“PETAKA” SELERA ORANG BANYAK

  • Share

INIBORNEO.COM, URS Business Notes – Awalnya via Instagram Bro Ernest, beliau membahas tentang mundurnya teman-teman Skinnyindonesian24 dari peryoutube an. Begitu saya simak di YouTube, dugaan saya ternyata benar. Sebuah kesadaran untuk tidak lagi ngikutin selera orang banyak.

Jadi begini ceritanya,…

Dahulu sekitar 10 tahunan yang lalu, YouTube adalah tontonan segmen atas. Bayangkan etape zaman 2005 sd 2010. Kuota masih mahal, smartphone masih barang mewah, jaringan juga lemot.

Viewers YouTube waktu itu adalah orang-orang yang mampu beli smartphone dan gadget layak. Lalu juga ditopang dengan jaringan internet unlimited yang gak akan deg deg an streaming visual ber kapasitas besar. Damai aja. Play terus.

Beda dengan segmen kelas bawah yang masih menghemat kuota. Nonton YouTube adalah barang mewah. Mau nongkrong di tempat wifi gratis pun, di tahun 2005 sd 2010, tidak banyak yang menyediakan hal tersebut.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, begitu juga dengan teknologi, terus berganti makin baik, makin efisien. Itulah hukum perkembangan teknologi.

Maka di tahun ini kita sangat merasakan. Terutama tiga tahun terakhir. Dimana teknologi jaringan mobile phone makin canggih, 4G merata dan nampaknya provider juga sadar harapan jualan mereka hanya pada kuota internet. Setelah text dan voice messaging dihantam WhatsApp. Pulsa ya untuk kuota.

Maka bertaburanlah paket-paket “rakyat jelata” mulai dari sepuluh ribu rupiah dapat sekian giga hingga paket free youtube. Cuma bayar 50k per bulan. Ini juga yang saya lagi pake di salah satu provider. Program paska bayar mereka ada on free YouTube, Netflix, dan berbagai aplikasi streaming lainnya. Murah blasss.

Akhirnya masyarakat yang dulu gak bisa nonton YouTube, hari ini bisa menikmati layanan ini. Gak ada lagi yang butuh TV. Bagi generasi hari ini, ngikutin nonton TV hanya budaya purbakala yang gak gitu penting. Ngapain nunggu program TV berdasarkan waktu tayang, terikat. YouTube menyediakan pilihan konten dan bisa ditonton kapan saja. Bebas.

Pergeseran ini membawa dampak,

Saya inget banget di awal-awal YouTuber hadir, betapa nge-hitz nya Chandra Liow. Videonya menghibur, editannya berkelas dan konsep videonya nampak direncanakan matang.

Hari ini bukan itu yang “menang” di YouTube. Seseorang pake tripod dan keliling-keliling bikin drama prank bisa raih subscriber lebih besar dari Chandra Liow.

Pagi ini saya cek, Chandra Liow stuck di 2,7 juta subs. Dan kita tentu faham ada yang subs nya sudah sampai puluhan juta dan kontennya ya menurut segmen atas gak banget.

“Pura-pura jadi orang susah, terus ngasih hadiah”.

“Bikin-bikin drama, suka gak penting tapi dibahas, gak mendidik sama sekali”

Itu komen-komen “orang atas” pada konten viral yang hadir hari ini.

Ya akhirnya jika memang fokusnya pada angka subscriber, harus ngikutin selera mayoritas market YouTube. Berita buruknya, mayoritas penonton YouTube ya sesuai dengan distribusi segmen jenjang pendidikan negeri. Relatif un-educated dan senang pada konten-konten receh.

Mau fokus menang banyak, ya harus merecehkan diri.

Petaka ngikutin “yang banyak” ini nampak juga dilawan oleh mereka yang kontennya edukatif.

Kembali ke Chandra Liow misalnya, beberapa video iklan endorsement masih dilakukan. Artinya pasarnya tetap ada dan pengiklan masih ada yang memilih youtuber ber-follower kecil.

Ndak papa ngiklan di YouTuber bersubscriber kecil, tapi segmennya mereka yang punya duit, jadi produk tertentu masih bisa efektif berjualan.

Pada dasarnya kan YouTuber business modelnya ke adsense. Penonton banyak, maka komisi iklan akan tinggi. Hal ini nampak tidak jadi pilihan YouTuber dengan konten segmented.

Para YouTuber pebisnis juga hadir dengan edukasinya. Subscriber ratusan ribu, mungkin nanti ada yang jutaan, namun nampaknya tidak ada yang bisa ngejar puluhan juta subs Raja YouTube yang itu. Karena kalo mau puluhan juta subs, harus kejar “selera kelas mayoritas”.

Tidak penting lagi adsense. Yang nonton hanya puluhan ribu gak papa, tapi segmented.

Puluhan ribu views segmented para penggila modifikasi mobil. Udah bisa jualan sendiri.

Puluhan ribu views dari penggila masak memasak, sudah bisa jualan alat-alat masak.

Puluhan ribu views dari penggila konten edukasi bisnis, sudah bisa jualan workshop.

Gak perlu jutaan views untuk mengenerate uang besar.

Segmentasi pasar. Itu poin pembelajaran hari ini.

Menargetkan untuk dikenal luas, punya pengikut banyak, terkadang menjebak kita untuk kehilangan jati diri konten.

Hari ini saya masih nulis tentang sosial ekonomi di FB. Tulisan panjang. Sudah banyak yang mengingatkan bahwa tulisan panjang akan berat gaet pembaca. Anak-anak sekarang suka nya tulisan pendek, banyak gambar. Poin-poin. Penuh visual.

Ya saya tetap nulis panjang. Karena saya menemukan karakter menarik pada segmen generasi yang masih seneng baca.

Mereka yang seneng baca tulisan panjang ini kebanyakan adalah penggerak di masyarakat. Biasanya senang berorganisasi. Biasanya menjadi leader di komunitas atau perusahaan.

Wajar. Karena yang otaknya gak ada isinya ya susah mimpin. Mereka yang memimpin biasanya lebih kaya akan gagasan dan wawasan. Mengapa? Karena sering membaca.

Maka saya putuskan tetap nulis panjang. Gak papa. Biarlah tulisan saya tentang pergerakan sosial ekonomi dinikmati oleh para penggerak. Tujuannya jelas : tulisan untuk perubahan sosial negeri. Maka targetnya gak usah banyak orang.

Ahli revolusi Perancis berkata : “cukup 1% populasi untuk menggerakkan gelombang perubahan”. He he he…

Kita gak butuh sekian puluh juta orang jadi pengusaha nasional yang kokoh. Cukuplah 1 juta pengusaha nasional, namun penuh dedikasi membangun negeri, itu sudah cukup untuk lakukan perubahan

Tidak semua produk harus dibeli oleh semua orang. Begitu juga pasti produk kita, hanya diterima oleh segmen tertentu.

Maka teguhlah pada core value yang sedang kita bangun. Bersabar. (r-papiadjie)

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *