INIBORNEO.COM, Pontianak – Kalimantan Barat termasuk dalam daerah untuk mengembangkan inisiatif dalam transisi energi dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan. Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) co-firing menjadi solusinya. Namun, hal yang diklaim sebagai solusi ramah lingkungan, memiliki beberapa masalah yang menunjukkan bahwa pendekatan tersebut dapat dianggap sebagai solusi palsu dalam upaya transisi energi.
Pemanfaatan biomassa diklaim sebagai alternatif untuk mengurangi emisi karbon yang perlu diuji dengan prinsip-prinsip keadilan dan berkelanjutan. Nyatanya, penggunaan biomassa dengan co firing justru menyumbang emisi dari keluaran PLU dan deforestasi untuk pemenuhan bahan baku biomassa kayu.
“Kayu adalah bahan bakar yang buruk, polutif, dan padat karbon. Namun, ia dianggap netral karbon karena emisi dari pembakaran kayu diasumsikan akan ditangkap kembali oleh pohon yang ditanam di perkebunan kayu energi, atau lazim disebut Hutan Tanaman Energi (HTE),” ungkap Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga.
Dalam upaya transisi energi, Indonesia menargetkan pengembangan hutan tanaman energi (HTE) seluas 6 juta hektare untuk pemanfaatan biomassa kayu yang diklaim sebagai energi terbarukan. Kalbar merupakan provinsi yang terluas untuk potensi EBT yakni 429.031, menyusul Papua dan Kalteng.
Luasan ini menyamai hampir seluruh negara Brunei Darussalam yang luasnya 576 ribu hektar, atau setara enam kali luasan daratan Daerah Khusus Jakarta.
FWI mencatat pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) telah merusak hutan seluas 55 ribu hektare dan masih ada 420 ribu hektare hutan alam di dalam 31 konsesi HTE direncanakan untuk di deforestasi.
Saat ini, total Luas Potensi Hutan Tanaman Energi (HTE) di Indonesia sebesar 1.292.766 hektare. Total 31 unit usaha yang berkomitmen mengembangkan HTE dan Bioenergi. Dari data ini, FWI memproyeksikan deforestasi hutan alam dari proyek transisi energi dapat mencapai 4,65 juta hektare (agregat nasional). Nilai tersebut dihitung dari sisa hutan alam yang berada di dalam konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Perhutanan Sosial (PS) yang memiliki aksesibilitas tinggi terhadap 52 PLTU cofiring di Indonesia.
Kebijakan cofiring merupakan pembakaran biomassa kayu sebagai pengganti batu bara (dalam jumlah tertentu 5-10 persen). Melalui kebijakan yang ada saat ini, seperti multiusaha kehutanan konsesi HPH, HTI, dan PS memungkinkan melakukan transformasi perizinan ke hutan tanaman energi.
Di Kalimantan Barat, terdapat tujuh perusahaan HTI. Dari tujuh perusahaan itu, yang sudah mengembangkan biomassa tanaman energi ada tiga perusahaan, empat lainnya menyusul dalam waktu dekat.
Tujuh perusahaan ini nantinya akan memasok 6 PLTU co-firing dan 6 PLTBm baik yang sudah beroperasi maupun yang masih dalam tahapan perencanaan.
Merujuk dokumen FoLu Net Sink 2030, Kalimantan Barat (Kalbar) merupakan salah satu provinsi dengan target mitigasi deforestasi hutan alam terluas dengan total 917.000 Ha.
Namun, di sisi lain Kalbar juga menargetkan perluasan Hutan tanaman sebanyak 153.259 hektare.
Hal ini mengkhawatirkan lantaran, semakin banyak hutan alam yang akan dibuka untuk kepentingan pembangunan perkebunan kayu untuk kepentingan penyediaan biomassa (Hutan Tanaman Energi), semakin hilang kemampuan serap emisi karbon. Terlebih di Kawasan gambut.
Jika ditinjau dari perizinan, dari tujuh perusahaan HTI yang ada, satu perusahaan sudah dicabut izinnya oleh pemerintah. Belum lagi, perusahaan-perusahaan yang sudah ada tersebut juga menyumbangkan dampak pada ekologi dan sosial masyarakat.
Global Forest Watch menunjukkan dalam dua dekade terakhir, periode tahun 2002 hingga 2020, memperlihatkan hutan primer Kalbar sudah hilang sekitar 1,25 juta hektar.
Kalbar memiliki 6,88 juta hektar hutan primer (47%) dari total wilayah seluas 14,9 juta hektar. Pada tahun 2020 saja, Kalbar kehilangan 32.000 hektar hutan primer setara 23 juta ton emisi CO₂. Analisis GFW pun memperlihatkan fakta kehilangan 1,25 juta hektar hutan primer basah itu menyumbang 36% total kehilangan tutupan pohon dalam periode sama.
Dampak Sosial dan Kesehatan
Pada PLTBm, sumber energi terbarukan itu berasal dari bahan-bahan seperti kayu, cangkang sawit, jangkos, batang sawit, tempurung kelapa, dan sabut kelapa, memiliki implikasi lingkungan dan sosial yang lebih luas. Bahan-bahan itu dijadikan bahan bakar, untuk mendidihkan air dalam ketel atau boiler yang menghasilkan uap. Uap inilah yang kemudian menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik.
Narasi yang disebarluaskan adalah meningkatkan efisiensi energi, menghemat biaya, dan mengurangi tempat limbah. Biomassa dianggap solusi pengganti batubara yang proses pembentukannya memerlukan waktu jutaan tahun. Sumber energi dari biomassa disebut tergolong energi yang dapat diperbaharui sehingga dapat digunakan secara berkesinambungan. Tetapi, ada hal lain yang jadi dampak ikutannya.
Di sebuah desa yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Pontianak, ibu kota provinsi Kalimantan Barat, Rukiyah (69), setiap pagi dan sore menyapu rumahnya yang berjelaga. Warga Desa Wajok Hulu, Kabupaten Mempawah ini mengeluhkan kondisi rumahnya yang sering kotor. Rumahnya hanya berjarak sekitar setengah kilometer dari pembangkit listrik biomassa milik PT Rezeki Perkasa Sejahtera Lestari (RPSL).
Sejak PLTBm itu beroperasi lima tahun yang lalu, rumahnya sering kotor. Berbeda dengan abu sisa bekas pembakaran lahan, polusi yang keluar dari cerobong asap tersebut seperti bintik-bintik hitam kasar. “Kalau sudah kaki itu penuh hitam,” ucapnya.
Rumah Rukiyah tepat berada di sisi jalan utama di Desa Wajok Hulu. Ia tinggal di sana sejak 40 tahun yang lalu. Rumahnya sudah sering kotor karena debu dari jalanan. Kondisi semakin parah lantaran polusi dari sisa pembakaran turut membuat kotor tempat tinggalnya. Tak hanya di teras dan ruang tamu. Debu pun masuk hingga ke kamarnya. “Tempat tidur itu lain rasanya, (disentuh) hitamnya kelihatan,” tuturnya.
Pakaian yang dijemur juga jadi kotor. Ia pun harus menutup seluruh tempayan atau bak penyimpanan air. Sebab, bila terbuka, maka debu-debu polusi dari pembuangan pembangkit listrik akan mengotori tempat penampungan air yang ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Air hujan pun tak bisa sembarangan di tampung. Sebab, air mengalir dari atas atap yang juga terdapat debu-debu pembuangan. “Hujan pertama tidak ditampung. Kalau sudah banyak hujannya, baru ditampung,” tuturnya.
Ia mengatakan warga menerima semacam kompensasi atau tali asih dari pihak perusahaan. Ada kompensasi berupa beras, minyak goreng, hingga gula. Ia pun pernah menerima kompensasi tersebut tahun lalu.
Rohandi (65), Ketua RT 07 RW 2 Dusun Lapan, Wajok Hulu, mengakui adanya keluhan warga yang rumahnya kotor karena polusi dari asap PLTBm. Sejumlah warga disebut juga tidak bisa menampung air hujan, karena terlalu kotor lantaran ditampung dari atap yang terkena polusi.
Pertengahan Juli 2024, diakuinya perusahaan mengeluarkan debu dalam jumlah yang tidak bisa. Diusap saja bagian lantai, debu hitam menempel di tangan. “Warga menyapu lalu sampahnya dikumpulkan, difoto, lalu ditunjukkan ke perusahaan,” katanya.
Setelah ada protes itu, ia mengatakan perusahaan datang melakukan peninjauan. Alasan Perusahaan, kata dia, ada kerusakan alat. Mengetahui alasan tersebut, ia meminta perusahaan memperbaiki kerusakan tersebut. Rohandi mengatakan perusahaan ada memberikan tali kasih berupa sembako. “Satu tahun dua kali. Dari dua tahun yang lalu (ada tali kasih),” katanya.
Rumah Endang hanya berjarak sekitar 500 meter dari PLTBm Wajok Hulu, Kabupaten Mempawah. Ia merasa geram dengan polusi yang berasal dari PLTBm. Pasalnya, debu akibat pembakaran bikin kotor lingkungan di sekitar rumahnya.
“Apalagi kalau sudah masuk musim kemarau,” tuturnya. Endang membuka usaha laundry yang bergantung pada ketersediaan air bersih. Debu pembakaran mengotori tempat penampungan air miliknya.
Ia mengakui adanya kompensasi berupa sembako bagi warga sekitar yang terdampak debu pembakaran. Namun, ia merasa kompensasi tersebut tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.
“Saya kemarin (kompensasi) cenderungnya ke pengadaan air bersih, karena yang dicemari adalah air bersih. Tetapi mereka (Perusahaan, red) mengatakan tidak mampu,” tutur Endang.
Endang mengatakan bahwa dirinya pernah mengeluhkan hal ini kepada ketua RT setempat, kantor desa, bahkan mendatangi perusahaan secara langsung. Namun, ia tak mendapatkan solusi yang diharapkan. Warga sekitar diakuinya pernah melakukan demo tahun lalu.
Kondisi ini mencerminkan pembakaran PLTBm tetap menghasilkan emisi karbon dan polusi udara. Biomassa dalam proses produksi energi masih melepaskan gas rumah kaca dan partikulat yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Hal ini bertentangan dengan tujuan utama transisi energi yang seharusnya mengurangi dampak lingkungan dan emisi karbon.
Berjarak 112 kilometer ke arah utara atau ditempuh dengan 2,5 perjalanan dari PLTBm PT RSPL, PLN Indonesia Power (PLN IP) telah mengimplementasikan program cofiring pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Singkawang, pada awal Agustus 2024.
Bahan bakar biomassa dari limbah serbuk gergaji atau sawdust sebagai campuran energi primer di PLTU Bengkayang, Kalimantan Barat. Direktur Utama PLN Indonesia Power Edwin Nugraha Putra dalam keterangannya kepada media mengatakan selain mendukung transisi energi dan pencapaian target net zero emission, inovasi tersebut juga memberikan manfaat ganda bagi korporasi dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut dia, co firing dari biomassa sawdust merupakan salah satu upaya mengakselerasi peningkatan bauran energi terbarukan di Indonesia untuk mencapai net zero emission pada 2060. “Uji bakar co firing serbuk gergaji tersebut menggunakan 250 ton atau 10 persen dari total pemakaian batu bara PLTU Bengkayang per harinya,” katanya.
Dua bulan sebelumnya, PLN Indonesia Power (PLN IP) menggunakan limbah racik uang kertas (LRUK) sebagai bahan bakar pengganti batubara untuk co firing pada Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Singkawang – PLTU Bengkayang, Kalimantan Barat. Pemanfaatan limbah racik uang kertas tersebut merupakan wujud kolaborasi antara PLN Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Singkawang bersama Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat.
Pengiriman perdana LRUK ke PLTU Bengkayang sebanyak 9 ton untuk ujicoba co firing. Manager Unit UBP Singkawang Slamet Muji Raharjo, menyebutkan, pemanfaatan biomassa dalam proses co firing PLTU Bengkayang sampai dengan bulan Mei 2024 telah mencapai 4%. Sehingga diharapkan banyak peluang untuk memenuhi kebutuhan PLTU Bengkayang yang bisa dikolaborasikan dengan banyak pihak.
PT PLN Energi Primer klaim terjadi multiplier effect dari pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan biomassa, mulai dari pengumpulan limbah, proses produksi, rantai pasok, serta penanaman dan ekosistem biomassa di 52 PLTU yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air. Disebutkan, sirkular ekonomi ini memiliki skala ekonomi Rp9,34 triliun, dan memberdayakan 1,25 juta orang dan 10 juta ton biomassa per tahun.
FWI membantah hal ini. Program PLTBm dan PLTU co-firing memiliki efisiensi yang lebih rendah dibandingkan dengan pembangkit listrik energi terbarukan lainnya seperti tenaga surya dan angin. Penggunaan biomassa secara berlebihan dapat menyebabkan deforestasi, degradasi lahan, dan konflik sosial, yang justru merusak lingkungan daripada melestarikannya.
“Bahkan, cenderung memperpanjang masa penggunaan batubara dan memperlambat adopsi energi bersih yang lebih efisien dan ramah lingkungan,” imbuh Anggi lagi. Di Indonesia, PLTU co firing dijalankan secara tidak konsisten terhadap apa yang telah direncanakan di dalam dokumen RUPTL. Program ini pun minim perhitungan mengenai penggunaan jenis biomassa.
Belum lagi, terdapat temuan di lapangan adanya dugaan ‘kongkalikong’ antara industri penyuplai biomassa dengan oknum PLN. “Truk-truk pengangkut biomassa sengaja disiram dan dibasahi air untuk meningkatkan tonase sebelum masuk kawasan PLTU untuk ditimbang,” katanya.
Praktik pembasahan ini dilakukan agar biomassa tidak langsung terbakar habis. Untuk mengecoh persepsi publik, supplier biomassa menutup celah keluarnya air dari truk menggunakan tanah dan menutupnya dengan serbuk kayu atau sekam sebagai kamuflase. “Praktik ini tentunya merugikan negara. Diperkirakan nilai tersebut dapat mencapai Rp1 miliar sampai Rp1,5 miliar dalam satu bulan co-firing di satu PLTU,” tambahnya.
PLN berambisi meningkatkan capaian bauran energi baru terbarukan dari praktik co-firing hingga mencapai 12 persen. Namun, FWI menilai target dan implementasi ini terkesan sangat tidak realistis diimplementasikan di lapangan dan merugikan negara.
Dampak Ekologi
Selama 10 tahun terakhir, warga Desa Jungkat, Kabupaten Mempawah, banjir selalu melanda desa tersebut. Banjir menggenangi lahan sawah dan kebun warga. Murakip (47) kelahiran Desa Jungkat, menyatakan hal ini terjadi sejak tahun 2019 hingga saat ini. “Pada tahun 2005 hingga tahun 2018, padi masih banyak. Tetapi kini sudah banyak yang tidak lagi menanam padi,” ujarnya.
Keluhan ini sudah berulang kali disampaikan ke kepala daerah, bahkan melalui legislatif yang konstituennya termasuk Desa Jungkat. Tetapi belum ada perubahan yang berarti. Luasan desa mencapai 2000 hektare, 25 persen diantaranya merupakan lahan gambut.
Dulu, padi, kelapa, kopi dan nanas, merupakan komoditi unggulan di daerah tersebut. Bahkan, daerah ini merupakan salah satu lumbung padi. Banjir bisa melanda hingga berhari-hari, sehingga menyebabkan tanaman mati. Kelapa pun tak juga lagi hidup.
Beruntung warga kemudian masih bisa mengupayakan budi daya talas atau keladi dalam bahasa setempat. Keladi dijadikan stik beraneka rasa. Permintaan hingga ke Sarawak, Malaysia.
Sumi (42), ikut suaminya tinggal di Desa Jungkat pada tahun 2011 silam. Dia merupakan salah satu warga yang juga membudidayakan keladi. Sumi mengenang, tahun-tahun awal dia menetap di desa tersebut, keluarganya tak pernah membeli beras. Kebutuhan beras sudah terpenuhi dari lahan sawah milik keluarga, walau luasannya tak besar.
Desa Jungkat sendiri diapit oleh dua sungai, yakni Sungai Air Hitam dan Sungai Peniti. Desa ini dikelilingi beberapa konsesi. Diantaranya, PT Muara Sungai Landak (MSL). PT MSL merupakan perusahaan yang mengantongi izin IUPHHK-HTI No. 243/Menhut-II/2012, dengan luas konsesi 13.000 hektare. Perusahaan itu sebelumnya sempat menjadi perbincangan. Terlebih dalam pengelolaan kawasan gambut di dalam areal konsesi mereka.
