Adat Kunci Penting Kedaulatan Pangan

  • Share
Lokasi ladang Misnah yang hanya berjarak sepuluh menit dari tapak PLTN.

INIBORNEO.COM, Pontianak – Sebagai pemilik pengetahuan lokal yang telah teruji selama berabad-abad, Masyarakat Adat memiliki sistem pengelolaan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang tidak hanya menopang kebutuhan pangan komunitas, tetapi juga menjaga keseimbangan ekologi serta menghindari eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Berbagai praktik kedaulatan pangan berbasis kearifan lokal telah diterapkan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini menunjukkan bahwa Masyarakat Adat memainkan peran kunci dalam sistem pangan nasional.

Di Papua, misalnya, keanekaragaman pangan sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah adat. Masyarakat yang tinggal di dataran rendah mengelola sumber daya alam dengan membangun ‘dusun sagu’ yang dikelola berdasarkan hukum adat marga atau suku. Sementara itu, di dataran tinggi, pola pangan lebih berfokus pada budidaya umbi-umbian yang menjadi bagian dari tradisi turun-temurun,” ungkap Maria, Perempuan Mpur Kebar, Tambrauw, Papua Barat Daya.

Di wilayah Kasepuhan, Jawa Barat, terdapat sistem kedaulatan pangan berbasis komunal melalui pembangunan ribuan leuit atau lumbung padi untuk memastikan ketersediaan pangan dalam jangka panjang.

Leuit dapat menyimpan hasil panen selama bertahun-tahun, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga kami, tetapi juga untuk menjaga ketahanan pangan di wilayah adat kami,” ujar Sucia Lisdamara, Perempuan Adat Kasepuhan Bayah.

Ketahanan Pangan di Masa Krisis

Kedaulatan pangan Masyarakat Adat juga terbukti menjadi kekuatan nyata, terutama saat pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Dalam laporan liputan yang disusun oleh Ahmad Arif pada tahun 2022, dijelaskan bagaimana komunitas adat mampu memenuhi hampir seluruh kebutuhan hidup mereka secara mandiri dan bertahan di tengah krisis.

Salah satu contohnya adalah Masyarakat Adat Boti di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memiliki pengetahuan mendalam dalam mengelola sumber daya alam. Mereka memproduksi sendiri minyak kelapa untuk keperluan memasak dan menerapkan teknik pengelolaan lahan yang memungkinkan mereka menanam serta memanen umbi-umbian meskipun kondisi tanah kering.

Bebie, seorang anggota Masyarakat Adat Boti, menjelaskan bahwa komunitasnya memiliki sistem sosial yang kuat untuk memastikan tidak ada anggota yang mengalami kekurangan pangan. “Selain memiliki kebun pribadi, Masyarakat Adat Boti juga mengelola kebun komunal secara kolektif. Proses penggarapannya dilakukan dengan gotong royong oleh seluruh anggota komunitas, dan hasil panennya diperuntukkan bagi mereka yang mengalami kesulitan,” ungkapnya.

Kabupaten Timor Tengah Selatan dikenal sebagai daerah dengan kasus stunting tinggi di Provinsi NTT. Namun, Bebie menegaskan bahwa tidak ada kasus stunting yang ditemukan di komunitas mereka, yang menunjukkan bahwa sistem pangan berbasis adat mampu menjamin kecukupan gizi bagi warganya.

Pangan sebagai Identitas Budaya dan Simbol Sosial

Lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan gizi dan pangan, kedaulatan pangan juga menjadi identitas budaya dan simbol relasi sosial dalam komunitas adat. Di Nusa Tenggara Timur, Masyarakat Adat Leuhoe di Desa Hoelea II, Kabupaten Lembata, membudayakan konsumsi pangan lokal jali-jali atau Leye dalam bahasa Kedang. Tradisi Puting Watar Ka Leye mewajibkan perempuan dari suku tertentu untuk mengonsumsi Leye seumur hidup, mencerminkan eratnya keterkaitan pangan lokal dengan adat dan budaya.

Masyarakat Adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga menerapkan praktik pengelolaan sumber daya perikanan berbasis kearifan lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan komunitas. Beberapa praktik tersebut meliputi Panglima Laot di Aceh, Mane’e di Kepulauan Talaud, Ola Nua di Lamalera, dan Sasi Ikan Lompa di Pulau Haruku.

Studi di komunitas Paser di sekitar mangrove Teluk Balikpapan menunjukkan bahwa keberlanjutan ekosistem mangrove sangat berkaitan dengan ketahanan pangan mereka. “Ikan, udang, kepiting, dan kerang adalah sumber pangan utama Masyarakat Adat pesisir. ‘Pasar Hidup’ yang masih tersedia di sekitar rumah mereka menandakan ekosistem mangrove yang sehat. Jika mangrove hilang, Masyarakat Adat Paser kehilangan sumber pangan mereka,” kata Bagas Pangestu, aktivis lokal yang fokus pada isu pesisir dan laut.

Mika Ganobal, anggota Masyarakat Adat Kepulauan Aru, Maluku, menegaskan bahwa kedaulatan pangan masyarakat adat di pulau-pulau kecil sangat bergantung pada pengelolaan sumber daya alam yang bijak. Mereka memanfaatkan fenomena alam seperti pasang surut, angin laut, curah hujan, dan fase bulan untuk menentukan waktu panen dan penangkapan ikan.

RUU Masyarakat Adat dan Masa Depan Kedaulatan Pangan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat diharapkan menjadi instrumen hukum yang tidak hanya mengakui dan melindungi hak-hak serta kearifan lokal Masyarakat Adat, tetapi juga menjaga keberlangsungan kedaulatan pangan berbasis komunitas. Dengan pengesahan RUU ini, Masyarakat Adat mendapatkan jaminan atas pengetahuan dan praktik dalam mengelola serta mengembangkan metode pengolahan pangan yang telah diwariskan turun-temurun.

Veni Siregar, Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, menegaskan bahwa RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025. “RUU Masyarakat Adat adalah jalan menuju kedaulatan dan kemandirian Masyarakat Adat. Mereka memiliki pengetahuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang telah terbukti menjaga keseimbangan ekologi dan ketahanan pangan,” ucapnya.

Dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan lingkungan, Masyarakat Adat telah membuktikan bahwa kedaulatan pangan dapat dicapai melalui pendekatan yang berbasis harmoni dengan alam.

“Ini menjadi momen refleksi untuk melihat bagaimana kebijakan pangan nasional dapat lebih inklusif dan berpihak kepada Masyarakat Adat. Dengan menjaga dan memperkuat sistem pangan mereka, kita tidak hanya melestarikan keanekaragaman hayati, tetapi juga memastikan generasi mendatang memiliki akses terhadap pangan yang berkelanjutan dan adil,” tutup Veni.

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *