Perlu Sinergi Bersama Kawal Kasus Kekerasan Perempuan

  • Share

PONTIANAK — Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin meningkat. Hal tersebut berdasarkan rujukan dari Catatan Tahunan (Catahu) 2020 yang dikeluarkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Dibutuhkan semua instrumen yang saling bersinergi untuk meminimalisasinya. Mulai dari pemerintah, masyarakat, media dan lembaga-lembaga terkait. Di Kalbar, Partisipasi Publik Untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (Puspa) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK aktif dalam melakukan sosialisasi dan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan.

Citradaya Nita (CN) 2019 yang merupakan bagian dari program Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) bersama Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) menggelar diskusi “Stop Kekerasan Perempuan” bersama para aktivis jurnalis beberapa media di Pontianak.

Mengangkat tema Stop Kekerasan Perempuan, diskusi keempat ini dilaksanakan secara daring dikarenakan kondisi Covid-19 yang belum stabil di Pontianak. Bersama Ketua LBH APIK, Tuti Suprihatin dan Ketua Puspa Kalbar, Reni Hidjazie, diskusi berjalan selama tiga jam.

Kekerasan terhadap perempuan meninggalkan trauma dan luka berkepanjangan. Jika tidak dilakukan proses penyembuhan maka akan berdampak lebih jauh pada kejiwaan dan akan berpengaruh pada sosialnya. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Puspa Kalbar, Reni Hidjazie.
“Pernah dalam tahap pendampingan, kami bersama dengan ibu-ibu korban kekerasan, hanya duduk diam saja lalu tiba-tiba mereka langsung menangis terisak, ada pula yang langsung meluapkan kekesalannya. Trauma berkepanjangan itu terus dirasakan jika tidak dilakukan proses penyembuhan. Beda dengan anak-anak yang bisa melakukan aktivitas sehari-hari mereka dengan bermain untuk menghilangkan trauma,” ujar Reni.
Lanjut Reni, sejatinya yang dilakukan Puspa Kalbar sejauh ini adalah mensosialisasikan dan mengampanyekan tentang bentuk kerasan pada perempuan, membentuk Puspa lainnya di kabupaten karena belum semua wilayah punya forum Puspa. Proses correct data menjadi tantangan Puspa Kalbar karena data yang menjadi pijakan untuk menindaklanjuti kasus-kasus yang ada.
Butuh sinergi untuk memberikan pertolongan kepada korban. Hal tersebut diutarakan oleh Tuti Suprihatin, selaku Ketua LBH APIK. Anggaran menjadi salah satu kendala dalam prosesnya. Tidak ada anggaran khusus dari dinas-dinas terkait jika mereka membawa kasus tersebut.
“Penganan satu kasus saja banyak anggaran. Apalagi ada kasus hukum dan butuh waktu lama. Anggran satu kasus bukan satu atau dua bulan butuh paling sedikit tiga bulan apalagi kalau sidang keluar daerah. Pernah kami melakukan pendampingan di Bengkayang, pendampingan dari proses di kelurahan, BAP kepolisian, sampai ke tahanan dan harus bolak balik delapan kali,” jelas Tuti.
Kendala lainnya yaitu terletak pada korban. Masih banyak yang merasa malu dengan masalah yang dihadapinya, keyakinan korban bahwa si pelaku masih mencintainya dan bukan memanfaatkannya, serta saksi yang sulit dicari, banyak saksi yang tahu masalah tersebut tapi tak ingin berurusan dengan polisi.
Oleh sebab itu jadi tugas besar bagi Tuti dan teman-teman bagaimana melakukan pencegahan dan semua orang mendapat informasi tentang kekerasan perempuan dan ana, apa yang harus mereka lakukan ketika mengalami kekerasan, kepada siapa melapor dan bagaimana melapor. Serta memastikan proses penanganan dari awal sampai akhir terutama proses hukum dan mendapatkan perlindungan setelah itu.
Tak hanya pemerintah dan lembaga, media juga punya andil dalam mengurangi kekerasan perempuan dan anak. Hal tersebut diutarakan oleh Reni. “Kami sangat terbantu dengan adanya media, membantu memberitakan beberapa peristiwa kekerasan. Mungkin bisa dipertimbangkan untuk membantunya secara berkala, jadi teman-teman media memberi ruang untuk isu kekerasan perempuan,” harap Reni.
Namun di lain sisi Reni berharap agar bahasa yang digunakan untuk menggambarkan situasi kejadian yang dialami korban tidak terlalu vulgar sehingga tidak membuat orang membayangkannya ketika membaca. Reni juga memberi saran kepada teman-teman jurnalis untuk memberi imbauan di akhir tulisan yaitu mengajak membantu korban untuk melindungi dan mendapatkan haknya.
Tuti juga memberikan masukan kepada beberapa media yang menulis berita namun justru memojokkan korban. “Tolong wajah jangan ditampilkan, tidak membesar-besarkan suatu berita dan diangkat terus menerus. Korban terkadang tak siap dengan pemberitaan seperti itu,” ujar Tuti.
Jika memang berkomitmen terhadap penuntasan kepada perempuan, maka semua pihak perlu ada gerakan bersama-sama untuk menumbuhkan kepekaan, karena perempuan yang menghadapi kekerasan tak sedikit yang mendapat stigma di masyarakat. (rilis)

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *