Penyebaran Kebencian Lantaran Minimnya Literasi

  • Share

Workshop Menandingi Ujaran Kebencian di Indonesia

INIBORNEO.COM, Denpasar – Minimnya literasi menjadi salah satu penyebab maraknya penyebaran ujaran kebencian di media sosial. Ditambah lagi dengan sikap intoleransi atau sikap nirpenerimaan perbedaan.

“Menurut Unesco, ada 4 ujaran kebencian, yakni penyebaran pesan yang mengandung kebencian atas ras/etnis tertentu, seruan terhadap permusuhan diskriminasi, dan kejahatan, kemudian hasutan untuk melakukan tindak terorisme, serta hasutan untuk melakukan genosida,” ujar Halili Hasan, direktur riset Setara Institute, pada workshop Memahami dan Menandingi Narasi Kebencian di ranah digital, yang diselenggarakan SAFEnet secara daring, pada 14 Juni 2021.

Di Indonesia sendiri terdapat hukum yang berlaku untuk ujaran kebencian, yakni pada pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tahun 2008. Setara Institute melakukan riset terhadap pelajar, internet dan kebencian terhadap minoritas. Riset ini telah dipublikasi pada tahun 2007.

“Dari riset tersebut ternyata lebih dari 41 persen pelajar mengakses internet lebih dari lima jam per hari, serta sebanyak 90 persen pelajar di Indonesia sudah menggunakan media sosial,” tambahnya.

Dari riset tersebut topik yang sering dikunjungi 12,1% adalah agama. Topik paling sering dikunjungi adalah hiburan sebanyak 34 persn, selanjutnya topik mengenai ilmu pengetahuan sebesar 28 persen, serta teknologi sebesar 16 persen.

Halili menambahkan, ujaran kebencian tidak hanya karena polarisasi politik saja, tapi juga ada persoalan agama. Dalam riset tersebut pengetahuan tentang aliran keagamaan: 82 persen mengetahui tentang adanya aliran Ahmadiyah, Syiah dan aliran keagamaan lain. Sebanyak: 35,99 persen setuju untuk membatasi perkembangan aliran keagamaan selain agama yang diakui negara, sementara sebanyak 40,9 persen tidak setuju dengan adanya pembatasan terhadap aliran keagamaan tersebut, sisanya sebanyak 23,2 persen menjawab tidak tahu.

Vany Primaliraning, dari Lembaga Bantuan Hukum Bali, menambahkan, korban dari ujaran kebencian biasanya merupakan orang dengan tataran secara ekonomi lemah. “Pejabat publik membenarkan ujaran kebencian lewat pidato dan ormas-ormas,” ungkapnya.

Korban yang dikorbankan karena perbedaan ras, suku dan agama, berkembang menjadi isu criminal. Terakhir, Halili dan Vany mengatakan ketidakpahaman ini merupakan kerja panjang yang berkaitan dengan agenda peradaban, rasional dan literasi.

Reka Refani Vanda Hutapea

  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *