INIBORNEO.COM, Pontianak – Ladang tani miliki Darsono (70) seluar 1 hektare terkena pembangunan di kawasan Pintu Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong. Ia mengatakan bahwa dirinya dan petani lain dulu menggarap lahan itu untuk dikelola menjadi kebun.
“Dulu kami tanam sahang (lada) ramai-ramai,” katanya dengan dialek bahasa Sanggau saat di temui di kantor Desa Entikong pada Jumat 28 Juni 2024.
Ia juga menuturkan bahwa tanah tersebut mulai dikelola tahun 1981 setelah diberikan oleh BPN seluas 1 hektare. “Karena kami belum ada uang saat itu sehingga belum mampu untuk buat sertifikat. Maka dari itu surat-suratnya hanya berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) saja,” ujarnya.
Meskipun sudah sempat panen, harga lada saat itu tergolong murah yakni sekitar satu ringgit lebih yang mereka jual ke Tebedu Malaysia karena jarak yang lebih dekat.
“Kalau di Sanggau tak bisa hutang dan jauh. Kalau di Tebedu Malaysia bisa hutang,” ungkapnya bersama Antonius Ja’in (61) sesama petani Lada.
Darsono juga menuturkan bahwa dirinya menggarap lahan kebun tersebut bersama sama warga setempat yang tergabung kelompok Tani Tunas Mekar sekitar 20 petani Lada.
“Satu hektar lahan ini dulu ada sekitar 1500 tanaman lada yang kami garap secara gotong royong sekitar 20 orang,” ungkapnya.
Tak hanya itu, saat dibangunnya Terminal Barang internasional Entikong, dirinya dan warga lain pun tak pernah diberitahu dan di libatkan oleh Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan RI
Seperti diketahui ternyata pembangunan Terminal Barang Internasional Entikong menyisakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan yakni pemilik lahan menggugat lahan sekitar 1700 M2 yang berada di kawasan Pintu Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong.
Menurut kuasa hukum pemilik lahan Edward L Tambunan yang mengatakan walau terminal barang saat ini telah diresmikan dan dioperasikan, tetapi sampai saat ini masih ada pihak-pihak yang belum merasa menerima ganti rugi atas pembebasan lahan tersebut.
“Kliennya telah dirugikan oleh pemerintah atas luas tanah 1700 M2 yang digunakan untuk pembangunan Terminal Barang Internasional Entikong tersebut,” kata Advokad dari Firma Hukum Nusantara, Pengacara Edward L Tambunan pada Kamis 27 Juni 2024.
“Tanah yang dimiliki klien saya seluas sekitar satu hektare telah digunakan untuk pembangunan Terminal tersebut, namun sampai sekarang klien saya tidak pernah menerima ganti rugi atas lahan yang dimilikinya itu,” ujar Edward.
Tak hanya digunakan untuk pembangunan saja, bahkan pembangunan tersebut juga m memberikan dampak hingga merusak tanah seluas 8300 M2 yang dimiliki kliennya untuk dikeruk dan diambil tanahnya yang kemudian digunakan untuk penimbunan pada saat pembangunan terminal tersebut.
“Pada saat proses pembangunan itu juga sempat merusak dan mengambil tanah untuk melakukan penimbunan di lokasi pembangunan terminal yang dimiliki klien saya, sehingga tanah tersebut rusak dan tidak dapat lagi dinikmati atau di manfaatkan klien saya, tentunya tanah seluas 8,3 hektare itu tidaklah sedikit yang dirusak,” ungkapnya.
Ditempat yang sama, Edward menjelaskan, bahwa ketika pengukuran untuk pembebasan lahan pembangunan Terminal Barang Internasional Entikong tersebut klienya tidak ikut menyaksikan.
“Pihak yang kami gugat ini pada saat menetapkan batas-batas tanah untuk pembangunan tidak pernah menghadirkan pemilik yang sebenarnya atas tanah-tanah tersebut, yang kemudian dipertanyakan kepada siapa ataukan sudah dilakukan ganti rugi atas pembebasan lahan tersebut sedangkan klien kami tidak mendapatkan sedikitpun ganti rugi,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia menambahkan, kalau dilihat dari kacamata hukum, proses pembebasan lahan ini bertentangan dengan undang-undang Negara.
“Sudah jelas dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 yang telah diganti menjadi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2021, Pasal 1 butir ke-2 yang dimana Ganti Rugi haruslah penggantian yang layak dan adil kepada Pihak yang Berhak sepenuhnya,” pungkasnya.