Berdasarkan analisis peta gambut yang dilakukan oleh eyes of the forest (EOF) tahun 2015, dalam konsesi PT. MSL terdapat 8.004 ha atau 67% kedalaman gambut lebih dari 3 meter, 4.871 ha atau 37%, kedalaman gambut antara 0,5 meter – 2 meter dan 125 ha bukan gambut (1 %) pada kawasan bukan gambut.
Tahun 2019 lalu, PT MSL adalah salah satu dari tiga perusahaan yang disegel oleh KLHK lataran terjadi kebakaran lahan di konsesinya seluas 30 hektare. Namun, pada tahun 2022 lalu, perusahaan ini diaudit oleh PT Equality dan Komite Akreditasi Nasional mengumumkan hasil audit khusus dan berakhirnya masa pembekuan sertifikat kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).
Nilai akhir Penilaian Kinerja PHPL dinyatakan lulus, sehingga pembekuan sertifikat PT Muara Sungai Landak berakhir dan diaktifkan kembali sejak tanggal 9 Mei 2022. Sertifikat PT Muara Sungai Landak direvisi menjadi Nomor 042.2/EQC-PHPL/V/2022 yang berlaku sampai dengan tanggal 3 Desember 2023.
Trend Asia dalam laporannya bertajuk ‘Penanggung Cuan Transisi Energi’ mengungkapkan PT Muara Sungai Landak (PT MSL) disebut-sebut memiliki hubungan dengan Asia Pulp and Paper (APP) milik Sinarmas Group. Dikutip dari Associated Press (AP) dalam investigasi yang terbit 20 Desember 2017, yang mengungkapkan dua pemilik saham PT MSL adalah karyawan APP. Walau hal ini dibantah.
Dalam dokumen audit PHPL, disebutkan Komisaris Utama perusahaan adalah Justinus Indrayanto, dengan dewan direksi yakni, Direktur Utama adalah Hendy, Direktur dijabat oleh orang bernama Abas Yacob dan Guno Widagdo.
Sebagai perusahaan hutan tanaman industri, PT MSL membuka hutan alam dengan cara tebang habis setidaknya pada periode 2013-2017. PT MSL memiliki konsesi seluas 13.114,22 hektare yang 85 persen arealnya ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai zona lindung gambut. Meski demikian, KLHK tetap memasukkan PT MSL dalam daftar 14 perusahaan yang telah mengembangkan hutan tanaman energi (HTE).
Menurut data Direktorat Usaha Hutan Produksi KLHK, PT MSL mengalokasikan lahan untuk tanaman akasia seluas 8.782 hektare atau 66,96 persen dari luas area konsesinya. Hal ini kontradiksi dengan Instruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 661 Tahun 2015 yang melarang pembukaan lahan untuk penanaman baru di kawasan gambut meskipun dalam areal yang sudah memiliki izin konsesi. Seluas 11.847 hektare konsesi PT MSL adalah kawasan gambut. Selain PT MSL, adapula PT Daya Tani Kalbar juga akan membuka HTE di konsesinya seluas 56 ribu hektar.
Amalya Reza Oktaviani, manajer program Biomassa Trend Asia, menyatakan strategi pengurangan emisi melalui pengembangan Hutan Tanaman Energi untuk memenuhi kebutuhan produksi biomassa kayu justru akan mendorong terjadinya deforestasi hutan alam secara besar-besaran.
Dalam kajian Trend Asia, dibutuhkan lahan seluas hingga 2,33 juta hektare atau 35 kali luas Jakarta untuk disulap menjadi HTE dalam rangka menyuplai PLTU co-firing. Hal ini akan memicu ancaman deforestasi dan konflik lahan. Saat ini sudah ada 31 konsesi PBPH-HT dengan luas 1,3 juta hektare yang berkomitmen mengalokasikan 220 ribu hektare lahannya ditanami tanaman energi. Demi memenuhi 2,33 juta hektare, masih dibutuhkan 2,1 juta hektare lagi, yang mungkin datang dari izin-izin baru.()
Liputan ini berkolaborasi dengan Mongabay.co.id yang didukung oleh Indonesian Data Journalism Network (IDJN)